Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (111): Bisnis Jimat

25 November 2024   07:15 Diperbarui: 26 November 2024   06:03 922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Tri Handoyo

Salah seorang adik Eyang Semi, Raden Renggo, yang menjadi pertapa di puncak Argopuro, di pagi buta tiba-tiba turun gunung. Ia berniat mengingatkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres mengenai hubungan kakaknya dengan Kanjeng Wotwesi.

“Maaf, Mbakyu!” ucap Raden Renggo, “Apa keputusan untuk menikah dengan Kanjeng Wotwesi sudah dipikirkan dengan matang? Dia itu orang jahat!”

Eyang Semi tersentak kaget mendengarnya. Adiknya itu sudah cukup lama bertapa, dari mana dia bisa tahu tentang rencana pernikahan itu. Bahkan tidak semua keluarganya tahu, karena memang rencana itu masih dirahasiakan.

“Sedap jangan ditelan, pahit jangan dimuntahkan!” imbuh Ki Renggo. Arti dari pepatah itu adalah berpikir matang-matang sebelum bertindak agar kelak tidak kecewa.

“Kamu tidak pernah berubah!” balas Eyang Semi datar, tapi jelas sikapnya menunjukkan bahwa ia merasa tersinggung.

“Tidak berubah bagaimana?”

“Selalu sok tahu dan suka menggurui orang!”

“Maaf, saya hanya sekedar mengingatkan!”

“Ternyata di puncak gunung pun tidak menjamin orang bebas dari berita fitnah! Siapa orang yang menyampaikan fitnah tentang Kanjeng Wotwesi sampai ke puncak gunung?”

Ki Ranggo menarik nafas panjang. Ia sudah menduga reaksi kakaknya akan seperti itu. “Tidak seorang pun!”

“Huh!” dengus Eyang Semi, “Aku juga sering dengar berita di luar yang mengatakan bahwa Kanjeng itu seorang ahli sihir jahat! Fitnah itulah yang jahat. Kamu tahu? Kanjeng adalah orang pertama yang datang memberikan bantuan kepada masyarakat ketika bencana melanda desa kita! Kamu sendiri di mana saat itu?”

“Maaf! Kalau begitu saya permisi!”

“Tunggu sebentar!” seru Eyang Semi menahan. Ia lalu masuk ke dalam untuk membungkus makanan dan segera memberikan bungkusan itu kepada adiknya.

“Saya datang bukan untuk ini!”

“Jangan menolak pemberian!” desak Eyang Semi, “Maaf, atas sikapku. Aku hanya tidak senang orang gampang menyebarkan berita yang belum tentu kebenarannnya!”

“Saya hanya mengingatkan, tidak punya kepentingan apa-apa!”

“Tapi kamu sudah memvonis bahwa Kanjeng Wotwesi itu jahat! Bukankah itu artinya kamu ikut menyebarkan fitnah?”

Melalui hatinya yang tak pernah ternoda oleh kemaksiatan semenjak menjadi pertapa, Ki Renggo dapat merasakan segala sesuatu lebih jernih dan terang. Ia tahu bahwa ada kekuatan sihir kuat yang telah memengaruhi kakaknya. “Semua orang yang hadir di rumah Kanjeng Wotwesi tidak akan menyadari bahwa mereka telah disihir melalui berbagai acara dan pertunjukan!”

“Sudah, hentikan kebiasaan burukmu itu!” potong Eyang Semi, “Aku bukan anak kemarin sore yang tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk! Jadi jangan sok ngajari! Entah siapa yang ngomong ke kamu, tapi aku yang ada di sana dan langsung lihat dengan mata kepalaku sendiri! Kanjeng itu adalah orang yang ahli komunikasi. Tutur katanya memang mampu menyentuh hati setiap orang dan bisa membuat mereka sampai tunduk dan bertekuk lutut. Itu yang kamu anggap sihir?”

“Saya yakin belakangan ini Mbakyu pun merasakan ada tanda keanehan-keanehan!”

Jujur. Belakangan Eyang Semi memang mengalami beberapa keanehan. Akan tetapi janda kaya raya itu mengabaikannya, karena ia sendiri terlanjur mengagumi kakek perkasa yang termasyur itu.

