Mohon tunggu...
Try Kusumojati
Try Kusumojati Mohon Tunggu... -

selalu ingin tahu lebih

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mirna dan Dosa (Pertemputan Hati)

28 Februari 2011   05:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:12 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terbangun oleh suara anak-anak kecil yang sedang bermain. Suara mereka terdengar merdu di telingaku. Suara tawa yang riang dan bahagia. Suara-suara yang selalu membuatku ingin kembali ke masa kecil. Aku mengenal suara dari salah satu anak. Suara Njas, buah hatiku tercinta. Aku berjalan keluar kamar. Rambutku masih acak-acak-kan. Mukaku terlihat kusam. Mulutku masih bau.

“Ibu….” Anjas berlari kearahku.

Ia memberiku sebuah pelukan. Pelukan  yang hangat. Aku tersenyum, kuberi kecupan di keningnya. Kecupan yang tidak sempat kuberikan sebelum ia tertidur semalam. Ada seorang anak kecil yang berlari menyusulnya.  Aku tak mengenalinya. Dia menarik tangan Njas, mengajaknya bermain. Anjas melepaskan pelukan di tubuhku.

“Njas main dulu ya bu…” Njas langsung berlari, bermain kejar-kejaran dengan teman barunya.

“Hati-hati Njas, jangan main jauh-jauh…” Ujarku setengah berteriak.

Syukurlah, Njas akhirnya mempunyai seorang teman. Selama ini Njas selalu bermain sendirian. Di kampung ini, anak kecil seumuran Njas memang jarang. Tapi siapakah anak kecil tadi? Aku belum pernah melihatnya sama sekali.

“Baru bangun Mir?”

Aku terkejut mendengar suara ibu. Aku tak menyadari kehadirannya. “Iya bu. Ibu ga jualan?”

“Hari ini libur Mir, Ibu pengen istirahat. Lha kamu gak kerja?”

“Enggak bu, Mirna udah ijin.”

Tadi malam, aku sudah menghubungi emak Ros. Aku meminta ijin selama seminggu. Aku ingin istirahat total dari pekerjaan busukku. Aku ingin menghabiskan waktu dengan keluarga. Apalagi saat ini musim liburan. Aku ingin mengajak Njas dan ibu berlibur.

Hidungku mengendus sesuatu. Wangi masakan tercium dari arah dapur. Sungguh membangkitkan selera.

“Siapa yang sedang masak bu?”

“Mbah Karti Mir, dia udah nungguin kamu dari pagi. Kamu katanya mau di pijet. Sambil nunggu kamu, mbah Karti bantuin ibu masak di dapur..”

Aku baru ingat, semalam aku yang meminta ibu untuk menghubungi mbah Karti. Tukang pijat langgananku. Rupanya ia telah lama  menungguku. Setelah mencuci muka di kamar mandi, aku langsung menuju dapur.

“Siang mbah Karti. Udah nungguin lama ya mbah? Maaf mbah, Mirna baru bangun.”

“Gak apa-apa neng ayu. Ini mbah sekalian bantu ibumu masak.” Mbah Karti menjawab sapaanku dengan tersenyum. Dengan sebuah sendok. Ia cicipi masakan yang sedang ia buat. Kemudian ia kembali tersenyum. Pasti sudah pas rasanya.

Mbah karti merupakan  janda dari seorang veteran perang. Suaminya ikut membela bangsa ini dari penjajah. Namun negara ini sepertinya lupa dengan jasa-jasa beliau. Hidup mbah Karti sangat sederhana, bahkan bisa di bilang miskin. Mbah Karti hanya tinggal di sebuah gubuk reot terbuat dari kayu. Tempat itu tidak pantas di sebut rumah. Setiap bulan, mbah Karti hanya menerima uang 500 ribu rupiah saja dari negara. Sungguh sangat kecil bila dibandingkan dengan pengorbanan suaminya dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa ini. Jangankan presiden, kepala desa-pun tidak memperhatikannya. Nasib mbah Karti mungkin sama dengan nasib janda-janda pahlawan lainnya. Ah, bangsa ini sombong. Tak tahu malu.

“Mau dipijet sekarang neng?”

“Nanti saja mbah, habis makan. Mbah Karti juga makan ya. Kita makan sama-sama.”

