Pemuda berhidung melengkung itu cukup gesit, ia melipat tubuhnya dan jatuh tepat pada punggungnya, kemudian berguling ke depan. Â Sebentar kemudian ia melenting berdiri menghadapi lawannya.
Sembada tersenyum. Â Ulet juga pemuda ini pikirnya. Â Ia meloncat mengirim tendangan samping, menghantam dada pemuda itu. Â Dengan menyilangkan tangan di dada pemuda itu membentur kaki Sembada. Â Kini Sembada yang terpental dan jatuh bergulingan di lantai panggung. Â Lawannya sempoyongan ke belakang sebentar.
Keduanya segera mempersiapkan diri dalam pertarungan berikutnya. Â Namun kecepatan gerak Sembada tidak dapat dilawan oleh pemuda berhidung lengkung itu. Â Wajahnya berulang kali kena pukulan kepalan tangan Sembada. Hidungnya yang mancung melengkung itu hingga mengeluarkan darah.
Mata pemuda itu kian menyala. Â Ia tidak rela dikalahkan oleh pemuda yang belum ia kenal. Â Maka karena marahnya gerakkannya menjadi membabi buta. Â Inilah saat-saat yang ditunggu Sembada. Â Pemuda itu tentu berkurang kewaspadaannya menghadapi lawan.
Sembada segera bergerak meloncat-loncat mengitari lawannya, hingga suatu saat dengan tendangan melingkar ia mampu menjatuhkan lawannya keluar panggung. Â Dengan derasnya tubuh itu jatuh dan membentur tanah. Â Namun karena marah ia segera bangkit dan meloncat naik panggung lagi. Â Namun Wadasgempal segera menghadangnya. Â Dibantu oleh Lelaki pendek kekar mereka menarik pemuda berhidung lengkung itu untuk turun dari panggung. Â Ia dinyatakan kalah.
Pertandingan berikut dimenangkan oleh pemuda ramping. Lelaki berkaki pincang itu harus mengakui kecepatan dan kekerasan kaki lawannya. Â Ia terjungkal di panggung dan beberapa saat tidak bisa bernafas. Â Ia dinyatakan kalah setelah tak mampu bangkit setelah sepuluh hitungan.
Sebelum memasuki babak final, pelaksana pertandingan ingin menentukan dulu juara ketiga dalam pertandingan ini. Â Mereka yang baru saja kalah dipertandingan babak penyisihan kedua diminta untuk naik ke atas panggung.
Namun pemuda berkaki pincang tidak mau meloncat. Sementara pemuda berhidung lengkung sudah berdiri di panggung menantinya. Â Setelah ditanyakan kenapa tidak segera meloncat pemuda pincang itu mengangkat tangannya,
"Aku menyerah kalah saja, tidak mau bertanding lagi."
Wadasgempal segera mengangkat tangan pemuda berhidung lengkung dan meyatakan ialah juara ketiga dalam pertandingan ini.
Acara yang ditunggu-tunggu penonton adalah pertandingan babak akhir. Â Pertandingan untuk menentukan juara pertama dan kedua. Â Sembada dan pemuda ramping telah berdiri berhadapan di atas panggung.
Wadasgempal segera memimpin mereka dalam pertandingan. Ia telah berdiri di antara mereka yang telah berhadapan. Sejenak kemudian bunyi bende bergema menggetarkan udara malam. Â Belum berhenti dengungannya dua pemuda telah terlibat perkelahian yang seru. Â Silih berganti mereka menyerang dan menghindar.
Pemuda ramping itu benar-benar gesit, ia mampu mengelak dari setiap serangan Sembada. Â Namun iapun belum mampu mendaratkan pukulan atau tendangan ke tubuh pemuda bertutup wajah itu.
Mereka bertempur seperti dua bayangan yang saling menyambar. Â Sembada segera mengerahkan sebagian tenaga dalamnya, untuk memperkuat tangan dan kakinya agar dia mampu mempercepat serangannya. Â Sebentar kemudian gerakkannya benar-benar seperti burung elang yang terbang mengitari lawannya.
Dalam sebuah kesempatan Sembada berhasil meraih leher lawannya, dengan gerak berputar ia menarik leher itu hingga ikut berputar, kemudian kakinya naik dan menghantamkan lututnya ke arah dagu lawannya. Â Terdengar lutut dan dagu beradu, pemuda lawannya mengaduh. Â Nampak darah mengalir dari mulutnya.
