Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan yang ingin terus menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berusaha menuliskan apa saja yang bermanfaat, untuk sendiri, semoga juga untuk yang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Barang Titipan

26 Agustus 2020   14:20 Diperbarui: 26 Agustus 2020   14:25 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"De, Abang besok dinas luar kota lagi," kata suamiku di tengah sarapan.

"Perasaan sekarang jadi sering ke luar kota ya?" sahutku sekaligus tanya.

"Maklum lah De, kantor Abang lagi buka cabang, semuanya harus dipersiapkan, apalagi deadline pembukaan tinggal dua pekan lagi." Suamiku mengelap mulutnya dengan tisu dan meraih gelas berisi teh manis kesukaannya.

Keletihan masih terlihat di wajahnya. Dipercaya menjadi penanggung jawab pembukaan kantor cabang cukup menguras pikirannya, ditambah keletihan fisik yang harus bolak-balik ke lokasi kantor cabang baru yang berjarak dua ratus kilo meter, walaupun hanya dua tiga hari. Semuanya dilakukan atas rasa tanggung jawabnya. Aku merasa bangga melihat semangat kerja suamiku. Dan itu pula yang membuatku lima tahun lalu, menerima ajakannya untuk membina rumah tangga. Selain ketaatannya dalam beribadah. Aku mengenalnya sejak sama-sama kuliah dan menjadi aktivis rohis.

"Humaira ditinggal lagi dong," kataku saat menyerahkan tas kerjanya. Suamiku hanya tersenyum.

Humaira adalah panggilan putri kami, yang Allah amanahkan sejak tiga bulan yang lalu. Seorang putri yang membuat nuansa rumah kami ceria kembali, setelah mulai sedikit membosankan tanpa kehadiran seorang anak. Kami yang mulai dilanda saring curiga, siapa di antara kami yang mandul. Hadirnya Humaira seolah cinta kami terbarukan. Apalagi suamiku, dia selalu menceritakan kecantikan putrinya kepada teman-temannya. Dengan siapa pun dia bicara, langsung maupun lewat telepon, selalu menyisipkan cerita tentang putri kami.

Kami sangat bahagia dengan kehadiran Humaira. Seorang putri yang cantik yang terlahir normal, bahkan sejak bulan pertama kehamilanku tidak merasakan sesuatu yang aneh, semua normal, bahkan terbilang lancar untuk ukuran kelahiran pertama. Sehingga, Kami sangat kaget ketika dokter mengatakan bahwa putri Kami ini punya kelainan di jantungnya, entah apa istilah kedokterannya, yang jelas di usianya yang tiga bulan ini, separuh waktunya harus bolak-balik menginap di rumah sakit. Rupanya Allah memberikan amanah yang lain, amanah kesabaran yang harus Kami jaga.

"Tahu ga De?" Suamiku mengagetkanku dari lamunan, "Sejak putri Kita yang cantik ini lahir, rasanya semangat Abang bertambah."

"Ya iyalah, amanahnya kan bertambah, yang harus dijaga sekarang dua orang."

"Tapi sayang ya De ...."

Aku segera menempelkan tanganku di mulutnya sambil menggelengkan kepala pelan. Aku tahu suamiku akan bicara apa, dan Aku hanya mengingatkan komitmen bersama untuk tidak membicarakan masalah penyakit putri Kami.

"Ayooo sudah jam delapan, nanti terlambat lho!" Aku meraih tangan kanannya dan menciumnya.

***

Sehari ditinggal ayahnya, panas Humaira meninggi. Sebenarnya ini sudah biasa, setiap malam, panas anakku ini selalu tinggi. Tapi, malam ini sepertinya lebih panas dari biasanya. Tak mau ambil resiko, ku telepon adikku.

"Wan, antar kakak ke rumah sakit. Humaira panasnya tidak normal."

"Emang Abang kemana?" adikku menjawab pendek.

"Dari kemarin dinas ke luar kota lagi."

Lima belas menit kemudian, adikku tiba. Segera kubawa Humaira ke rumah sakit dengan terpaksa naik sepeda motor. Berangin-angin di malam yang menjelang tengah malam.

"Putrimu harus tidur di sini. Selain karena sudah malam, juga ada yang sesuatu yang mengkhawatirkan di jantungnya." Dokter Mira menjelaskan dengan pelan setelah setengah jam Aku menunggu pemeriksaan Humaira.