Mbah Karti hanya tersenyum. Senyumnya masih manis, walaupun giginya sudah tak lengkap lagi. Usia mbah Karti telah senja. 70 tahun sudah ia melalui pahit manisnya hidup ini. Kulitnya sudah kriput. Badannya kurus ceking. Tapi kondisinya masih sehat. Jarang sekali terdengar mbah Karti terserang penyakit. Mungkin caranya menyikapi hiduplah yang membuatnya selalu terlihat sehat. Dia selalu bersyukur atas segala yang ia punya. Tak pernah sedikitpun mengeluh.

Seorang anak kecil tiba-tiba masuk kedapur. Ia menarik baju mbah Karti. “Mbah, aldo pengen pipis.”

“Di belakang adek yang manis. Sini tante anter. Mbah lagi masak.” Ujarku.

Kugendong anak itu dan ku antar menuju kamar mandi. Anjas mengikuti dari belakang. Anak kecil yang sedari tadi bermain-main dengan Anjas ternyata bernama Aldo. Anak siapa ini? Batinku dalam hati. Apa hubungan anak ini dengan mbah Karti?

“Makasih tante.” Kata anak itu kepadaku.

“Sama-sama Aldo. Njas mau pipis juga gak?” Mataku melirik Njas yang sejak tadi mengekor di belakangku.

“Enggak bu. Yuk do, kita main lagi.” Anjas menggandeng tangan Aldo dan mengajaknya bermain.

“Jangan jauh-jauh ya, sebentar lagi kita makan bareng.”

“Iya bu.” Jawab Njas sambil berlalu.

Ibu sudah berada di dapur ketika aku kembali. Banyak peluh di tubuhnya. Sepertinya ia telah selesai membereskan rumah. Sebuah pekerjaan rutin baginya. Bukannya aku tak ingin membantu ibu membersihkan rumah, tetapi ibu selalu menolak ketika aku menawarkan bantuan. Pernah sekali waktu aku menyempatkan diri menyapu halaman dan membersihkan kamar mandi. Ibuku langsung marah ketika mengetahui hal itu. Aku tak pantas melakukan pekerjaan kasar seperti itu. Sejak saat itu, Ibu selalu melarangku mengerjakan pekerjaan rumah.

“Mir, coba kamu panggil Aldo dan Anjas. Ini makanannya sudah siap..”

“Baik bu.”

“Aldo, Njas. Main-nya udahan dulu. Ayo kita makan sama-sama..”

Aldo dan Njas berlari riang ke arahku. Baju mereka lusuh dan kotor. Tangan dan kaki mereka penuh dengan debu. Anak-anak kecil tanpa dosa ini terlihat sangat bahagia.

“Ayo, tangan dan kakinya di cuci dulu. Habis itu makan.” Ibu menyuruh kedua anak itu untuk membersihkan diri.

Masakan mbah Karti sungguh enak. Bahkan harus di akui, masakan mbah Karti jauh lebih enak di banding masakan ibu. Sesekali ibu menegur Njas dan Aldo yang bercanda ketika sedang makan. Mbah Karti tertawa geli melihatnya. Aku sungguh menikmati suasana ini. Kebahagiaan jelas terpancar di wajah ibu dan Njas. Ah, betapa aku mencintai keluarga ini

**

Aldo dan Njas sudah tertidur. Mereka pasti kelelahan setelah seharian bermain. Aku membantu ibu dan mbah Karti mencuci piring. Wajah ibu terlihat pucat. Aku menyuruhnya untuk beristirahat. Ia menolak, tapi aku memaksa. Ia mengalah. Setelah mencuci piring yang terakhir, ibu menuju kamar tidurnya.

“Ayo neng ayu, jadi mbah pijit?”

“Mbah Karti ga cape?”

“Enggak neng. sudah biasa.”

Aku mengajak mbah Karti kedalam kamarku. "Di dalam saja mbah."

Mbah Karti menganggukkan kepalanya, tanda setuju. Kucopot pakaianku satu-persatu. Hanya celana dalam yang menempel di tubuhku. Aku mengambil kain jarik berwarna coklat untuk menutupi tubuhku. Mbah karti terlihat sibuk menyiapkan minyak urut. Sembari menunggu, kusempatkan untuk melihat handphoneku. Ada enam missed call. Dua dari Oom Jerry, dan empat dari nomor yang tidak dikenal. Pasti orang iseng, pikirku. Om Jerry sempat mengirimkan pesan singkat, “Kamu dimana sayang? Kok ga ada di salon? Om kangen nih..” Sempat ingin kubalas sms dari om jerry, tapi kuurungkan niatku. Nanti saja, saat ini aku tak ingin di ganggu oleh siapapun. Aku ingin menikmati hari-hari bersama keluargaku. Aku ingin istirahat.

