Bergantian enam orang itu menyerang Sembada. Â Dengan tongkat bambunya Sembada menghadang pedang yang menyerangnya. Â Dengan cepatnya ia berputar-putar untuk menghalau pedang yang melayang ke tubuhnya.
Sebentar kemudian terjadi pertempuran yang dahsyat. Â Ia segera menerapkan ilmu peringan tubuhnya untuk melawan keenam orang itu. Â Namun anggota gerombolan Gagakijo itu memang orang-orang yang keras, mereka terlatih di medan pertempuran saat beraksi sebagai berandal.
Tetapi untuk mengalahkan Sembada membutuhkan waktu yang lama. Â Bahkan anak itu mampu pula memberikan serangan balasan yang berbahaya.
Sembada berpikir untuk menakut-nakuti lawannya. Â Ia akan menggunakan cambuknya dan menghajar keenam orang itu. Â Segera ia lolos cambuk yang melingkar di pinggangnya.
Keenam orang lawannya terpana. Â Mereka juga marah pemuda itu melawan mereka dengan hanya sehelai cambuk. Â Namun begitu cambuk itu meledak, mereka terkejut. Â Suara cambuk itu keras sekali seperti suara petir.
Tongkat bambu ia buang ke pinggir jalan. Â Dengan cambuk ia melakukan perlawanan dengan keras dan cepat. Â Cambuk itu meledak-ledak memekakkan telinga. Â Sebentar saja satu-persatu lawannya telah tergores kulitnya dengan ujung cambuknya.
"Setan kau anak muda. Â Dari mana kau dapatkan senjata itu. Â Senjata setan."
"Hahaha, ini bukan senjata setan. Â Tapi senjata pengusir setan."
Dengan lompatan-lompatan tinggi, kadang berjumpalitan di udara, Sembada membagikan lecutan cambuknya ke lawan-lawannya. Â Mereka agak kebingungan melakukan perlawanan. Â Pemuda itu ternyata memiliki ilmu jauh di atas mereka. Â Jika dalam pertandingan adu ketangkasan ia memperlihatkan ilmunya, maka dalam sekejab ia sudah menang.
Sembada dengan keras mendesak lawan-lawannya. Â Cambuknya berputar-putar menimbulkan dengung suara yang menggetarkan hati lawan-lawannya. Â Ketika ia terayun sebuah goresan luka mewarnai kulit anak buah Gagakijo.
Akhirnya keenam orang itu memilih untuk kabur. Â Sebelum salah satu dari mereka menjadi korban pertempuran itu, Trembolo segera bersuit. Â Keenam orang itu meloncat mundur, berbalik badan dan lari sekencang-kencangnya.
Sembada memandangi mereka dengan mata redup. Â Ternyata nyali anak buah Gagakijo hanya semenir. Â Ia belum mengerahkan ilmunya sampai puncak, lawan-lawannya sudah kabur.