"Apa yang terjadi dengan jantungnya Mir?" tanyaku kaget. Mira adalah teman kuliahku, sehingga Aku selalu memanggil namanya langsung. Kebetulan juga mala mini sedang piket.

"Ya itulah, Kami harus memeriksanya terlebih dahulu. Kau pulang saja, istirahat dan berdo'a. Aku akan mengabarkan secepatnya begitu hasil pemeriksaannya ada." Dokter Mira memegang pundakku, berusaha menenangkanku.

"Baiklah! Tolong ya Mir, Humairaku." Isakku tak bisa kubendung, dan dibalas dokter Mira hanya dengan anggukan.

Aku pun pulang. Sampai di rumah sudah sepertiga malam, waktu yang tepat untuk memohon pada Yang Kuasa. Segera Aku shalat tahajud, setelah beberapa rakaat dan ditutup witir, Aku tumpahkan kesedihanku kepada-Nya. Aku sampaikan keinginanku. Aku curahkan semua perasaanku. Aku tutup dengan istighfar dan, "Ya Allah, janganlah Engkau beri hamba beban dengan beban yang di luar batas kemampuan hamba dan sekiranya hamba tidak akan sanggup memikulnya."

Ada perasaan tenang setelah shalat tahajud berdo'a. Aku pun tertidur di sajadah.

***

Pukul 08:24 gawaiku berdering, Aku yang sedang baca al-Quran setelah Sholat dhuha empat rakaat, segera setengah berlari ke ruang tengah, berharap itu kabar dari dokter Mira. Aku tidak sabar mengetahui kabar putriku. Ternyata suamiku yang menelepon. Aku pun segera menarik napas panjang sebelum ku jawab, berusaha menenangkan diri.

"Assalamu'alaikum De, lagi apa nih?" sapa suamiku.

"Wa'alaikum salam, baru beres dhuha, Bang," jawabku dengan suara dibuat setenang mungkin.

"Masya Allah, istri yang sholeh. Aku hanya mau ngasih kabar, Alhamdulillah ... persiapan pembukaan kantor cabang sudah selesai. Jadi Abang sore nanti juga sudah bisa pulang."

"Alhamdulillah ... kalau begitu Bang. Mau dimasakin apa nih buat makan malam?"

"Apa pun menunya, kalau makan ditemani dua bidadari cantik pasti nikmat. Oh ya. Mana Humaira ku?"

Aku sebisa mungkin menahan gejolak jantungku, dan berusaha setenang mungkin saat bicara, "Humaira sedang istirahat Bang." Aku tidak menjawab yang sebenarnya, khawatir mengganggu konsentrasi pekerjaan suamiku.

"Kenapa, panas lagi badannya?"

"Begitulah Bang! Abang ga usah khawatir, Humaira baik-baik saja kok."

"Ya sudah kalau begitu, Abang kerja lagi ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

Entah mengapa perasaanku kali ini berbeda. Sudah beberapa kali Humaira mengalami seperti semalam dan berakhir harus menginap di rumah sakit. Tapi, kali ini di hatiku seperti ada sesuatu yang berbeda dari biasanya.

Sejak bangun tidur Aku ingin segera menelepon dokter Mira, tapi tidak jadi, karena teringat pesan Dia semalam, 'begitu ada kabar hasil pemeriksaan, Aku segera memberitahumu'. Lagian, Dia memang tidak begitu suka kalau ditelepon ditanya kondisi pasien.

Menunggu adalah kondisi di mana waktu seolah berjalan melambat. Apalagi menunggu sesuatu yang sangat diinginkan sekali. Saat ini, Aku ingin sekali mendapatkan kabar Humaira. Tapi sampai hampir pukul sepuluh, yang ditunggu belum tiba. Aku ingin menyusul ke rumah sakit, tapi mengingat pengalaman sebelumnya, merasa akan percuma. Karena, tetap tidak akan diijinkan masuk ke ruang perawatan anak, selama pemeriksaan belum selesai.

Untuk menghilangkan kegalauan, Aku pun menyibukkan diri dengan beres-beres rumah dan kemudian memasak, Aku janji akan menghidangkan menu kesukaan suamiku saat makan malam nanti.

Pukul 12 lewat gawaiku bunyi. Baru saja selesai melaksanakan shalat Dhuhur. Sebuah pesan masuk.

"Nis, Kamu sebaiknya segera ke rumah sakit."

Pesan yang pendek dari Mira. Pesan yang menambah kepanikan dan kekhawatiranku. Mira biasanya langsung menelepon, tidak pernah melalui pesan kalau memberitahu tentang Humaira.

