Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Belajar untuk menjadi bagian dari penyebar kebaikan

BEKAS ORANG GANTENG, Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Bisnis Kematian

20 Agustus 2020   14:59 Diperbarui: 20 Agustus 2020   15:11 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usianya hampir genap lima puluh sembilan tahun. Akibat terjadi pengurangan karyawan Mustahal diberhentikan dari pekerjaannya di pabrik garmen. Uang pesangon tujuh puluh juta rupiah dibiarkannya tersimpan di bank. 

Sambil mencari-cari peluang usaha untuk sementara dia secara sukarela bekerja di masjid kampung sebagai marbut, tidak menerima upah. Bahkan dia bersedia merogoh kocek sendiri untuk sekadar membeli bahan dan alat kebersihan. Intinya dia hanya ingin punya kesibukan. Dia tidak hirau terhadap komentar orang yang bernada merendahkan.

Setelah berkali-kali melaksanakan salat istikharah barulah dia mendapatkan kemantapan hati untuk kemudian membuka usaha yang berhubungan dengan kematian. 

Selanjutnya mulailah dia menyiapkan kios di sayap kiri rumahnya dan berbelanja beragam barang yang biasa digunakan untuk kematian di kampungnya, seperti kain kafan, tikar pandan, kapur barus, setanggi, payung hitam, minyak wangi, dan lain-lain. Persediaan tersebut diperkirakan cukup untuk dua puluh paket kematian. Seperti biasa, dari tahun ke tahun, orang yang meninggal dunia  berkisar antara dua puluh sampai dua puluh lima orang.  

"Banyak amat, Pak?" tegur istrinya.

"Siapa tahu, besok atau lusa ada yang membutuhkan barang-barang ini. Yah, siapa tahu ..."

"Pak!"

"Maksudku, aku ingin usaha kita maju. Siapa tahu, bisa."

"Mudah-mudahan, Pak. Eh, berarti kita berharap ada orang yang meningal?"

"Janganlah sekali-sekali berharap dan berpikirbegitu, Bu.Semoga Allah memberikan rezeki  melalui usaha ini."

Istrinya mengangguk, paham.

Mustahal sangat serius dengan usahanya itu.Dia pergi untuk menemui seorang kenalannya, pedagang bunga di Rawabelong. Bila suatu saat ada yang memesan bunga dia tinggal telepon dan minta diantar. Namun diatidak bisa janji akan sering belanja bunga karena warga di kampungnya tidak begitu biasa menabur bunga di atas makam.

Waktu senggang banyak dimanfaatkannya menghafal doa-doa untuk berjaga-jaga kalau-kalau suatu saat diperlukan. Pengetahuannya tentang tatacara pengurusan jenazah pun di-up grade dengan cara belajar kembali kepada kiyai As'ad, guru ngajinya.

    

***

Sebuah taksi berhenti di depan rumahnya. Siapa gerangan yang datang? Seketika Mustahal senang begitu melihat putri sulungnya beserta dua anak dan suaminya. Mereka hendak berlibur. Hampir tiga tahun Marni tidak pulang. Mustahal segera meraih sang cucu dari gendongan ibunya. Istri Mustahal menyusul menyambut mereka dengan hangat. Marni mulai menunjukkan muka masam begitu tahu sang ayah berjualan barang-barang terkait kematian. Dia enggan bicara.

Setelah menahan-nahan akhirnya Mustahal bicara juga, "Apa yang membuatmu tak nyaman, Marni?"

"Bapak ini bagaimana sih, enggak banget gitu loh! Pokoknya besok kami pulang, tidak mau berlama-lama di sini. Malas!"

"Jangan buru-burulah. Di sinilah dulu barang seminggu. Kami masih kangen."

"Tidak. Kami sudah memesan tiket pesawat, mau pulang."

"Marni, bapak sudah pertimbangkan masak-masak. Inilah usaha yang terbaik untuk bapak laksanakan. Insya Allah ini bisa menjadi ladang amal."Bicara Mustahal tenang dan merendah.

"Tidak mesti dengan cara itu, Pak. Kalau Bapak mau bersedekah berikan saja uangnya kepada yang berhak. Beres."

Hening sesaat.

