Dalam tahun 1997. Baru satu setengah tahun menjadi guru koleksi dasi Pak Rofik sudah mencapai belasan. Setiap hari dia wajib berpakaian rapi, berbaju kemeja lengan panjang dan mengenakan dasi. Begitulah peraturan di SMA swasta tempatnya mengajar. Dia tidak membelinya sendiri dasi itu melainkan pemberian dari pihak sekolah. Dengan mengenakan dasi penampilannya menjadi lebih berwibawa, seperti kaum eksekutif. "Ganteng, kayak sales minyak angin!" kelakar istrinya ketika dia berangkat mengajar dengan menjinjing tas. Â Dengan spontan dia membalas, " Ini juga istrinya sales minyak angin!"
Pak Rofik tampak lebih berkelas saat mengenakan jas hitam dengan dasi biru kombinasi koleksinya yang paling lebar untuk menghadiri acara perpisahan kelas akhir. Jas itu dibelinya di pasar Senen seharga lebih dari separuh dari gajinya. Saat itu nilai rupiah baru saja melemah atas dolar. Sesungguhnya bukan harga jasnya yang terlampau mahal melainkan karena gajinya yang tidak seberapa dibanding pendapatan tetangganya yang berjualan es orson. Meskipun mengajar di sekolah yang terbilang favorit tapi gajinya biasa saja, sama dengan di sekolah swasta pada umumnya.
Suatu ketika pernah terjadi para guru mogok mengajar. Mereka menuntut kenaikan gaji, tapi buntutnya beberapa guru yang dianggap sebagai propokator diberhentikan dengan cara halus. Mereka tidak diberi jam mengajar dalam jangka yang tidak tentu. Tidak ada uang honor per jam mengajar bagi mereka. Akhirnya satu per satu mereka mengundurkan diri tanpa mendapat imbalan apa-apa. Dengan alasan masih terbilang guru baru Pak Rofik tidak ikut-ikutan sehingga tidak ada sanksi banginya.
Memasuki tahun ketiga dia mendapat tawaran mengajar di SMA negeri atas rekomendasi kepala sekolahnya. Kebetulan di SMA swasta jatah mengajarnya hanya delapan belas jam, diambilnya kesempatan itu. Tanpa diduga Pak Rofik kemudian dipercaya menjadi wali kelas sebelas.
Dia merasa tak enak hati. "Ini tidak salah Pak, saya kan masih baru. Saya tidak enak dengan guru lain." Â
"Tidak apa-apa Pak Rofik, sekarang jumlah kelasnya bertambah. Semua guru telah mendapat tugas sesuai kafasitasnya. Semoga bapak bisa menerima." Kepala sekolah SMA negeri ini telah mengetahui kafasitasnya dari kepala sekolah swasta tempat dia mengajar. Â Â
"Kalau begitu, terima kasih atas perhatian Bapak. Mohon bimbingan Bapak agar saya dapat melaksanakan tugas dengan baik. Terima kasih atas kepercayaan yang Bapak berikan."
"Baik."
Dalam satu forum rapat dia memohon bimbingan kepada guru-guru senior agar dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Kendati tidak perlu dibangga-banggakan, setidaknya dia bersyukur diberi kepercayaan dan kesempatan untuk belajar lebih banyak dalam menjalani profesi. Sebagai guru yang terbilang baru Pak Rofik masih merasa seperti tamu di SMA negeri itu. Terutama terhadap guru-guru senior dia masih minder. Untung mereka umumnya dapat memaklumi. Terhadap siswa binaan dia berusaha menjalin komunikasi agar mereka terlayani.
Selasa dan Kamis Pak Rofik mengajar di dua sekolah. Setiap Selasa dari sekolah swasta ke sekolah negeri terpaksa dia melepas dasi, sedangkan pada hari Kamis terjadi sebaliknya. Hal itu dilakukannya karena di sekolah swasta wajib mengenakan dasi, sedangkan di sekolah negeri tak ada yang memakai dasi karena tidak diharuskan. Guru-guru PNS umumnya memakai pakaian dinas, tapi ada juga yang berpakaian kemeja. Mengajar di dua sekolah dijalaninya secara baik. Terhadap jam mengajarnya yang bentrok telah dia konfirmasikan dengan bagian kurikulum sebagai penyusun jadwal.
