Oleh: Tri Handoyo
Mendapat undangan sebagai salah seorang penulis yang masuk tiga puluh nominator tingkat nasional. Tentu sesuatu yang membanggakan, terutama bagi penulis pemula dari kota kecil sepertiku.
Untungnya covid 19 belum masuk ke kota budaya itu. Kendati beritanya sudah ramai dan di DKI sudah ada pasien yang terpapar.
Turun dari bus, berjalan menuju pintu masuk terminal Tirtonadi, langsung ada seorang bapak menyambutku. Ia menampilkan sikap ramah.
"Monggo saya antarkan, mau ke mana Mas?" tanya bapak yang rupanya seorang tukang ojek. Senyum ramahnya membuat aku tidak tega menolak.
"Iya, saya mau cari penginapan yang dekat dengan gedung ini, Pak?" jawabku sambil menunjukkan nama tempat seminar pada kartu undangan. Saat itu sudah menjelang petang.
"Oh iya saya tahu, monggo saya antar!"
"Tapi saya mau ke toilet dulu Pak!"
"Oh monggo. Toilet di sebelah sana Mas!" Ia menunjukkan arah dan berjalan mengiringiku.
Aku sebetulnya tidak bermaksud tergesa-gesa mencari penginapan, karena rencana mau makan dulu. Biar nanti begitu dapat penginapan tidak perlu keluar lagi.
Keluar dari toilet ternyata bapak ojek masih menunggu. Ia duduk menghadap pintu keluar. Seolah-olah khawatir aku lepas dari pantauannya.
"Monggo, motor saya ada di sana, Mas!"
Baiklah. Rasanya tidak tega mau minta dia menunggu aku makan. "Maaf, ongkosnya berapa, Pak?" tanyaku, sempat terpikir jangan sampai nanti dimahalkan.
"Terserah masnya saja!"
"Waduh saya tidak tahu Pak!" Aku memperlambat langkah sambil melihat-lihat tulisan menu makanan di kantin.
"Tiga pulu ribu saja!"
'Tadi bilang terserah, tapi ternyata mintanya mahal juga. Kalau sampai tiga puluh ribu mungkin tempatnya jauh dari terminal.' "Apa jauh dari sini Pak?"
"Tidak jauh Mas!"
"Kok sampai tiga puluh ribu, hampir mendekati harga karcis bus dari kota saya, Pak?"
"Itu sudah harga umum! Jangan khawatir, itu sudah murah kok, Mas!"
Rencana mau makan batal. Aku mengikutinya dari belakang, berjalan ke arah parkiran untuk mengambil motor. Di sepanjang perjalanan menuju tempat penginapan bapak itu cerita bahwa dari pagi belum dapat satu pun penumpang.
"Ya baru masnya ini!" pungkasnya dengan nada memelas. "Sekarang kita dijajah sama online!"
Aku paham maksudnya.
Rupanya lokasi gedung tempat acara itu berada di tengah kota. Beberapa hotel yang berada di sekitarnya tampak sangat megah dan bisa dipastikan biaya menginapnya mahal. Kami melewati sebuah hotel yang menjadi tempat acara pernikahan. Tampak mobil-mobil mewah berjajar di tepi jalan besar, karena halaman parkir sudah penuh.
'Pak, jangan hotel-hotel yang besar, yang sedang saja!' gumamku nyaris terlontar, karena khawatir tarip kamarnya mahal. Untungnya di beberapa hotel yang kami lewati mencantumkan tulisan 'Full'. "Banyak yang sudah penuh!"
Aku baru sadar bahwa acara seminar literasi itu tingkat nasional, makanya pasti banyak pengunjung yang akan menghadiri acara tersebut. Pantas kalau banyak penginapan yang penuh.
"Ada tempat yang bagus dan murah, tapi masuk gang, mau Mas?"
"Yang penting tidak jauh, biar bisa ditempuh cukup dengan jalan kaki, Pak!"
"Ya kalau mau jalan lumayan jauh! Tapi banyak ojek kok di dekat situ!"
"Iya baik Pak!" jawabku singkat. Pokoknya ada tempat buat menginap malam itu.
Akhirnya kami tiba di sebuah losmen yang dimaksud bapak ojek. Lumayan jauh dari lokasi seminar.
Dilihat dari luar, bangunan losmen yang berada dipojok jalan tersebut didominasi dengan dinding warna biru. Di pintu gerbang terdapat papan nama dan nomor rumah. Losmen Ganjil 01. Papan kayu itu terpasang agak miring.
Halaman depan dilengkapi taman yang cukup asri. Di bagian teras terlihat meja dan kursi kayu unik, terbuat dari akar pohon jati tua. Beberapa patung kayu seperti dayang-dayang yang menyambut tamu, berjajar di depan pintu masuk.
"Ada kamar kosong Mbak?" tanyaku kepada seorang gadis remaja yang berdiri di belakang meja lobi.
"Ada, Pak.
"Berapa harga menginap semalam?"
"Ada dua tipe, Pak. Ada yang seratus lima puluh ribu dan dua ratus ribu!"
'Alhamdulillah! Ini murah sekali!'Â "Kamar mandi dalam?"
"Iya. Semuanya Pak! Cuma bedanya kalau yang seratus lima puluh ribu tidak ada kipas angin dan televisi!"
"Baiklah, yang itu saja. Saya tidak butuh kipas angin dan televisi, Mbak!"
Singkat cerita dia mengantar aku ke kamar, membukakan pintu, menyalahkan lampu dan kemudian mengangsurkan kunci. Lampunya agak redup. Rasanya akan sakit mata kalau buat baca buku.
Aku melangkah masuk dan kebetulan melihat seekor kecoa terbang keluar dari balik pintu. Kecoa itu mau terbang ke arahku, sehingga aku sudah mengambil ancang-ancang mengibaskan tangan. Ia tidak jadi, lalu cepat-cepat pergi menyelinap di bawah ranjang. Sepertinya ia sudah lama tidak ketemu orang, jadi tampak beringas.
"Wah kok ada kecoa? Kalau yang kamar dua ratus bersih nggak Mbak?"
"Bersih Pak!"
"Saya pindah ke kamar yang dua ratus saja!"
Ia kemudian mengantar ke kamar yang tadi dikatakannya bersih, yang ada fasilitas televisi dan kipas angin. Kamar yang cukup luas. Kasurnya lumayan lebar, dengan ranjang kayu yang terdapat banyak ukiran. Televisi tabung model lama berada di atas meja, di sebelah cermin besar berpigura kayu ukiran.
Saat melihat ke arah cermin, jantungku mendadak terguncang. Tampak pantulan gadis yang mengantarku tadi, tapi wajahnya tertutup rambut panjang yang terurai. Aku menengok ke belakang dengan cepat untuk memastikan penglihatanku. Ternyata mataku yang salah. Mungkin karena lelah.
Gadis yang rambutnya terikat rapi itu menatapku, menampakan wajah seolah keheranan. "Ada apa, Pak?"
"Ah, tidak apa-apa, Mbak!"
Meskipun saat itu baru jam enam sore, tapi rasanya badan langsung meremang karena dingin. Perbedaan udara yang mencolok dibanding di luar ruangan. "Gak ada selimutnya Mbak?"
"Sebentar saya ambilkan Pak!"
Aku duduk di atas ranjang. Anehnya seperti mencium bau keringat orang di ranjang itu. Seperti baru saja ditempati dan belum dibersihkan.
Aku berjalan ke kamar mandi. Kamar mandinya pun luas, memiliki wastafel dan toilet duduk. 'Ini mungkin biar bisa buat mandi rame-rame sambil olah raga,' pikirku merasa aneh membayangkannya.
Bangunan rumah yang luas, dengan halaman depan dan belakang yang tak kalah lebarnya, jelas awalnya tidak dimaksudkan untuk penginapan. Kesan itu begitu kentara lantaran kamarnya tidak banyak dan ukurannya yang luas. Dua kamar berada di bagian depan, tiga kamar utama di ruang tengah, serta dua kamar di dekat dapur dan taman di bagian belakang.
Rumah yang dulunya pasti milik orang kaya. Karena tidak semua orang mendisain kamar dan toilet sebesar itu. Ditambah lagi, terdapat beberapa barang kuno terpajang di ruang tengah. Barang-barang khas kaum bangsawan. Selain itu terdapat beberapa lukisan tua dengan ukuran besar.
Bagian dapur tak kalah luasnya. aku menemukan beberapa toples kuno yang dibiarkan kosong. Ada termos besar yang ternyata kosong pula. Masih menyisakan kompor besar dengan dilengkapi pemanggang dan banyak lagi perkakas masak lainnya yang tampak lama tidak terpakai.
Aku menuju lobi untuk mencari mbak yang jaga, tapi tidak menemui seorang pun di situ. Aku berjalan keluar, menerobos rintik gerimis. Aku ingat tadi melihat ada sebuah warung di pertigaan di ujung gang. Aku membungkus makanan.
Selesai isya', aku langsung mempersiapkan diri untuk istirahat. Sebagaimana sudah menjadi kebiasaan, aku meletakan tasbih di samping bantal. Tasbih tulang unta, yang sudah puluhan tahun selalu menemaniku dalam berpergian ke mana pun.
Rasanya berjam-jam aku kesulitan tidur. Padahal di tengah rintik gerimis dan suasana sepi, yang seharusnya sangat tepat untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Mungkin karena aku merasa kedinginan. Selimutnya sudah ukurannya kecil, tipis pula.
***
Keesokan harinya, aku pergi ke ruang makan, di mana terdapat meja besar dan banyak kursi. Masih sepi. Aneh, dari kemarin tidak ada seorang pun yang aku temui di losmen ganjil ini.
Gadis yang satu-satunya orang yang kutemui, entah dari mana muncul. "Selamat pagi, Pak?" ucapnya mengagetkan.
"Selamat pagi. Kami tidak mendapat sarapan Mbak?"
"Maaf, tidak ada Pak! Tapi kalau mau teh atau kopi bisa bikin sendiri!"
Baiklah, setelah mandi aku segera mengemasi semua barang, mengambil KTP di meja lobi, mencari ojek, dan siap berangkat menuju lokasi seminar. Tiba di lokasi aku baru sadar ada yang ketinggalan, botol tempat minum.
Botol itu harganya mungkin tidak seberapa, tapi ia menyimpan banyak kenangan berharga, karena dulu telah menyertai perjalanan umrohku. Nanti jika selesai acara, akan aku sempatkan untuk mengambilnya.
Susunan acara seminar cukup padat, dimulai jam delapan pagi sampai jam empat sore. Begitu selesai, aku memesan grab menuju terminal, Aku masih teringat botol minum kesayanganku.
"Pak, saya mau mengambil barang yang tertinggal di losmen," kataku kepada tukang grab, karena arah ke terminal ternyata tidak melewati losmen. "Bisa mengantar ke sana, nanti saya tambah! Cuma ambil barang!"
"Iya tidak apa-apa, Mas!"
Sampai di tempat tujuan. Di ujung jalan di mana terdapat losmen nomor ganjil, ternyata berupa bangunan tua yang tampak tidak berpenghuni. Bangunan itu semakin terlihat horor karena tak terawat. Kali ini halaman depannya tampak dipenuhi tanaman liar yang lebat menyemak.
"Mas yakin ini tempatnya?" tanya bapak ojek terlihat keheranan.
"Iya pak!"
"Mas yakin semalam menginap di sini?"
Dilihat pada sore hari saja, bangunan luas itu tampak menyeramkan. Tak ada penerangan sama sekali. Di pintu pagar tampak sarang laba-laba, menggambarkan sudah lama tidak pernah dibuka.
"Sepertinya iya pak! Tapi tidak seperti ini!" Aku kemudian ingat warung tempat beli makan semalam. "Ayo ke warung di pertigaan sana, Pak!" ajakku kemudian.
Untungnya warung masih sepi pembeli. "Bu, masih ingat saya yang kemarin malam beli makan di sini?" tanyaku kepada pemilik warung.
Ibu setengah baya itu mencoba mengenaliku, yang masih mengenakan jaket yang sama. "Maaf saya kok tidak ingat. Ada apa ya Mas?"
Kuceritakan bahwa semalam aku menginap di losmen yang berada di pojokan di ujung jalan. Karena ada barang yang tertinggal, aku bermaksud mengambilnya, tapi tempat itu berubah menjadi bangunan tua tak berpenghuni.
"Oh rumah itu memang angker, Mas! Katanya orang-orang rumah itu 'rumah pesugihan'!" urai ibu itu sambil mengambil tempat duduk, "Kalau berdasarkan cerita dari pembantu rumah tangga yang dulu kerja di sana, rumah itu disebut sebagai tempat pemujaan setan. Julukan itu yang membuat rumah mewah itu akhirnya terkenal angker!"
Terus terang masih sulit rasanya untuk menerima penjelasan yang masuk ke telingaku saat itu, tapi fakta-fakta yang ada di depan mata juga sulit untuk diingkari.
"Tapi kalau menurut saya," imbuh ibu pemilik warung, "Sebetulnya yang membuat angker itu mungkin karena semua penghuninya dulu menjadi korban pembunuhan. Kejadiannya di malam hari, ketika semua penghuninya terlelap tidur. Ada yang bilang motifnya rebutan warisan!"
Aku terpaku, merinding menyimak cerita itu. Semenjak peristiwa berdarah itu, rumah mewah di ujung gang sepi itu tak lagi berpenghuni. Lantaran tak ada ahli warisnya yang berani menempatinya. Sejumlah barang memang sengaja ditinggalkan.
"Rumah itu sudah terbengkalai lama, Mas! Kurang lebih ada sepuluh tahun. Menurut pembantunya, satu-satunya orang yang selamat, beberapa bercak bekas darah yang menempel di cermin, di ranjang, masih tetap dibiarkan," pungkas ibu pemilik warung.
Teka-teki di balik bangunan angker yang sebenarnya masih layak untuk ditempati, namun ditinggalkan kosong begitu saja, pasti mengundang rasa sayang orang yang melihatnya. Padahal masih banyak orang yang tinggal di rumah kecil, atau bahkan belum memiliki rumah.
Bangunan yang sudah tak terawat itu kini menjadi losmen para makhluk tak kasat mata. Losmen ganjil, losmen 01.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H