Apa yang terjadi dengan Humaira?

Apakah dokter Mira menghindari pertanyaan dariku sehingga tidak mau menelepon langsung?

Dan pertanyaan-pertanyaan lain bermunculan dalam kepalaku.

Segera kutelepon adikku.

"Wan, antar kakak ke rumah sakit."

***

Sampai di halaman rumah sakit Aku langsung berlari ke ruang anak, meninggalkan adikku yang masih memarkirkan sepeda motornya. Dokter Mira sudah menunggu di depan pintu ruang anak.

"Humaira harus masuk ICU," katanya pendek tanpa menunggu Aku bertanya.

"Apa, apa yang terjadi dengan anakku, Mir?"

"Ada terdeteksi kelainan lain di jantungnya, selain kelainan yang sebelumnya. Dan, sejak jam 10 tadi, panas tubuhnya meningkat."

Serasa seluruh tulang dalam tubuhku menghilang. Tubuhku pun melemas dan merosot jatuh. Beruntung dokter Mira meraih tubuhku dan kemudian dibantu adikku, Aku dibawa ke ruangan dokter Mira.

Antara sadar dan tidak, dokter Mira memberiku obat dan membantu menempelkan gelas ke bibirku. Aku pun meminumnya pelan sampai habis.

"Kamu harus tenang, Nis," katanya pelan.

Aku hanya mengangguk. Dokter Mira membaringkanku di sofa yang ada di ruangannya. Aku pun tertidur, seperti dia memberiku obat penenang, sehingga Aku bisa tertidur cukup pulas.

Entah berapa jam Aku tidur.

Pukul 15 Aku  dibangunkan untuk mengerjakan sholat Ashar.

Sekitar pukul setengah empat interkom di meja dokter Mira berbunyi. Dia pun mengangkatnya dan bicara singkat. "Baik saya akan segera ke sana."

"Maaf Nis, aku tinggal dulu ya."

Aku membalas dengan anggukan.

Selang setengah jam, dokter Mira kembali dan langsung menghampiriku dengan mimik muka sedih dan terlihat di matanya menggenang sedikit air mata. Perasaanku berkata, ada yang tidak beres dengan Humaira.

"Ada apa, Mir?" Aku menyambutnya dengan pertanyaan.

Dokter Mira tidak menjawab. Dia hanya memandang wajahku. Kemudian memelukku. Tangisnya pun tersedu di bahuku. Isaknya mengguncang tubuhku.

"Nisa, Kamu yang sabar ya, Allah Maha Tahu, Kamu pasti tabah menerima takdir-Nya." Dokter Mira terbata-bata di antara isak tangisnya.

Aku hanya duduk tegak. Kaku. Tanpa Dokter Mira berkata pun, Aku sudah tahu apa yang terjadi dengan Humaira. Gestur tubuhnya yang memeluk erat sambil menangis, sudah memberitahuku. Seperti ada sesuatu meninju jantungku, membuat debarnya bertambah cepat. Sakit. Airmata pun deras mengalir membasahi pipi ku. Tangis pun tak bisa kebendung.

Mendengar Aku menangis, dokter Mira makin erat memelukku. Beberapa menit Kita berdua menangis sambil berpelukan. Dia kemudian melepaskan pelukannya dan memegang wajahku dengan kedua tangannya.

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun. Maafkan Aku, Nis!"

Aku diam. Sorot mata tanpa tatap dan derai airmataku, cukup untuk menjawabnya.

Setengah jam kemudian, Aku sudah bisa menerima kenyataan. Putri cantikku, Humaira, telah mendahuluiku. Bidadari yang ditunggu kedatangannya selama lima tahun. Matahari yang selalu menyemangati suamiku, kini tiada. Ku lihat dia seperti tidur pulas, seperti biasa dengan senyum kecilnya. Kulit putihnya semakin putih, kontras dengan selimut biru tua yang membungkusnya.

"Antarkan Aku dengan mobilmu!" pintaku pada dokter Mira.

"Nisa, prosedur rumah sakit mengharuskan jenazah diantar dengan ambulan."

"Kau atur lah, Aku ga mau pulang pake ambulan," tegas Aku meminta.

Dokter Mira menyerah. Berjalan ke ruang adminitrasi. Beberapa kemudian kembali dan mengangguk. Aku segera menyuruh adikku pulang tanpa memberitahu kondisi anakku. Kudekap erat Humaira selama berjalan ke tempat parkir.

