"Bersih Pak!"
"Saya pindah ke kamar yang dua ratus saja!"
Ia kemudian mengantar ke kamar yang tadi dikatakannya bersih, yang ada fasilitas televisi dan kipas angin. Kamar yang cukup luas. Kasurnya lumayan lebar, dengan ranjang kayu yang terdapat banyak ukiran. Televisi tabung model lama berada di atas meja, di sebelah cermin besar berpigura kayu ukiran.
Saat melihat ke arah cermin, jantungku mendadak terguncang. Tampak pantulan gadis yang mengantarku tadi, tapi wajahnya tertutup rambut panjang yang terurai. Aku menengok ke belakang dengan cepat untuk memastikan penglihatanku. Ternyata mataku yang salah. Mungkin karena lelah.
Gadis yang rambutnya terikat rapi itu menatapku, menampakan wajah seolah keheranan. "Ada apa, Pak?"
"Ah, tidak apa-apa, Mbak!"
Meskipun saat itu baru jam enam sore, tapi rasanya badan langsung meremang karena dingin. Perbedaan udara yang mencolok dibanding di luar ruangan. "Gak ada selimutnya Mbak?"
"Sebentar saya ambilkan Pak!"
Aku duduk di atas ranjang. Anehnya seperti mencium bau keringat orang di ranjang itu. Seperti baru saja ditempati dan belum dibersihkan.
Aku berjalan ke kamar mandi. Kamar mandinya pun luas, memiliki wastafel dan toilet duduk. 'Ini mungkin biar bisa buat mandi rame-rame sambil olah raga,' pikirku merasa aneh membayangkannya.
Bangunan rumah yang luas, dengan halaman depan dan belakang yang tak kalah lebarnya, jelas awalnya tidak dimaksudkan untuk penginapan. Kesan itu begitu kentara lantaran kamarnya tidak banyak dan ukurannya yang luas. Dua kamar berada di bagian depan, tiga kamar utama di ruang tengah, serta dua kamar di dekat dapur dan taman di bagian belakang.