Sebuah mobil bagus berhenti di depan rumah Pak Rofik. Seorang anak remaja bernama Ricky, yakni siswa binaannya di sekolah negeri, turun dari pintu kiri. Sopir pemiliknya, lelaki dewasa pun turun. Sebelumnya Ricky telah bertanya kepada orang di sekitar situ. Ada keberanian yang dipaksakan pada diri anak itu. Ada ketakutan yang dilawannya. Tak ada guru lain yang dipilihnya. Dia hanya tahu dan berani datang ke rumah wali kelasnya. Â Orang yang dia antar ini adalah atasan ayahnya di tempat kerja di pabrik genteng bermerek Menor, Â namanya Pak Dirham. Ricky tak bisa menolak ketika dimintai tolong. Â Â Â
"Assalamualaikum! Pak Rofik!" ucap Ricky. Suaranya  sedikit gemetar. Dia siap dimarahi gurunya. Dia akan pasrah dan terima bersalah jika disalahkan.
Tak ada jawaban.
"Benar gak ini rumahnya?" Â Pak Dirham ragu.
"Kayaknya sih benar Pak. Ini catnya biru."
"Ayo coba panggil lagi."
Ricky mendekat ke pintu dan mengetuknya. Dia mengulangi salamnya. Dia khawatir kalau-kalau salah sasaran. Ditengoknya lingkungan sekitar barangkali ada orang untuk memastikan keberadaan gurunya, tak ada orang.
"Sepertinya Pak Rofiknya tidak ada pak. Pergi mungkin."
"Kita coba tunggu sepuluh menit yah."
Belum sampai sepuluh menit orang yang ditunggu muncul dari belakang mereka.
"Waalaikum salam, eeeh ada tamu. Ricky?" Rofik muncul dari belakang mereka.
"Iya, Pak. Maaf Pak, saya ngajak bapak ini. Ada perlu dengan bapak katanya."
"O ya, tidak apa-apa. Lama nunggu yah. Bapak habis takziah, saudara istri yang meninggal. Mari masuk!"
Semua duduk di ruang tamu. "Ada perlu apa Ricky?"
"Sekali lagi saya minta maaf Pak. Saya mengajak bapak Dirham. Dia meminta saya mengantarkan. Barangkali bapak bisa membantu." Dengan isyarat tangan Ricky mempersilakan orang yang diantarnya untuk bicara.
"Saya Pak Dirham, wali murid Pak. Mohon maaf jika mengganggu. Begini Pak, anak saya sudah diterima di sekolah kejuruan, tapi kemudian minta pindah ke SMA. Maksud saya datang ke bapak untuk meminta bantuan supaya anak saya bisa pindah ke sekolah bapak."
"O begitu."
"Nilai ebtanas murninya memang kecil, 29 koma sekian. Katanya di SMA tempat bapak mengajar 33 lebih. Saya menyadari hal itu. Itu sebabnya saya minta bantuan bapak. Saya akan kasih bapak lima ratus ribu."
"Waduh, mohon maaf Pak, mungkin bapak salah orang. Saya cuma guru biasa Pak, guru honor. Yang jadi panitia guru-guru PNS senior, tapi kepanitiaannya sekarang sudah dibubarkan. Apalagi ini, pembelajaran sudah berlangsung tiga bulan lebih."
"Maksud saya, terserah bapak bagaimanalah caranya supaya anak saya diterima."
"Bagaimana pak yah, atau sebaiknya bapak datang langsung saya ke kepala sekolah karena keputusan tertinggi pasti ada di kepala sekolah."
"Kalau prosedur resmi seperti itu saya juga tahu, maksud saya saya minta tolong bapak agar bapak mengusahakannya. Kalau bapak yang menghadap ke kepala sekolah mungkin akan besar kemungkinannya anak saya diterima, tanpa saya harus repot-repot menemuinya.
Dalam batinnya Pak Rofik menolak cara seperti itu. Apalagi angka NEM-nya tidak memenuhi syarat minimal. Jika menolak dengan tegas Pak Rofik merasa tak enak hati. Demi menghargai tamunya Pak Rofik akan mencoba mengusahakan.