"Kau tidak ngasih kabar suamimu?" Tanya dokter Mira sambil menyetir.

Aku terdiam sejenak. "Aku khawatir. Dia sedang dalam perjalanan pulang, perkiraanku dia sudah masuk tol. Kalau Aku kasih kabar, takut dia panik dan ngebut."

Dokter Mira mengangguk. "Terus, rencananya akan dimakamkan di mana?"

"Nanti lah Aku bicarakan sama sumaiku."

Dokter Mira tidak bertanya lagi. Terus memegang setir, sementara Aku terus memeluk Humaira.

Sampai di rumah, Aku langsung membaringkan Humaira di kasurnya.

"Serius Kamu ga mau Aku temani sampai suamimu tiba?"

"Ya!" jawabku pendek.

"Baiklah, Nis! Aku tahu, Aku kenal kau sudah lama. Kamu pasti tabah menghadapi ini semua. Pamit ya, assalamu'alaikum." Dokter Mira memelukku erat.

"Wa'alaikum salam, terima kasih, Mir." Kubalas pelukannya.

Aku tengok jam dinding, pukul 17.45, sudah mau maghrib. Aku segera bergegas ke kamar mandi.

Setelah sholat maghrib dan berdo'a, kusempatkan membaca al-Quran, dua halaman cukup menenangkanku. Ketika hendak mengembalikan al-Quran ke rak buku, pandanganku tertarik ke sebuah kitab hadits. Entah kenapa, hati ini menggerakkan tangan untuk meraihnya. Aku membukanya hampir halaman tengah, kubaca, tertegun Aku membaca sebuah hadits yang mengisahkan tentang Ummu Sulaim. Kuresapi kisahnya. Ada sedikit senyum dalam hatiku.

Bunyi gawai mengagetkanku. Dari suamiku, hanya pesan singkta, 'maaf Abang terlambat, ada tabrakan di tol, lumayan macet'.

Kubalas, 'ya Bang, hati-hati jangan ngebut'.

Kusibukkan di kamar. Kuganti baju Humaira, bersih sekali kulitnya ketika semua bajunya terbuka bahkan tercium wangi. Rupanya pihak rumah sakit sudah memandikan sekaligus memberinya parfum. Aku pakaikan baju terbaik untuk Humaira, selimutnya pun Aku ganti. Aku tambahkan lagi parfum. Humaira terlihat seperti tidur. Subhannallah, bibir mungilnya sejak dari rumah sakit tidak berubah, menyunggingkan senyum yang mengundangku untuk menciumnya.

Aku kemudian menyiapkan makan malam. Dan terus berusaha fokus untuk bersikap tenang untuk menyambut suamiku. Aku tidak ingin kedatangannya disambut dengan sesuatu yang membangkitkan emosinya. Suamiku memang orang yang shaleh dan cukup penyabar, tapi ada sedikit darah Medan dalam tubuhnya, yang kadang itu meledak kalau pemicunya sangat membuatnya marah. 

Seperti pernah terjadi setahun silam, saat suamiku memarahi anak buahnya. Kaget Aku melihatnya marah, kemarahan yang baru Aku dengar kali itu. Dan Aku tidak ingin kemarahan seperti itu muncul malam ini, mengingat sayangnya Dia pada Humaira.

Pukul 20 lewat sedikit suamiku tiba. Segera Aku keluar menyambutnya di teras.

"Assalamu'alaikum," salam suamiku sambil menyerahkan tas kerjanya.

"Wa'alaikum salam," balasku, kuraih dan kucium tangannya.

"Lama menungguku ya?"

"Iya, hampir dingin lagi tuh makan malamnya." Aku tersenyum, kubuat senormal mungkin. Sekuat tenaga menahan gejolak dalam hatiku.

"Abang mandi aja dulu, ya?"

"Ya, Bang!"

Suamiku masuk kamar, terlihat keletihan di wajahnya. Membuatku semakin tidak tega untuk mengabarkan apa yang terjadi saat ini. Aku akan memberitahukannya nanti setelah suami tenang, hilang penat dan capenya.

"Abang tadi tengok sebelum mandi, Humaira lelap sekali tidurnya," kata suamiku sesaat setelah duduk di meja makan, dan minum seteguk.

Aku pura-pura sibuk membereskan piring dan gelas, tidak segera merespon perkataannya.

