"Ini beneran pupus sudahhh."
"Gapapa Rel, kan masih ada Bima yang ngejar-ngejar dari dulu."
"Jangan biarin harapan Bima pupus juga Rel ahahaha."
Semuanya tertawa melihat Aurel yang kesal.
Tak lama kemudian Pak Ali guru seni musik datang. Semua langsung duduk ditempatnya masing-masing. Hari ini adalah praktek bernyanyi. Setiap siswa harus maju satu persatu untuk menyanyikan lagu daerah. Ditengah pelajaran berlangsung Nara izin ke kamar mandi karena ia sudah tidak bisa lagi menahan ingin buang air kecil. Setelah kembali dari kamar mandi Nara dikerjain teman-temannya. Mereka bilang kalau ini giliran Nara maju bernyanyi. Nara percaya begitu saja. Kemudian Nara maju ke depan dan bernyanyi. Ia langsung bernyanyi tanpa diberi aba-aba Pak Ali karena Pak Ali sibuk memberi nilai. Tak lama bernyanyi Pak Ali menghentikannya dan mengatakan kalau ini belum giliran Nara maju. Lalu Nara disuruh kembali duduk. Seisi kelas menertawakan Nara. Nara sangat malu dan ingin membalas temannya yang mengerjainya. Terutama Aurel.
Setelah pelajaran seni musik selesai, teman-teman Nara masih saja mengejeknya. Terutama teman sebangku Nara sendiri. Memalukan sekali. Tapi Nara tidak sedikitpun marah pada mereka. Nara menganggapnya hanya untuk seru-seruan di kelas.
Hari ini berjalan sangat cepat. Bel pulang sekolah berbunyi. Seperti biasa Nara langsung bergegas pulang. Sesampainya di rumah ternyata kedua orang tua Nara sedang beradu bicara. Nara pulang pun mereka sampai tidak menghiraukannya. Memang kedua orang tua Nara sering beradu bicara seperti ini. Mereka seperti ini karena usaha keluarga mereka yang semakin lama semakin buruk. Hati Nara terasa sesak melihat kedua orang tuanya seperti itu. Nara tidak tahan lagi mendengar perdebatan mereka. Nara lebih memilih di kamar dan mengunci pintu kamar. Ia selalu menangis ketika orang tuanya berdebat seperti ini. Ingin rasanya Nara segera lulus SMA, kemudian lulus kuliah agar bisa bekerja agar keadaan keluarga Nara tidak kacau seperti ini. Kebutuhan keluarga mereka yang semakin banyak. Biaya kuliah kak Hesa yang banyak. Â Â Â Â Begitupun dengan Nara. Ia ingin kuliah kedokteran.
 Nara memang bercita-cita menjadi dokter. Sebenarnya itu bukan cita-cita Nara dari kecil. Ketika masih kecil Nara bercita-cita menjadi seorang polwan karena menurutnya polwan itu keren. Tapi, impiannya berubah ketika neneknya meninggal karena penyakit jantung yang dideritanya empat tahun yang lalu. Sejak saat itu Nara berkeinginan menjadi dokter. Nara ingin menjadi dokter spesialis jantung. Alasanya karena ia ingin menyembuhkan orang-orang yang terkena penyakit jantung. Tidak hanya itu, Nara juga ingin bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat  tentang masalah penyakit jantung, dan cara mencegah agar tidak terkena penyakit jantung. Dengan itu ia berharap agar penderita penyakit jantung bisa berkurang dan tidak berakhir sama dengan neneknya. Semulia itu cita-cita Nara.
 Tapi sayangnya tidak semudah itu Nara bisa mewujudkan impiannya itu. Apalagi keadaan keluarga Nara yang sedang tidak baik ini. Pernah Nara membicarakan keinginannya itu kepada ayahnya tapi ayahnya tidak setuju karena biayanya yang besar. Tapi Nara tidak patah semangat, ia akan mencari cara untuk mewujudkan mimpinya itu.
Perdebatan orang tua Nara sudah selesai. Kini keduanya saling diam tak mau bicara. "Suasana rumah macam apa ini." Nara membuang napas kesal. Ia sangat benci suasana seperti ini. Ingin rasanya Nara pergi dari rumah ini. Daripada melihat suasana yang sama sekali tidak menyenangkan ini, Nara memilih di kamar dan belajar. Tekadnya semakin kuat untuk membuat keluarganya tidak merasakan kesusahan seperti saat ini terus menerus. Nara belajar hingga ketiduran.
Keesokan hari nya Nara bangun kesiangan. Ia terburu-buru sekali. Pikirannya kacau. Ia tidak bisa merasakan cerahnya pagi ini. Nara sampai di sekolah tepat kurang lima menit gerbang sekolah ditutup. Sesampainya di kelas teman-temannya langsung menanyainya.