Rupanya dia tidak main-main. Aku ragu, tapi kemudian bangkit dan mengikuti. "Ayolah daripada pusing di rumah."
Kami berangkat dengan berjalan kaki ke arah kumpulan pedagang makanan  di sekitar pangkalan angkutan kota yang jaraknya kurang dari seratus meter.
 Baru saja berjalan belasan meter tiba-tiba Suryanto bergidik, menggerakkan badannya spontan. "Jangan begitu dong ah! Kalau mau ngasih-ngasih saja." Suryanto bicara sendiri.
"Ada  apa sih Mas kayak kegelian gitu?"
Suryanto merogoh kantong celana dan menunjukkan isinya, "Nih, sepuluh ribu. Dikira duit gede. Sepuluh ribu bisa buat beli apa? Kalau mau ngasih uang jangan tanggung-tanggung!"
"Bicara dengan siapa, Mas?" Aku heran.
Perhatian Suryanto terfokus kepada sesuatu, mungkin makhluk halus. Sesaat kemudian  dia kembali bergidik. Tangannya merogoh-rogoh semua saku celananya. "Nah, ini dia. Seratus ribu."
Aku terperangah. "Coba, aku pegang uangnya. Uang asli, Mas?"
"Coba periksa.."
Ketiga lembar uang itu aku terawang ke sinar lampu tepi jalan dan kuraba-raba dengan teliti. "Betul asli, Mas."
Meskipun demikian aku menduga bahwa masih ada kemungkinan Suryanto menggunakan trik sulap. Tapi masa bodohlah, yang penting aku dibayari makan nasi goreng dan tak sepeser pun aku dirugikan.