"Mungkin tidak ingin mengganggu ayah bundanya," jawabku berusaha bercanda menyembunyikan kesedihanku.

"Halah, ada yang rindu berat rupanya," suamiku membalas candaku.

Aku hanya tersenyum. Sengaja memang, suasana kubuat sedemikan rupa, supaya suamiku tenang dan teralihkan keinginannya untuk menggendong Humaira. Kebiasaannya memang, setiap pulang dari dinas luar kota, jam berapa pun, suamiku selalu menggendong Humaira.

Selesai makan malam, Kami tidak beranjak dari meja makan, disambung obrolan ringan. Aku yang aktif mengajak suamiku berbincang.

"Bagaimana persiapan opening kantor cabangnya, Bang?" kataku mengawali obrolan.

"Alhamdulillah ..., lancar. Di luar perkiraan. Semua urusan dimudahkan, perijinan yang biasanya makan beberapa hari, dua hari beres. Finishing kantor yang diperkiraan akan selesai hari Jum'at, ternyata tadi sudah selesai. Dan, yang spesial, Walikota sudah menyatakan siap hadir saat pembukaan nanti."

Aku senang mendengarnya. Terlihat antusias sekali suamiku menceritakan tentang pekerjaannya.

"Tahu gak, De?" Suamiku meraih kopi susu dan meneguknya setelah sebelumnya menghirup asapnya yang mengepul. Itu memang kebiasaannya kalau minum kopi. Lalu lanjutnya, "Abang merasakan, semenjak kelahiran anak Kita, segala urusan pekerjaan abang sepertinya jadi mudah."

Aku lagi-lagi hanya tersenyum. Sekuat tenaga menjaga agar roman muka tidak berubah mendengar pernyataannya. Aku hanya menbalas pendek, "Syukurlah, Bang."

Aku segera meraih gelas dan piring kotor dan membawanya ke dapur. Sengaja. Sepertinya Aku tidak akan tahan menahan tumpahan airmata. Dan, di dapur Aku menenangkan diri. Kutarik napas panjang. Setelah merasa tenang, Aku kembali menemani suamiku. Melanjutkan obrolan yang sempat terhenti saat Aku ke dapur. Jam dinding menunjukkan hampir pukul 22, kopi suamiku pun terlihat sudah habis.

"Tidur yuk, Bang! Lelah sekali badan ini." Hampir saja Aku keceplosan bahwa seharian di rumah sakit.

"Lelah apa lelah ...?" goda suamiku. "Memangnya Aku ga rindu, De?" pelan suamiku beranjak dari kursinya dan menghampiriku, memegang pundakku dari belakang kemudian berbisik, "Kamu sudah keramas kan?"

"Iiih ..., apaan sih." Aku menengadah memandang mukanya, Dia langsung mengecup keningku. Kemarin waktu suamiku berangkat ke luar kota, memang Aku sedang datang bulan, hari terakhir.

Suamiku kemudian masuk kamar setelah mengerling nakal. Aku tidak segera bangkit menyusul. Beribu rasa berbaur dalam hati. Ingin menyenangkan suamiku, tapi muncul pertanyaan, 'pantaskah Kami sepasang suami istri berpadu kasih di tengah suasana yang seharusnya bersedih?'

Aku ingin suamiku dalam kondisi tenang saat nanti mendengar kabar tentang Humaira.

Aku berdiri dan segera menyusul ke kamar. Suamiku sedang berdiri di pinggir tempat tidur Humaira saat Aku masuk. Senyum-senyum sendiri memperhatikan putrinya.

"Cantik sekali putri Kita ya De? Secantik ibunya."

Aku hanya tersenyum dan merebahkan diri di kasur.

"Tenang sekali tidurnya." Suamiku mencium Humaira, lalu menghampiriku dan berbaring di sebelah kananku.

Malam pun Kami lewati dengan berlayar di lautan bunga yang mewangi. Bagaikan bertemunya bunga mawar dengan kumbang yang lama tidak berkunjung. Mawar pun menyerahkan semua madunya pada sang kumbang.

***

Sayup-sayup suara adzan awal membangunkanku. Pelan Aku menurunkan tangan kanan suamiku yang memeluk pinggangku. Masih jam tiga pikirku. Kubiarkan suamiku melanjutkan istirahatnya setelah lelah mendayung rasa. Sementara Aku segera beranjak ke kamar mandi.