Mbah Karti sudah selesai menyiapkan minyak urut. "Telungkup neng ayu.."

Mbah karti menurunkan jarik yang menutupi tubuhku. Dia mengusapkan minyak pada punggungku dan memulai pijatan.

“Mbah, Aldo itu siapa mbah?”

“Aldo itu cucuku neng ayu. Anak dari Dina.”

“Loh, mbak Dina udah nikah to mbah?”

“Udah neng ayu. Dina di jadikan istri kedua. Dia nikah dengan pejabat. Orang gedean.”

“Kok mau mbah di jadikan istri kedua?”

“Wes gak apa-apa. Namanya juga cinta. Lagipula, suami Dina orangnya baik dan ramah. Walaupun umur mereka terpaut cukup jauh.”

“Sakit ya neng?” Mbah Karti menghentikan pijitannya ketika melihat aku sedikit meringis.

“Gak apa-apa mbah. Sakit sedikit. Dilanjutin aja mbah mijitnya.” jawabku.

“Terus, mbak Dina sekarang tinggal dimana mbah?” Aku melanjutkan obrolan kami.

“Dina di beliin rumah sama suaminya di Semarang neng. Dina kan kerjanya di semarang. Kebetulan, sekolah Aldo lagi libur, makanya Dina dan Aldo main ke Jogja.”

“Suami mbak Dina tinggal dimana mbah?” Aku semakin penasaran, entah mengapa rasa ingin tahuku tentang mbak Dina semakin menjadi-jadi.

“Suami Dina tinggal di Jogja bersama istri tuanya. Dia hanya sekali seminggu ke semarang untuk menjenguk Dina dan Aldo. Dia orang sibuk, anggota DPRD.”

Aku terdiam mendengar penuturan mbah Karti. Mbak Dina, anak satu-satunya telah menikah dengan seorang pria tua. Mbah Karti sepertinya tidak mempermasalahkan hal tersebut. Apalagi, pernikahan mbak Dina dan pria yang usianya jauh lebih tua itu telah menghasilkan seorang cucu baginya. Seorang anak kecil yang lucu. Mbah Karti terlihat sangat menyayangi Aldo, cucu pertama dan satu-satunya. Sama seperti ibu yang begitu mencintai Anjas. Mendengar cerita mbah Karti, aku jadi teringat om Jerry. Pria tua yang baik dan ramah. Om jerry juga pernah mengajakku menikah. Tapi aku menolaknya. Aku tak ingin menjadi istri yang kedua. Aku tak sanggup menjadi seperti mbak Dina. Walaupun sesungguhnya, aku juga mulai mencintai om Jerry. Kehangatan dan kasih sayang yang ia berikan sungguh membuatku ingin terus bersamanya.

Bunyi handphone yang kuletakkan di samping kepala membuyarkan lamunanku tentang om Jerry. Segera ku ambil HPku. 1 pesan di terima.

“Mir, ini aku, Bayu..”

Aku terkejut. Jantungku berdegup kencang.

“Ada apa neng ayu?” Mbah Karti melihat perubahan dari raut mukaku. Naluri seorang ibu, dia seperti tahu bahwa ada sesuatu yang sedang melandaku.

“Gak apa-apa mbah. Ini ada sms dari temen.” Aku menjawab dengan singkat.

Mbah Karti membuka jarik yang menutup kakiku. Bagian punggung sudah selesai, sekarang bagian kaki. Aku masih memandangi HPku. Nomor tidak di kenal yang tadi meneleponku berkali-kali ternyata nomor Bayu. Darimana dia tau nomor Hpku? Aku bertanya-tanya dalam hati. Pasti mami Sarah. Iya, pasti. Semalam Bayu pasti menanyakan nomor teleponku pada mami Sarah.

“Jangan ganggu aku lagi!!!” Aku membalas sms dari Bayu.

Tak berapa lama, Bayu sudah membalasnya. “Aku hanya ingin bertemu Mir. Ada sesuatu yang ingin ku ceritakan. Kamu pasti ingin tau.”