"Baiklah Pak, akan saya coba, tapi saya tidak janji masalahnya selain masa pendaftaran sudah lewat juga nilai NEM anak bapak yang tidak mencapai syarat minimal."
"Tolonglah bapak usahakan. Kalau diterima, saya akan kasih bapak lima ratus ribu. Ini berkasnya." Pak Dirham menyerahkan map hijau.
"Baik, Pak."
"Sekarang saya pamit, Minggu depan saya akan kembali."
"Saya akan coba usahakan Pak."
Sepulangnya Pak Dirham dan Ricky, Pak Rofik menceritakan hal itu kepada istrinya. Imbalan lima ratus ribu begitu menggiurkan, bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup sekian hari. Lima ratus ribu, nominal yang besar bagi Pak Rofik yang gaji bulanannya di SMA negeri hanya tujuh puluh dua ribu. Sebagai pembanding, harga sewa kontrakan di dekat sekolahnya lima puluh ribu. Andai dia mengontrak rumah bisa untuk sepuluh bulan. Uang sejumlah itu juga bisa untuk membeli perhiasan emas dua puluh empat karat bisa lima gram lebih. Siapa yang tidak tertarik, ya Pak Rofik pun tertarik.
"Terserah, diambil silakan, tidak diambil keterlaluan." Istrinya mencetus.
"Kok begitu?"
 "Ya iyalah. Orang sudah jauh-jauh dia datang ke rumah kita mau ngasih duit. Bapak tinggal minta tolong saja ke kepala sekolah supaya anaknya diterima, seberapa susahnya sih!"
"Susahlah Bu."
"Sesusah apa? Keadaan kita jauh lebih susah ketika si Deden butuh susu formula yang harganya gak pernah turun. Buat beli beras juga kita sering kesulitan. Kalau bapak terima uang dari bapak yang tadi itu setidaknya beban keluarga kita jadi sedikit lebih ringan. Uang segitu lumayan bukan?"
"Masalahnya begini bu. Masa pendaftaran sudah lewat, sudah tutup, pembelajaran sudah berjalan, dan NEM-nya di bawah standar. Kalau anaknya diterima itu menyalahi aturan, nyogok namanya, dan kita makan uang sogok, lagi pula belum tentu kepala sekolah mau menerima anaknya. Kepala sekolah juga tidak mau rahasia menerima sogoknya diketahui orang lain."
"Kan bukan bapak yang minta. Halal bukan?"
"Hm halal dari Hongkong!"
"Yang penting bapak tidak meminta paksa."
"Tidaklah, aku tidak mau."
"Bodoh bapak ini. Orang lain mencari-cari duit gituan, ini sekalinya mau dikasih, menolak. Pokoknya, besok bapak temui saja kepala sekolah di ruangannya. Bilang saja apa adanya."
"Ya, besok akan saya usahakan." Pak Rofik enggan berdebat lebih banyak.
"Bagus begitu, jangan menyerah sebelum berusaha. Kita butuh duit untuk kebutuhan sehari-hari."
Banyaknya siswa titipan atau yang masuk melalui "jalan tikus" telah diperbincangkan guru-guru yang tidak pernah terlibat. Jumlah siswa yang melebihi kafasitas dan banyaknya siswa yang kemampuannya di bawah rata-rata karena tidak melalui seleksi berakibat pada rendahnya kualitas pembelajaran di kelas. Kelas cenderung berisik. Guru tidak dapat memaksimalkan kinerjanya. Hal itu dirasakan juga oleh Pak Rofik. Ketika menjelaskan materi pelajaran dia kerap percuma melontarkan pertanyaan karena dia pula yang harus menjawabnya. Metode tanya jawab tidak bisa dia diterapkan. Namun meskipun begitu dia terus berupaya memaksimalkan proses pembelajarannya.
Soal titipan Pak  Dirham dengan iming-iming imbalan uang lima ratus ribu, sebenarnya Pak Rofik bukan enggan atau takut menghadap ke kepala sekolah, tapi lebih kepada menjaga idealisme. Dia ingin mencegah terjadinya kecurangan. Hanya itu yang dia bisa. Yang dia tahu, seperti dalam obrolan beberapa guru, kepala sekolahnya termasuk orang yang doyan menerima uang sogokan dari orang tua siswa yang masuk menyalahi prosedur. Â
"Bagaimana Pak, diterima?" sambut istrinya begitu Pak Rofik tiba di rumah.