Dengan dua tangan Sembada mendorong dada pemuda itu hingga jatuh terjengkang. Â Ketika ia dengan cepat bangkit berdiri, sebelum benar-benar siap menghadapi lawannya, tiba-tiba kaki Sembada dengan cepat dan kuat melanda perutnya. Â Pemuda itu terlempar dan tubuhnya melayang di atas pagar pembatas panggung. Â Ia jatuh terlentang di tanah di depan para penonton.
Sorak ramai dari penonton segera membahana. Â Mereka melonjak-lonjak kegirangan menyaksikan Sembada yang berdiri di atas panggung dengan bertolak pinggang.
Wadasgempal akhirnya mengangkat tangan Sembada, sembari berteriak kepada penonton.
"Inilah juara pertama dalam pertandingan ini."
Tepuk tangan dan sorak sorai bergema lagi.
"Siapa namamu anak muda, dan dari dusun mana kau berasal "
"Namaku Sembada, dari dusun Suwaluh."
"Dia Sembada, dari dusun Suwaluh. Â Juara pertama pertandingan. Â Ia berhak mendapat hadiah sekampil penuh keping perak."
Sekali lagi suara bersorak memenuhi udara di tanah lapang itu.
Sejenak kemudian tiga orang sudah berdiri berderet di panggung. Â Juara satu, dua dan tiga akan menerima hadiah mereka. Â Sembada tetap dengan tutup wajahnya.
Seorang lelaki tinggi kekar dengan jambang di wajahnya naik panggung. Â Ialah yang menyerahkan hadiah kepada para pemenang. Â Orang itu lelaki yang sudah dikenal Sembada.
"Gagakijo  !!" Desah Sembada dalam hati.
Lelaki itu memandangi Sembada dengan tajamnya, namun mulutnya tersenyum.  Ia nampak senang  dan bangga atas kemenangan pemuda Suwaluh itu.
"Apakah kau tidak membuka tutup wajahmu. Â Agar para penonton tahu siapa dirimu."
"Tidak tuan, saya malu membuka tutup wajah. Â Sebenarnya wajahku sangat jelek sekali."
"Hahaha, tapi kau hebat sekali anak muda. Â Kelihatannya ilmumu sudah matang. Â Jika kau mau lawanmu bisa kau kalahkan dalam tiga jurus gerakan."
"Aaah tuan terlalu memuji. Â Aku tidak memiliki ilmu setinggi itu. Â Kemenangan ini hanya kebetulan saja."
Lelaki itu tertawa. Â Ia tidak memaksa Sembada membuka wajahnya. Â Iapun lantas membagi-bagikan hadiah kepada ketiga pemenang dalam pertandingan itu.
Sebentar kemudian tempat itu telah sepi. Â Sembada kini berjalan pulang ke Suwaluh. Â Ia dapat membantu keuangan Kakek Narto, yang hidup miskin bersama tiga cucunya.
Setelah mengambil tongkat bambu yang disembunyikannya, Sembada segera melangkahkan kaki pulang ke rumah Kakek Narto. Â Ia ingin menyerahkan sebagian hadiah itu kepada keluarga miskin di dusun sewaluh itu.
Ketika ia mau melewati bulak panjang di jalan menuju dusun Suwaluh, Sembada melihat beberapa lelaki menghadang di tengah jalan. Â Dari jauh ia sudah dapat menghitung jumlah mereka yang berdiri di kegelapan malam.
Enam orang bertubuh kekar, di antara mereka nampak berbadan pendek. Â Pasti mereka anak buah Gagakijo yang tidak rela sebagian harta mereka ia bawa. Â Pasti mereka akan merampas kembali hadiah pertandingan yang sudah ia dapatkan.
Sembada pura-pura tidak curiga terhadap mereka yang menghadang di tengah jalan. Â Iapun melangkahkan kakinya semakin dekat. Â Kantong uangnya ia ikat pada ikat pinggangnya, menggelantung di sisi tubuhnya.
"Berhenti. Â Ada yang aku urus pada dirimu anak muda " Â Kata lelaki pendek, yang bernama Trembolo itu.
"Kau Trembolo. Â Mengapa kalian menghadangku ?"
"Serahkan kantung uang itu kepadaku. Â Kamu tidak berhak untuk mendapatkannya."
"Ini hadiahku menang pertandingan yang kalian selenggarakan."
"Tapi kamu bukan warga desa Sambirame. Â Pertandingan itu untuk warga kami."
"Kalian tidak mengatakan bahwa pertandingan itu tidak boleh diikuti orang luar."
"Yah, aku akui kami bersalah. Â Tapi sejak dulu warga sudah tahu, jika pertandingan itu untuk warga kami."
"Aku juga warga Sambirame, dari Dusun Suwaluh."
"Aku tidak pernah tahu kamu orang Suwaluh. Â Tidak ada pemuda dari Suwaluh yang secakap kamu berkelahi."
"Sekarang ada."
"Kamu anak siapa ? Â Aku kenal semua orang Suwaluh."
Sembada tidak mengucapkan nama. Â Jika ia menyebut tinggal di rumah Kakek Narto, hal ini pasti akan membahayakan keluarga itu.
"Hahaha, aku memang bukan warga Suwaluh. Â Aku datang dari Kademangan Majaduwur. Â Kau mau apa"
"Kademangan Majaduwur ? Â Berarti benar kata Ki Lurah. Â Kau adalah pemuda yang membantu dua belas orang berkuda yang kami rampok di hutan Waringin Soban."
"Ya, dan kalian lari tunggang langgang."
"Setan. Â Kau memang anak demit. Â Sekarang kau datang membawa harta hasil jerih payah kami. Â Kembalikan."
"Enak saja. Â Jika kau sudah mampu melangkahi mayat saya baru aku kembalikan."
Enam orang itu segera mencabut pedang mereka dari sarungnya. Â Kemudian bergerak melingkar mengepung pemuda bertongkat bambu itu. Â Sembada segera bersikap waspada, sewaktu-waktu pedang mereka dapat saja meluncur menyerangnya.
Bergantian enam orang itu menyerang Sembada. Â Dengan tongkat bambunya Sembada menghadang pedang yang menyerangnya. Â Dengan cepatnya ia berputar-putar untuk menghalau pedang yang melayang ke tubuhnya.
Sebentar kemudian terjadi pertempuran yang dahsyat. Â Ia segera menerapkan ilmu peringan tubuhnya untuk melawan keenam orang itu. Â Namun anggota gerombolan Gagakijo itu memang orang-orang yang keras, mereka terlatih di medan pertempuran saat beraksi sebagai berandal.
Tetapi untuk mengalahkan Sembada membutuhkan waktu yang lama. Â Bahkan anak itu mampu pula memberikan serangan balasan yang berbahaya.
Sembada berpikir untuk menakut-nakuti lawannya. Â Ia akan menggunakan cambuknya dan menghajar keenam orang itu. Â Segera ia lolos cambuk yang melingkar di pinggangnya.
Keenam orang lawannya terpana. Â Mereka juga marah pemuda itu melawan mereka dengan hanya sehelai cambuk. Â Namun begitu cambuk itu meledak, mereka terkejut. Â Suara cambuk itu keras sekali seperti suara petir.
Tongkat bambu ia buang ke pinggir jalan. Â Dengan cambuk ia melakukan perlawanan dengan keras dan cepat. Â Cambuk itu meledak-ledak memekakkan telinga. Â Sebentar saja satu-persatu lawannya telah tergores kulitnya dengan ujung cambuknya.
"Setan kau anak muda. Â Dari mana kau dapatkan senjata itu. Â Senjata setan."
"Hahaha, ini bukan senjata setan. Â Tapi senjata pengusir setan."
Dengan lompatan-lompatan tinggi, kadang berjumpalitan di udara, Sembada membagikan lecutan cambuknya ke lawan-lawannya. Â Mereka agak kebingungan melakukan perlawanan. Â Pemuda itu ternyata memiliki ilmu jauh di atas mereka. Â Jika dalam pertandingan adu ketangkasan ia memperlihatkan ilmunya, maka dalam sekejab ia sudah menang.
Sembada dengan keras mendesak lawan-lawannya. Â Cambuknya berputar-putar menimbulkan dengung suara yang menggetarkan hati lawan-lawannya. Â Ketika ia terayun sebuah goresan luka mewarnai kulit anak buah Gagakijo.
Akhirnya keenam orang itu memilih untuk kabur. Â Sebelum salah satu dari mereka menjadi korban pertempuran itu, Trembolo segera bersuit. Â Keenam orang itu meloncat mundur, berbalik badan dan lari sekencang-kencangnya.
