"Humaira, Bang. Humaira telah tiada." Tangisku semakin kencang. Airmataku membasahi kain sarungnya.
"Apa?!" Suamiku berteriak. Dia mengangkat bahuku dengan keras. Aku tetap bertahan, Aku merangkul erat pinggangnya, tak sanggup Aku bangkit.
"Bagaimana, De? Bagaimana bisa terjadi?" suara suamiku terdengar pelan, tangannya masih memegang bahuku. Kurasakan getaran tubuhnya menahan amarah sekaligus sedih.
Setelah puas menumpahkan airmata, Aku pun menceritakan semuanya, sejak malam kemarin, sejak Humaira dibawa ke rumah sakit.
"Jadi jam empat? Dan Kamu baru memberitahuku sekarang?"
Aku tidak menjawab.
"Tega kamu, De ...." Suamiku tidak melanjutkan kalimatnya.
 Suamiku lemas, menyandarkan tubuhnya di dinding mushola.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun." Lirihnya.
Aku pun menjelaskan alasan tidak segera memberitahunya. Suamiku akhirnya mengerti dan mau menerima kenyataan.
Satu jam Aku menumpahkan perasaan yang kutahan sejak dua belas jam yang lalu. Satu jam pula untuk menenangkan suamiku.