Pak Rofik menghela napas. "Boleh saya minta minum dulu?"
Dengan senang hati istrinya segera mengambilkan air minum. "Lima ratus ribuuuuu! Diterima yah?"
Pak Rofik minum. "Belum. Kepala sekolahnya tidak masuk, mungkin ada urusan dinas."
"Jahhhhh. Tapi masih ada waktu."
"Jangan terlalu berharap, masih banyak jalan lain untuk memperoleh rezeki."
"Kalau uangnya nanti kita belikan perhiasan, bagaimana Pak? Hitung-hitung sebagai kenang-kenangan."
"Terserah."
"Hmmm."
Hari terus berganti. Tak ada upaya Pak Rofik untuk menemui kepala sekolah di ruangannya. Sebuah map hijau berisi berkas fotokopi ijazah dan NEM atas nama Mariana Lestarini  dibiarkannya berada di atas meja kerjanya di ruang guru. Sebelum hari kedatangan Pak Dirham map itu dibawanya pulang untuk dikembalikan.
Esok harinya, hujan tengah malam menyisakan genangan kecil di mana-mana. Jalan masuk ke rumah Pak Rofik basah. Mobil Pak Dirham berhenti di depan rumah Pak Rofik. Kali ini Pak Dirham datang sendiri, tanpa ditemani Ricky.
Pintu rumah Pak Rofik terbuka. Pak Rofik sedang tak ada kesibukan. Istrinya baru selesai memandikan anak keduanya. Pak Dirham mengucap salam, dibalas langsung oleh Pak Rofil dan dipersilakan duduk.
"Bagaimana Pak? Saya bawa uangnya lima ratus nih." Pak Dirham menepuk saku bajunya.
"Sudah saya usahakan negosiasi dengan kepala sekolah, tapi ditolak. Katanya sudah penuh. Padahal saya akui sebagai saudara saya. Mungkin karena saya guru honor pak."
"Payah bapak ini. Katanya bapak wali kelas, artinya sudah dipercaya dong."
"Iya pak, tapi ini urusannya berbeda. Mungkin sebaiknya bapak langsung saja ke kepala sekolah, jika bapak mau besok kita ketemu di sekolah. Saya antarkan bapak menemuinya. Siapa tahu beliau punya pertimbangan lain."
"Itu sih kalau mau dari awal saya juga bisa, formal jadinya. Saya maunya melalui bapak. Hari kerja saya juga kerja. Rumah kepala sekolahnya di mana?"
"Di Tanah Tinggi, tapi saya tidak tahu alamat persisnya."
"Wah, Tanah Tinggi luas. Lebih baik saya minta bantuan orang LSM atau wartawan."
Pak Dirham pamit dengan hati dongkol. Pak Rofik menahan diri untuk tidak banyak berkata-kata kecuali meminta maaf dan merendah. Setelah mengetahui gagal menerima uang lima ratus ribu istri Pak Rofik nyapnyap.
Dua pekan berikutnya, di sekolah secara tak sengaja Pak Rofik bertemu empat mata dengan Ricky.
"Kamu lagi, kenapa harus diajak ke rumah bapak sih bapak bos itu?"
"Maaf Pak, saya tahunya cuma rumah bapak."
"Ogah bapak mengurusi yang seperti itu."
"Tapi Pak, anaknya ada, masuk."
"Hah? Yang benar?"
"Iyah, di kelas satu sebelas kalau gak salah."
"Ohhhh. Entah melalui siapa itu."
"Gak tahu pak." Â
Begitulah faktanya. Tak ada kewenangan Pak Rofik untuk menegakkan peraturan di sekolah, juga tidak ada kewenangannya menghalangi praktek suap pada penerimaan siswa baru. Pada akhirnya, baginya yang penting tidak menjadi bagian dari pelaku kecurangan itu. Tidak hadirnya Pak Rofik pada rapat dinas pembagian tugas mengajar yang dilaksanakan di sebuah rumah makan menjadi keputusannya agar terhindar dari makan uang yang tidak halal. Dia menduga biaya yang digunakan untuk makan-makan itu berasal dari penyuapan ataupun pungutan liar penerimaan siswa baru.[] Â
Â
 Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H