“Aku tak ingin mengetahui apapun!! Sudahlah, jangan ganggu aku lagi!” Kembali kubalas sms dari Bayu.

“Ini sangat penting Mir. Menyangkut hidupku dan hidupmu. Menyangkut hubungan kita berdua Mir.”

Aku tak membalas sms Bayu yang terakhir. Apa gerangan yang sedang terjadi? Apa yang menyebabkan Bayu tiba-tiba mencariku? Pertanyaan-pertanyaan itu mulai memenuhi pikiranku. Ada rasa keingintahuan yang besar. Namun rasa takut juga menyerangku. Aku takut pertemuanku dengan Bayu akan membuka luka lamaku. Aku takut perasaan cinta yang sudah kukubur dalam-dalam akan hidup kembali. Jauh di dalam lubuk hatiku, masih tersisa ruang untuk Bayu. Hanya Bayu. Tapi ruang itu sudah mengecil, dan aku takut ruang itu menjadi besar dan luas. Apalagi saat ini, separuh hatiku sudah kucurahkan untuk om Jerry. Hatiku bergejolak. Terjadi pertempuran yang dahsyat antara cinta, luka lama dan bayanganku akan masa depan.

“Sudah selesai neng ayu. Tinggal tangan dan bagian depan. Ayo terlentang.”

Aku membalikkan tubuhku.

“Neng ayu lagi ada masalah ya?” Mbah Karti kembali bertanya. Raut mukaku pasti terlihat jelek. Aku memang  tidak pernah bisa menyembunyikan perasaanku di depan orang lain.

“Gak kok mbah. Masalah kecil aja. Biasalah mbah, masalah cinta.”

“Masalah cinta itu bukan masalah kecil neng ayu. Satu-satunya hal yang paling indah di dunia ini adalah cinta. Bagaimana cinta bisa memainkan emosi kita. Membuat kita tertawa, menangis, terluka dan bahagia. Cinta memiliki segala hal dalam diri manusia. Jangan pernah membohongi diri sendiri. Jangan pernah takut. Cinta itu tidak pernah salah.”

Aku tertegun mendengar petuah dari mbah Karti . Mungkin mbah Karti benar. Tapi mbah Karti pasti tidak pernah tahu rasanya menjadi diriku. Mbah Karti tidak mengetahui masa laluku.

“Makasi mbah..”

“Dulu, waktu mas Jono ikut perang, setiap malam aku habiskan dengan rasa khawatir. Rasa tidak percaya, rasa kesepian dan terluka. Aku pernah meminta mas Jono untuk tidak ikut berperang, karena aku sangat mencintainya dan aku takut kehilangannya. Tapi mas Jono bersikeras. Dia begitu mencintai negeri ini. Aku merasa mas Jono sudah tidak mencintaiku lagi. Apalagi waktu itu kami baru saja melangsungkan pernikahan. Tapi mas Jono meyakinkanku. Jangan kau bandingkan rasa cintaku padamu dengan apapun. Karena tak akan pernah ada yang sanggup mengalahkan rasa cintaku padamu. Begitu kata mas Jono. Hingga perang usai, dan ia kembali untukku..”

Aku terdiam mendengarkan kisah mbah Karti dan suaminya. Ternyata apa yang aku alami mungkin belum seberapa dengan yang pernah ia alami. Air mataku menetes. Aku tak sanggup menahannya. Mbah Karti mengambil  sapu tangan miliknya. Ia mengusap air mataku, lembut dan penuh cinta.

“Percayalah pada kekuatan cinta neng ayu. Cinta tidak pernah salah..” Mbah Karti tersenyum.

“Iya mbah, makasi..” Aku menjawab sambil terisak.

**

“Mbah, mbah lagi ngapain?” Aldo memanggil mbah Karti dari luar kamar. Rupanya ia sudah bangun.

“Lagi mijitin tante Mirna cucuku sayang. Ini sudah selesai, sebentar ya.” Mbah Karti menjawab

“Cepet mbah. Mama dan papa sudah menunggu di luar.”

Mbah Karti membereskan perlengkapan pijatnya. Ku lap tubuhku dengan handuk lalu mengambil bra dan pakaianku. Badanku terasa lebih ringan. Pijatan mbah Karti memang tiada duanya. Aku mengambil dompetku dan mengeluarkan sejumlah uang.

“Ini mbah, seadanya..”