"Lantas, supaya dagangan Bapak laku, apa doa Bapak? Bapak berdoa supaya ada orang yang mati bukan?"

"Meninggal dunia, Marni."

"Sama saja!"

"Tidak begitu juga Marni. Soal orang meninggal dunia itu urusan Tuhan. Perkara keluarganya mau membeli kain kafan kepada siapa, terserah saja. Itu hak mereka."

"Tapi Bapak juga berharap mereka membeli kepada Bapak, bukan?"

"Itu urusan mereka, lagi pula bapak bukan satu-satunya yang berjualan perlengkapan kematian seperti ini. Di pasar juga ada."

"Ah, susah bicara dengan Bapak! Sekarang rumah ini auranya jadi seram, Pak, seram, angker, hih!"

"Itu hanya perasaanmu saja. Mungkin kamu keseringan nonton tayangan tentang makhluk halus. Bapak merasa biasa saja."

"Cobalah ganti usahanya dengan jualan gas, air galon, atau warung sembako. Ini malah berjualan perlengkapan kematian! Selain pembelinya sepi karena tidak setiap hari ada yang mati di sekitar sini, juga suasana rumah ini jadi seperti kuburan."

"Kamu kan lama gak pulang ke sini, mungkin perlu adaptasi dalam beberapa hari."

"Tidak. Aku mau pulang."

"Kalau itu maumu bapak tidak bisa menghalang-halangi, tapi apa tidak sebaiknya kamu pertimbangkan. Anak-anakmu masih ingin berada disini barangkali."

"Tak ada yang perlu dipertimbangkan. Aku akan kembali setelah bapak tidak berjualan barang-barang horor seperti itu lagi."

"Masa iya segitu saja horor."

"Sudahlah Pak."

Sang menantu memilih diam,tidak mau ikut campur urusan ayah dan anak itu. Diatak mau ambil risiko disemprot istrinya jika berpihak kepada bapak mertua.

Setelah semalam menginap, pagi-pagi benar mereka sudah berkemas, tak peduli kedua anaknya masih ingin tidur.

"Kamu tersingung karena sikap bapakmu?"

"Aku mimpi buruk Bu, dikejar-kejar setan kuburan. Ini pasti ada hubungannya dengan dagangan bapak."

"Pikiranmu terbawa mimpi, Marni."

"Mungkin hantunya yang masuk ke mimpiku Bu."

"Kamu itu Marni, keras kepala."

"Sudahlah Bu, aku pamit."

Sebuah Avanza yang telah dipesan secara online tiba menjemput keluarga Marni. Dalam waktu singkat mereka hilang dari pandangan,

***

Sepeninggalan putrinya, istri Mustahal merasa kehilangan. Demikian pula istrinya."Pak, apa tidak sebaiknya kita ganti usaha, berjualan sembako mungkin, agar tak sepi pembeli dan Marni bisa lebih sering datang."

"Kapan-kapan juga Marni datang Bu. Dia pasti akan kangen dengan kita. Jangan dimasukkan ke hati sikap kekanak-kanakannya."

"Bapak kesal juga bukan?"

Mustahal menghela napas dalam-dalam dan melepasnya. "Andai saja semasa dia remaja kita yang mengasuhnya, mungkin tidak seperti itu sikapnya. Semoga suaminya diberikan kekuatan dan kesabaran dalam menghadapinya."

"Iya Pak. Mungkin itu akibat salah asuhan dari neneknya. Sudahlah, jangan disesali."

***

Lambat laun usaha Mustahal diketahui banyak orang, tapi tetap saja sepi pembeli. Orang yang meninggal dunia di kampungnya tak bisa diprediksi. Tiap bulannya kadang ada kadang tidak, kadang pula ada tiga orang dalam sepekan. Namun itu pun shahibul musibah tidak  selalu membeli peralatan kematian ke kiosnya. Karena sangat jarang pembeli, Mustahal sering meninggalkan kiosnya. Waktu luangnya lebih banyak digunakan untuk melaksanakan tugas marbut masjid. Ketika muazin utama berhalangan dialah yang menggantikannya, meskipun kualitas vokalnya mulai gemetar.

