"Ayo cepat naik!"
"Kalian mau bawa kami ke mana?"
"Jangan banyak tanya! Pokoknya ikut!" bentak si kusir.
Klebat kemudian berlari mengambil kudanya, meloncat dan memacuhnya. Ia lega karena tidak ada orang yang mengejar.
Alya tidak pernah merasa takut. Apa bila Tuhan memang menghendaki kematian seseorang, dia pasti akan mati, karena tiada satu pun kekuasaan di dunia ini yang dapat membebaskannya. Sebaliknya, jika Tuhan belum menghendaki, biar pun tampaknya sudah tidak ada harapan baginya, ia tetap akan lolos dari ancaman maut.
Sementara itu di warung, Cak Lahar tiba-tiba meloncat keluar warung dan melihat ke arah datangnya suara minta tolong. Ia masih sempat melihat kereta kuda yang tampak pergi dengan tergesa-gesa.
"Ada penculik!" teriaknya memberitahu orang-orang di warung, sebelum berlari mengejar.
Dua orang kemudian menyusul keluar warung dan menyerang Cak Lahar dari belakang. Sebagian lainnya masih tampak kebingungan, karena merasa tidak mendengar apa-apa, dan kini tahu-tahu ada dua orang asing menyerang Cak Lahar. Kejadian yang semakin membingungkan.
Dua orang yang merupakan murid Intijiwo itu jelas bermaksud menghalangi Cak Lahar. Maka terjadilah pertarungan yang berlangsung sengit.
Kedua pengeroyok melancarkan pukulan-pukulan cepat. Bukan sembarang pukulan, melainkan jurus sakti yang dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat sekali. Bisa langsung merobohkan orang dengan sekali pukulan.
Kini menghadapi serangan bahaya itu, meskipun kaget, Cak Lahar masih mampu menghindar. Tidak percuma ia menduduki posisi guru ke tiga di Benteng Nusa. Kedua tangannya bergerak dengan pemutaran pergelangan tangan, menangkis serangan-serangan itu dengan mudah.