Suamiku masuk kamar, terlihat keletihan di wajahnya. Membuatku semakin tidak tega untuk mengabarkan apa yang terjadi saat ini. Aku akan memberitahukannya nanti setelah suami tenang, hilang penat dan capenya.
"Abang tadi tengok sebelum mandi, Humaira lelap sekali tidurnya," kata suamiku sesaat setelah duduk di meja makan, dan minum seteguk.
Aku pura-pura sibuk membereskan piring dan gelas, tidak segera merespon perkataannya.
"Mungkin tidak ingin mengganggu ayah bundanya," jawabku berusaha bercanda menyembunyikan kesedihanku.
"Halah, ada yang rindu berat rupanya," suamiku membalas candaku.
Aku hanya tersenyum. Sengaja memang, suasana kubuat sedemikan rupa, supaya suamiku tenang dan teralihkan keinginannya untuk menggendong Humaira. Kebiasaannya memang, setiap pulang dari dinas luar kota, jam berapa pun, suamiku selalu menggendong Humaira.
Selesai makan malam, Kami tidak beranjak dari meja makan, disambung obrolan ringan. Aku yang aktif mengajak suamiku berbincang.
"Bagaimana persiapan opening kantor cabangnya, Bang?" kataku mengawali obrolan.
"Alhamdulillah ..., lancar. Di luar perkiraan. Semua urusan dimudahkan, perijinan yang biasanya makan beberapa hari, dua hari beres. Finishing kantor yang diperkiraan akan selesai hari Jum'at, ternyata tadi sudah selesai. Dan, yang spesial, Walikota sudah menyatakan siap hadir saat pembukaan nanti."
Aku senang mendengarnya. Terlihat antusias sekali suamiku menceritakan tentang pekerjaannya.
"Tahu gak, De?" Suamiku meraih kopi susu dan meneguknya setelah sebelumnya menghirup asapnya yang mengepul. Itu memang kebiasaannya kalau minum kopi. Lalu lanjutnya, "Abang merasakan, semenjak kelahiran anak Kita, segala urusan pekerjaan abang sepertinya jadi mudah."