Hidungku mengendus sesuatu. Wangi masakan tercium dari arah dapur. Sungguh membangkitkan selera.
“Siapa yang sedang masak bu?”
“Mbah Karti Mir, dia udah nungguin kamu dari pagi. Kamu katanya mau di pijet. Sambil nunggu kamu, mbah Karti bantuin ibu masak di dapur..”
Aku baru ingat, semalam aku yang meminta ibu untuk menghubungi mbah Karti. Tukang pijat langgananku. Rupanya ia telah lama menungguku. Setelah mencuci muka di kamar mandi, aku langsung menuju dapur.
“Siang mbah Karti. Udah nungguin lama ya mbah? Maaf mbah, Mirna baru bangun.”
“Gak apa-apa neng ayu. Ini mbah sekalian bantu ibumu masak.” Mbah Karti menjawab sapaanku dengan tersenyum. Dengan sebuah sendok. Ia cicipi masakan yang sedang ia buat. Kemudian ia kembali tersenyum. Pasti sudah pas rasanya.
Mbah karti merupakan janda dari seorang veteran perang. Suaminya ikut membela bangsa ini dari penjajah. Namun negara ini sepertinya lupa dengan jasa-jasa beliau. Hidup mbah Karti sangat sederhana, bahkan bisa di bilang miskin. Mbah Karti hanya tinggal di sebuah gubuk reot terbuat dari kayu. Tempat itu tidak pantas di sebut rumah. Setiap bulan, mbah Karti hanya menerima uang 500 ribu rupiah saja dari negara. Sungguh sangat kecil bila dibandingkan dengan pengorbanan suaminya dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa ini. Jangankan presiden, kepala desa-pun tidak memperhatikannya. Nasib mbah Karti mungkin sama dengan nasib janda-janda pahlawan lainnya. Ah, bangsa ini sombong. Tak tahu malu.
“Mau dipijet sekarang neng?”
“Nanti saja mbah, habis makan. Mbah Karti juga makan ya. Kita makan sama-sama.”
Mbah Karti hanya tersenyum. Senyumnya masih manis, walaupun giginya sudah tak lengkap lagi. Usia mbah Karti telah senja. 70 tahun sudah ia melalui pahit manisnya hidup ini. Kulitnya sudah kriput. Badannya kurus ceking. Tapi kondisinya masih sehat. Jarang sekali terdengar mbah Karti terserang penyakit. Mungkin caranya menyikapi hiduplah yang membuatnya selalu terlihat sehat. Dia selalu bersyukur atas segala yang ia punya. Tak pernah sedikitpun mengeluh.
Seorang anak kecil tiba-tiba masuk kedapur. Ia menarik baju mbah Karti. “Mbah, aldo pengen pipis.”