Setelah shalat tahajud dan berdo'a, Aku meraih kitab hadits yang kemarin kubaca. Aku kembali membuka halaman yang sama dan membaca lagi. Kudekap kitab hadits itu dan memohon, "Ya Allah yang membolak-balikkan hati, berilah ketenangan dan kesabaran pada suamiku. Berilah hamba-Mu ini kekuatan saat menyampaikan kabar pada suamiku."

Beberapa menit sebelum adzab subuh, Aku bangunkan suamiku.

Karena mesjid di perumahan ini lumayan jauh dan sepi karena masih banyak rumah yang belum dihuni, suamiku jarang sholat Subuh di masjid, rutin ke masjid kalau shalat Maghrib dan Isya.

Selesai sholat berjama'ah, suamiku yang jadi imam berbalik, Akupun mencium tangannya. Biasanya Kami lanjutkan dengan tadarus, membaca al-Quran. Tapi kali ini, masih dengan memegang tangannya, Aku berkata lirih.

"Bang, ada yang ingin Aku bicarakan."

"Oh ya, apa De?" Suamiku melepaskan tanganku dan membetulkan pecinya.

"Bang ..., sekiranya ada orang yang menitipkan sesuatu pada kita, lalu orang itu hendak mengambil kembali, bolehkah kita menolak mengembalikannya?" Aku memandang mata suamiku.

"Kamu ini bicara apa De? Kirain mau bicara apa."

"Jawab saja Bang, bolehkah Kita menahan sesuatu itu dan tidak menyerahkannya pada yang punya?"

"Iya ga boleh dong. Itu berarti bukan milik Kita. Lagian, barang apa sih?" Suamiku penasaran.

Aku meraih kedua tangan suamiku dan kucium keduanya.

"Bang, Abang masih cinta sama Aku kan?" lirih Aku bertanya.

"De ..., ada apa sih? Subuh-subuh sudah nanya yang aneh-aneh. Ya pasti, Abang masih cinta. Memang kenapa De?" Suamiku membetulkan mukenaku.

Aku memeluk suamiku erat, airmata yang sejak tadi kutahan, tumpah ruah beriringan dengan tangisanku. "Maafkan Aku Bang, Aku tidak bisa menjaga amanahmu."

"Ada apa ini, kenapa Kau menangis De?" Suamiku melepaskan pelukanku.

"Humaira, Bang." Aku tak sanggup memandang matanya yang menatapku.

"Ada apa dengan Humaira?"

"Dia ..., Dia diambil oleh pemiliknya ...." Aku berkata sambil menjatuhkan wajahku ke pangkuannya.

"Maksudnya ... bagaimana." Suamiku memegang bahuku berusaha mengangkatku. Tapi Aku bertahan, bersimpuh di pangkuannya.

"Humaira, Bang. Humaira telah tiada." Tangisku semakin kencang. Airmataku membasahi kain sarungnya.

"Apa?!" Suamiku berteriak. Dia mengangkat bahuku dengan keras. Aku tetap bertahan, Aku merangkul erat pinggangnya, tak sanggup Aku bangkit.

"Bagaimana, De? Bagaimana bisa terjadi?" suara suamiku terdengar pelan, tangannya masih memegang bahuku. Kurasakan getaran tubuhnya menahan amarah sekaligus sedih.

Setelah puas menumpahkan airmata, Aku pun menceritakan semuanya, sejak malam kemarin, sejak Humaira dibawa ke rumah sakit.

"Jadi jam empat? Dan Kamu baru memberitahuku sekarang?"

Aku tidak menjawab.

"Tega kamu, De ...." Suamiku tidak melanjutkan kalimatnya.

 Suamiku lemas, menyandarkan tubuhnya di dinding mushola.

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun." Lirihnya.

Aku pun menjelaskan alasan tidak segera memberitahunya. Suamiku akhirnya mengerti dan mau menerima kenyataan.

Satu jam Aku menumpahkan perasaan yang kutahan sejak dua belas jam yang lalu. Satu jam pula untuk menenangkan suamiku.

"Ya sudah, sekarang Kau kasih tahu ibu, ibuku biar Abang yang menelpon."

***

Semburat mentari pagi mengantarkan Humaira ke persinggahan terakhirnya. Semilir angin sejuk menyambut Kami di pemakaman. Aku menyandarkan kepalaku di dada suamiku saat Humaira dibawa turun, lalu tanah merah menutupinya. Suamiku tegak, tangannya erat memeluk pinggangku. Gemuruh detak jantungnya terdengar jelas di telingaku.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun