"Tapi mohon ijinkan saya ikut, di samping saya punya urusan dengan mereka, saya juga yang paling tahu dan paham jalan menuju ke sana!"
"Baiklah! Terima kasih, Ki Renggo," ucapnya dengan nada pendek.
"Sekali lagi mohon maaf, bukan berarti saya memandang rendah anda semua, tapi Kanjeng Wotwesi itu didukung banyak murid-murid yang sangat hebat. Oleh karena itu ijinkan beberapa murid terbaik anda untuk ikut serta!"
"Ya..! Benar sekali..!" dukung Ki Demang.
"Setuju..!" Terdengar sahutan dukungan dari murid-murid, menunjukan semangat yang luar biasa untuk membela guru dan kehormatan padepokan mereka.
Lintang menatap istrinya, untuk meminta pertimbangan.
"Aku juga ikut!" sahut Raden Ghandi dari teras, "Akan kuburu sendiri penculik adikku itu, dan memastikan dia mendapat hukuman yang setimpal!" Rahangnya mengatup menahan geram.
Akhirnya dua puluh murid pilihan, serta Raden Ghandi, masuk ke dalam barisan. Mereka menunggang kuda dengan wajah-wajah yang menggambarkan semangat bergelora.
Sebelum rombongan sampai di gerbang, sejumlah orang kampung sudah berdatangan. Mereka ramai berbicara sendiri. Di antara mereka terdapat sanak keluarga para murid, dan tetangga sekitar padepokan. Mereka memanjatkan doa-doa mengiringi kepergian rombongan itu, laksana mengiringi pasukan yang berangkat ke medan perang. Situasi yang benar-benar mengharukan.
Lintang menjawab harapan dan doa-doa mereka dengan anggukan kecil dan berkata, "Terima kasih. Semoga semuanya akan segera beres!" Kemudian ia memacu kudanya tanpa banyak berkata-kata lagi. Dua puluh empat penunggang kuda bergegas mengikuti di belakang.
Orang-orang melambaikan tangan, dan terus memandang sampai rombongan itu menyatu dengan pemandangan di depan.