Kabar bahwa lahan di ujung kampung, di bawah sutet, akan digunakan untuk pemakaman telah sampai ke telinganya sejak beberapa bulan lalu. Dia tidak menaruh harapan karena tidak akan berimbas kepada usahanya. Kabarnya pula orang yang akan dimakamkan di situ berasal dari sejumlah kompleks perumahan, bahkan dengan jarak yang lumayan jauh.

Suatu malam, Mustahal dikejutkan oleh kedatangan kepala kampung dengan membawa surat berkop Dinas Pertamanan dan Pemakaman kabupeten yang ditujukan kepadanya. Isinya meminta kesediaanya untuk menjadi petugas lapangan yang tugasnya menjaga dan melayani orang-orang yang hendak menguburkan jenazah.

"Wah, salah orang barangkali, Pak Okib."

"Ini atas usulan saya Pak Mus. Tak ada yang lebih pantas selain Pak Mus yang mengemban tugas ini, karena yang saya tahu, Pak Mus bisa baca doa panjang-panjang, he-he-he. Untuk Pak Mus, semoga nanti ada gajinya. Barangkali saja saya kecipratan rezekinya, he-he-he... "

"Masih ada yang lebih berilmu daripada saya Pak Okib, Kiyai As'ad misalnya, atau siapalah. ."

"Oh tidak bisa. Beliau sibuk dengan urusan pesantrennya. Mohon terimakan Pak Mus."

"Wah, bagaimana yah!"

"Ayolah Pak Mus. Insya Allah ini pekerjaan mulia dan halal."

"Saya kira warga lain masih ada yang bersedia, Pak Okib."

"Ini akan menjadi lahan basah, Pak Mus. Banyak pemasukannya."

"Ah, jangan begitu Pak Okib."

"Maksud saya, insya Allah ada rezekinya dan membawa kabaikan bagi siapa saja kalau Pak Mus yang menangani. Karena Allah, mohon terima Pak Mus. Katanya akan segera di-SK-kan. Saya siap membantu kapan saja jika diperlukan."

"Baiklah kalau begitu. Saya terima."

"Lebih bagus begitu, Pak  Mus.Besok sudah bisa mulai bekerja."

***

Jumlah makam makin banyak. Sekali waktu ada pihak keluarga yang meminta Mustahal memesankan nisan. Mustahal pun menyanggupi. Mulailah dia berhubungan dengan pembuat nisan. Selanjutnya ada pula warga kampung yang datang ke rumahnya meminta dipesankan nisan. Ini menjadi sumber penghasilan tambahan baginya.

Suatu sore, musim hujan, kabar duka melanda warga kampung tetangga. Musibah longsor menelan korban jiwa. Bakda isya, seseorang mendatangi rumah Mustahal untuk membeli kain kafan. Maklum, jam segitu kios yang menjual kain kafan di pasar dipastikan tutup.

"Untuk tujuh orang Pak Mus. Lima dewasa, dua anak-anak."

Ketika pembelinya hendak membayar untuk harga tujuh paket, Mustahal menggratiskan satu paket.

"Saya bawa uang cukup kok, Pak Mus."

"Pak Amil izinkan saya bersedekah, mohon terimakan."

"Baiklah, terima kasih kalau begitu. Semoga Allah memberi pahala kebaikan bagi Bapak."

"Amin."

***

     Sebuah mobil AVP warna silver tiba dan terparkir di depan rumah Mustahal. Dengan sopirnya Mustahal tidak kenal, tapi begitu penumpangnya turun Mustahal langsung mengenali. Lelaki berkumis tebal dengan parawakan tinggi tegap dengan kulit bersih bernama Haji Mubarak. Mustahal mengenalnya sebagai keluarga almarhum Haji Rasudin yang makamnya diurusinya. Karena seringnya laki-laki itu berziarah ke makam ayahnya, Mustahal menjadi kenal baik. Maksud kedatangannya kali ini untuk menanyakan kesediaan Mustahal menerima hibah mobil yang masih tampak bagus itu. Jika Mustahal bersedia mobil itu akan dimodifiksi menjadi ambulans.

"Saya hanya melaksanakan wasiat almarhum, Pak Mus."

"Selama ini, warga kampung sini mengangkut jenazah ke pemakaman menggunakan kendaraan bak terbuka. Dulu digotong. Orang sudah enggan melakukannya. Saya sempat mengusulkan kepada pengurus masjid, tapi tidak direspons."

"Pak Mus saja yang mengelola ambulans ini nantinya. Tapi mohon maaf bukan mobil baru."

"Oh, tidak apa-apa. Saya pernah berangan-angan, akan lebih baik jika ada ambulans serba guna di kampung ini guna membantu kesulitan warga akan angkutan. Tidak saja untuk mengangkut jenazah, melainkan mengantar warga ke rumah sakit, bahkan bisa untuk ngebesan."

"Nah, berarti saya tidak salah mempercayakan mobil ini kepada Pak Mus."

"Insya Allah akan saya jalankan amanah ini."

"Saya minta waktu sekitar sepekan untuk menata bagian dalamnya agar bisa digunakan untuk mengangkut keranda seperti mobil ambulans pada umumnya." 

"Terima kasih atas pekercayaan yang Bapak berikan. Insya Allah akan saya laksanakan amanah ini dengan semestinya."

Berkat pengalaman mengemudikan mobil ketika bekerja di pabrik garmen, Mustahal tidak mengalami kesulitan dalam mengemudikan mobil ambulans yang dikuasakan kepadanya. Keberadaan mobil ambulans itu dikabarkan Mustahal kepada jamaah Jumat. Bagi warga yang memerlukan mobil ambulans tersebut dipersilakan menggunakannya. Untuk membantu dana operasional dipasangnya kotak amal di dalamnya. Orang boleh memberi uang seikhlasnya. Bagi warga yang tidak mampu Mustahal menggratiskannya. Terlebih jika dia yang mengemudikannya. Ambulans itu terparkir di samping masjid. Kuncinya dia yang pegang. Mustahal pernah menyerahkannya kepada ketua DKM, tapi ditolak dengan alasan tak mampu mengoperasikannya.

***

Tiga setengah tahun telah berlalu. Bakda isya. Sebuah taksi biru berlogo burung elang berhenti di depan rumah Mustahal. Seorang perempuan, yang tak lain adalah Marni, turun disertai dua anak. Sejumlah barang bawaan pun diturunkan.  

Mendengar suara mobil Mustahal keluar rumah. "Marni!" Seketika Mustahal kaget.

"Bapak." Marni segera menghampiri dan mencium tangan bapaknya, diikuti kedua anaknya.

"Ayo." Mustahal segera mengangkat barang bawaan Marni.

Taksi pun pergi. Marni bergegas masuk menemui ibunya. Tangis Marni pecah. Dalam hati Mustahal bertanya-tanya, khawatir ada sesuatu yang tak beres dengan putrinya. Mustahal menahan diri seraya menantikan kejelasannya.Sampai dua hari berikutnya barulah istrinya menjelaskan bahwa kedatangan Marni adalah kedatangan untuk menetap sementara. Pasalnya, Marni berkonfik dengan suaminya, tapi Marni tak menjelaskan musababnya.

Sepulangnya Mustahal dari masjid usai menunaikan salat subuh, Marni mendekat.

"Pak, aku mohon izin untuk menetap di rumah ini."

"Rumah ini seram Marni." Mustahal menyindir.

"Sekarang tidak kok, Pak, bahkan adem."

"Mudah-mudahan kamu bisa berlama-lama di sini."

"Insya Allah, Pak."

Hal yang sebenarnya telah diceritakan Marni kepada ibunya bahwa kenyataan pahit harus dihadapinya. Marni memilih berpisah dengan suaminya karena tidak siap dimadu. Suaminya telah menikah lagi dan dikaruniai satu anak. Mustahal belum mengetahui hal itu. Pikirannya sedang terpusat kepada urusan pemakaman korban jatuhnya pesawat Emprit Air siang nanti. Dia telah menugasi Oman dan Acim selaku bawahannya untuk menggali tiga lubang kuburan.[]

*dimuat dalam kumcer Nyanyian Prosa Cinta, 21 Penulis, FAM Publishing 2020, hlm. 161-172.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun