Sebentar kemudian tempat itu telah sepi. Â Sembada kini berjalan pulang ke Suwaluh. Â Ia dapat membantu keuangan Kakek Narto, yang hidup miskin bersama tiga cucunya.
Setelah mengambil tongkat bambu yang disembunyikannya, Sembada segera melangkahkan kaki pulang ke rumah Kakek Narto. Â Ia ingin menyerahkan sebagian hadiah itu kepada keluarga miskin di dusun sewaluh itu.
Ketika ia mau melewati bulak panjang di jalan menuju dusun Suwaluh, Sembada melihat beberapa lelaki menghadang di tengah jalan. Â Dari jauh ia sudah dapat menghitung jumlah mereka yang berdiri di kegelapan malam.
Enam orang bertubuh kekar, di antara mereka nampak berbadan pendek. Â Pasti mereka anak buah Gagakijo yang tidak rela sebagian harta mereka ia bawa. Â Pasti mereka akan merampas kembali hadiah pertandingan yang sudah ia dapatkan.
Sembada pura-pura tidak curiga terhadap mereka yang menghadang di tengah jalan. Â Iapun melangkahkan kakinya semakin dekat. Â Kantong uangnya ia ikat pada ikat pinggangnya, menggelantung di sisi tubuhnya.
"Berhenti. Â Ada yang aku urus pada dirimu anak muda " Â Kata lelaki pendek, yang bernama Trembolo itu.
"Kau Trembolo. Â Mengapa kalian menghadangku ?"
"Serahkan kantung uang itu kepadaku. Â Kamu tidak berhak untuk mendapatkannya."
"Ini hadiahku menang pertandingan yang kalian selenggarakan."
"Tapi kamu bukan warga desa Sambirame. Â Pertandingan itu untuk warga kami."
"Kalian tidak mengatakan bahwa pertandingan itu tidak boleh diikuti orang luar."