Sembada memandangi mereka dengan mata redup. Â Ternyata nyali anak buah Gagakijo hanya semenir. Â Ia belum mengerahkan ilmunya sampai puncak, lawan-lawannya sudah kabur.
Sembada melingkarkan cambuk di pinggangnya. Â Iapun lantas mengambil tongkat bambunya. Â Ia ingin segera sampai di rumah Kakek Narto. Â Dengan ilmu peringan tubuhnya ia berlari.
Sekejab saja ia telah sampai di depan rumah Kakek Narto. Â Orang tua itu sedang membakar ketela pohon di depan rumah, sambil menunggu kedatangan Sembada.
Tahu anak muda itu keringatnya deras sekali mengucur, segera kakek Narto mengambil kendhi di dapur. Â Ia berikan kendhi itu kepada Sembada. Â Sembada segera mengucurkan air dalam kendhi itu ke mulutnya.
"Dari mana angger sampai berkeringat bercucuran ?"
"Aku baru saja bertempur dengan anak buah Gagakijo. Â Mereka mengeroyokku. Â Semuanya enam orang."
"Enam orang ? Â Dan angger tidak cedera apa-apa ?"
"Mereka melarikan diri. Â Kecil juga nyalinya."
"Melarikan diri ? Â Enam orang itu ?" Â Tanya kakek Narto sambil geleng-geleng kepala.
"Kenapa mereka mengeroyok angger ?"
"Mereka mau minta kembali hadiah yang aku dapatkan memenangkan pertandingan di Sambirame."
"Angger ikut naik panggung ?"
"Iya Kek. Â Aku menang, juara satu."
"Sudah aku kira. Â Melihat sorot mata angger dan perawakan angger yang padat berisi, aku sudah mengira kalau angger seorang pendekar. Â Syukurlah angger selamat."
"Itulah yang aku pikirkan sekarang. Â Aku tidak lagi dapat tinggal di sini terlalu lama. Â Jika mereka datang ke sini, aku takut Kek Narto jadi sasaran kemarahan mereka. Â Maka malam ini juga aku akan pamit melanjutkan perjalanan."
"Sayang sekali anakmas. Â Cucu-cucuku sudah mulai akrab dan senang dengan angger. Â Namun karena terpaksa angger buru-buru pergi. Â Demi keselamatan kita bersama baiklah ngger, aku memberi pangestu kepada angger sebagai orang tua."
"Aku dapat hadiah banyak kek. Â Sekantung uang keping perak. Aku akan berikan separo untuk kakek. Â Untuk biaya hidup kakek membesarkan cucu-cucu kakek."
"Angger memang baik sekali. Â Bersyukurlah wanita yang melahirkan angger, ia pasti masuk nirwana kelak."
"Cari wadah kek, dan simpan nanti di tempat yang tak diketahui orang. Â Berbahaya jika ketahuan anak buah Gagakijo."
Kakek Narto segera mengambil bumbung air di dapur. Â Ke dalam bumbung itulah Sembada menuang separo uang keping perak dari kantongnya. Â Hati Kakek Narto berdebar-debar melihat puluhan keping perak masuk ke dalam bumbung itu.
"Nah, kira-kira sudah separo aku bagikan hadiahku untuk kakek. Â Pergunakan sebaik-baiknya untuk merawat cucu-cucu kakek. Â Namun hati-hati membelanjakannya. Â Usahakan sembunyi-sembunyi saja agar selamat."
"Iya ngger. Â Terima kasih sekali atas kebaikan angger."
Dibantu Sembada Kakek Narto menyembunyikan barang-barang itu di belakang rumah. Â Bumbung itu setelah lubangnya ditutup kayu, kemudian dipendam dalam tanah. Â Ia menandai gundukan tanah dengan sebuah batu yang cukup besar. Â Di atasnya lagi setumpuk kayu bakar menutupinya.
Kakek Narto memberikan kembali bungkusan milik Sembada. Â Pemuda itu lantas melingkarkan bungkusan itu di pundak dan pinggangnya, ujung-ujung kain itu ia ikatkan satu sama lain dengan kuat.
Tanpa pamit dengan nenek Narto dan cucu-cucunya, Sembada segera pergi dari rumah itu. Â Ia berhati-hati sekali menempuh jalan. Â Berusaha tidak seorangpun tahu bahwa ia pernah tinggal di rumah bambu beratap alang-alang itu. Â Untunglah rumah itu cukup jauh dari rumah tetangganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H