“Loh, kok banyak banget neng ayu? Ga usah..”

Mbah Karti mencoba mengembalikan uang yang aku berikan. 100 ribu jumlahnya.

“Gak apa-apa mbah. Mumpung lagi ada rejeki. Buat tambahan mbah Karti. “

“Makasi ya neng ayu..” Mbah Karti mencium keningku.

Kubuka pintu kamarku. Diluar, sudah ada ibuku dan mbak Dina. Anjas tidak terlihat, sepertinya ia masih tidur. Aldo kegirangan karena mendapatkan sebuah mainan baru dari ibunya. Kuhampiri mbak Dina dan menyalami tangannya.

“Apa kabar mbak?” Tanyaku berbasa-basi.

“Baik Mir, kamu apa kabar?”

“Baik juga mba. Wah Aldo dapet mainan baru ya? duh senangnya..”

Aldo cuek dan tidak menjawab pertanyaanku. Dia masih asik berkutat dengan mobil-mobilan barunya.

“Aldo, itu tante Mirna nanya kok malah di cuekin. Gak boleh gitu dong.” Mbak Dina coba menegur Aldo.

“Biar saja mbak. Namanya juga anak-anak. Suaminya mana mbak?” Baru saja aku bertanya, tiba-tiba seorang peria paruh baya datang.

Aku kaget bukan main. Pria tua ini adalah pria yang selama ini aku kenal. Pria baik dan ramah yang selalu memberikan apapun yang aku minta. Pria penyayang yang lembut. Pria yang membuatku jatuh cinta. Om Jerry!!!! Tubuhku langsung lemas. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Seperti mimpi buruk. Seperti langit telah runtuh menimpaku.

“Nah ini suamiku Mir. Ayo kenalan dulu, biar enak kalau ketemu di jalan.” Mbak Dina mencoba mengenalkan suaminya kepadaku.

Aku menyalami tangan om Jerry. Raut mukanya sama sepertiku. Pucat!!

“Ini lho mas, Mirna yang aku ceritakan. Cantik kan? Cariin jodoh mas buat Mirna. Siapa tau ada teman-teman mas di kantor yang mencari istri.” Celetuk mbak Dina sambil bercanda.

Aku hanya tersenyum kecut mendengar semua itu. Sama seperti Om Jerry, ia hanya terdiam. Wajahnya memerah. Pria biadab itu pasti malu, gumamku dalam hati. Mbah Karti seperti menyadari ketidakberesan yang terjadi. Ia segera mengajak keluarganya untuk pamit. Mbah Karti menyalami tangan ibuku. Kemudian memelukku.

Mbah Karti berbisik di telingaku, “Sabar ya neng ayu, Tuhan tidak tidur. Teruslah berusaha dan berdoa.”

Aku menganggukkan kepala. Hampir saja aku menangis. Keluarga itu-pun pamit meninggalkan rumah kami.Ibu memperhatikan wajahku.

“Kamu kenapa Mir?”

“Gak apa-apa bu. Cuma sedikit gak enak badan aja.”

Aku berjalan menuju kamar. Kututup pintu kamarku rapat-rapat. Kurebahkan tubuhku. Hpku berbunyi, om Jerry meneleponku. Tapi kubiarkan saja. Pria tak tahu malu. Pria penipu!!! Aku sungguh kecewa, aku terluka. Hatiku seperti di tusuk sebilah pisau tajam. Sakit, sakit sekali. Air mataku bahkan tidak menetes. Mungkin sudah habis, atau aku terlalu lelah menangis. Mengapa harus seperti ini? Apa salahku? apakah dosaku terlalu besar sehingga aku tak pantas untuk merasakan kebahagiaan? Apakah aku tak boleh mencintai dan dicintai? Hatiku kembali bergejolak, ada yang sedang bertempur disana. Ingin ku maki Tuhan, tapi aku teringat kata-kata dari mbah Karti. Tuhan tidak pernah tidur. Dia-lah yang mengatur semua ini. Kuambil Hpku. Kubuka sms dari Bayu. Kubaca sejenak, dan membalasnya..

“Besok jam 4 sore kita ketemu di warung steak biasa. Tempat kamu dulu sering ngajak aku. Kita hanya makan dan ngobrol. Setelah itu pulang. Jangan sampai telat. Telat satu menit saja, aku akan pergi dan ga mau ketemu kamu lagi…”

sebelumnye..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun