Ki Renggo tiba di Lembah Gunung Pegat sebagai seorang pengembara miskin. Ia membawa bekal beberapa potong pakaian dalam satu buntalan yang dipikul dengan tongkat kayu. Ia mengenakan caping jerami dan alas kaki terbuat dari bahan kayu Randu. Alas kaki itu disebut 'theklek', diambil dari suara yang ditimbulkan ketika berbenturan dengan jalanan.
Di bagian luar lembah, terdapat banyak orang yang menempati gubug-gubug yang dibangun sementara. Mereka datang dari berbagai daerah, yang kebanyakan masyarakat miskin yang ingin mendapat jalan keluar dari permasalahan hidupnya, dan sebagian sisanya ingin melamar menjadi murid Intijiwo. Mereka terpaksa tinggal di gubug karena di wilayah pintu masuk menuju lembah sudah dipenuhi banyak orang. Di tempat itu disediakan pendopo-pendopo di sepanjang kiri kanan jalan. Bagi mereka yang memiliki cukup uang biasanya memilih tinggal di penginapan.
"Biasanya berapa lama harus menunggu untuk bisa diterima masuk bertemu kanjeng?" tanya Ki Renggo kepada salah seorang penjaga di pos paling luar.
"Wow.., jangan harap, Ki. Saya yang sudah lama jadi anggota Intijiwo saja belum pernah bertatap muka langsung, paling-paling melihat dari kejauhan sewaktu ada acara! Nah, kecuali pejabat pemerintahan atau orang-orang terkenal dan kaya raya, baru bisa bertemu kanjeng. Itu pun harus membuat janji dulu jauh hari sebelumnya!"
"Lha orang-orang ini antri untuk apa?"
"Ya macam-macam sesuai tujuan mereka datang ke sini, tapi mereka hanya akan ditemui pembantu-pembantu kanjeng! Itu sudah cukup. Setiap hari hanya dibatasi sekitar seratus orang yang akan dilayani!"
"Kalau mau jadi anggota murid Intijiwo, apa juga harus antri?"
"Yaa.., memang harus sabar Ki sanak. Bahkan ada yang sudah menunggu selama sebulan dan belum diterima masuk, apalagi mau daftar menjadi murid Intijiwo!" Penjaga bernama Gento itu menuturkan dengan ramah. "Ki sanak dari mana?"
"Saya dari Banyuwangi! Nama saya Renggo!"
"Wah jauh sekali!" seru Cak Gento kagum. Ia lalu mempersilakan Ki Renggo duduk di dalam dan menawarkan beberapa potong singkong rebus. Perasaannya mengatakan orang baru itu memiliki sesuatu yang istimewa.
Ki Renggo suka dengan sikap penjaga yang ramah itu. Mereka segera terlibat perbincangan yang mengasyikan, bagaikan dua sahabat yang lama tidak berjumpa.