Suatu malam ia bermimpi, dan rasanya itu seperti kenyataan. Kanjeng Wotwesi berdiri di hadapannya dan mengatakan, “Aku sanggup meredam kobaran api yang membakar hutan. Aku sanggup menghalau terjangan ombak yang melabrak karang. Tapi aku tak sanggup melawan arus gelombang asmara yang menyeret jiwaku ke arahmu!” 

“Sungguhkah Kanjeng?” Saat itu ia merasa bak seorang perawan yang sedang jatuh cinta.

“Sungguh! Kasih.., jangan biarkan jiwaku hanyut terombang ambing di lautan pesonamu!”

Namun mendadak ia terjaga dari tidur, karena yang ada di hadapannya tiba-tiba ular raksasa. Dengan penasaran Eyang Semi menatap serius wajah adiknya. “Keanehan? Apa contohnya?”

“Sebagai seorang pendekar, Mbakyu pasti sudah pernah mendengar tentang istilah pesugihan. Ya, pesugihan sebagai jalan pintas untuk memperoleh kekayaan yang harus ditebus dengan tumbal. Jika pelaku pesugihan sampai lupa memberikan tumbal, maka dia sendiri yang akan menjadi korban! Nah, Kanjeng Wotwesi itu…”

“Menurutmu Kanjeng Wotwesi itu melakukan praktik pesugihan? Tuduhan keji! Bukankah aku tadi tanya tentang contoh keanehan-keanehan?”

“Saya harap Mbakyu sabar mendengarkan!”

“Ya, tapi penjelasannya jangan bertele-tele!”

“Saya akan ceritakan dulu mengenai ciri-ciri orang yang menjadi sasaran tumbal pesugihan. Ini merupakan ciri-ciri umum. Pertama, yaitu suasana tempat tinggal secara tiba-tiba terasa berbeda. Menjadi gerah, tidak nyaman, menimbulkan kegelisahan, dan lain-lain. Kemudian, muncul binatang-binatang berbisa, seperti ular, kalajengking, kelabang, kelelawar…”

“Tapi semua yang kamu katakan itu tidak ada!” potong Eyang Semi. “Kalau perasaan gelisah itu saya pikir wajar saja! Itu terjadi pada setiap orang!”

“Apa perlu saya lanjutkan?”

“Baiklah!”

“Kemudian, biasanya ia tiba-tiba bisa melihat penampakan-penampakan. Padahal sepanjang hidupnya ia tidak memiliki kemampuan untuk melihat makhluk halus. Akan tetapi, ketika seseorang menjadi sasaran untuk ditumbalkan, maka makhluk halus akan mengejarnya sehingga ia selalu merasa seakan-akan ada yang selalu mengawasi!”

“Hmm..!”

“Kemudian akan sering mencium bau harum yang aneh. Padahal, sumber wewangian tersebut tidak jelas asalnya. Biasanya diiringi dengan mendengar suara aneh, misalnya suara gamelan, padahal tidak ada seorang pun yang sedang memainkan gamelan di sekitarnya, atau suara orang yang memanggil-manggil namanya, padahal tidak ada seorang pun di dekatnya. Ciri yang terakhir adalah mendadak sakit tanpa sebab!”

“Jadi menurutmu aku mau dijadikan tumbal Kanjeng Wotwesi?”

“Apa Mbakyu merasakan tanda-tanda itu?”

“Ada, tapi tidak semuanya! Bisa jadi hanya kebetulan saja!”

Ki Renggo melihat ke luar. Jauh di ujung sana, dibalik gunung yang menjulang ke angkasa dan di dalam rimbunnya hutan belantara, ia rindu untuk segera kembali. “Maaf, kalau saya sudah mengganggu, permisi!”

“Sebentar!

“Sudahlah, saya tidak berniat berdebat! Selama ini kita memang tidak pernah cocok. Semoga Mbakyu selalu dilingdungi oleh yang maha kuasa. Permisi!”

“Terima kasih sudah mengingatkan!” Eyang Semi tidak berusaha untuk mencegah lagi. Ia memandang punggung adiknya yang berjalan keluar dari rumah hingga menghilang di ujung jalan.

Akhirnya pernikahan antara Eyang Semi dan Kanjeng Wotwesi dilangsungkan, baik di lereng Argopuro maupun di Lembah Gunung Pegat. Perayaan pernikahan yang berlangsung sangat meriah dan dihadiri tamu-tamu terhormat.

Hanya dalam waktu tiga bulan menjadi istri kanjeng, Eyang Semi tiba-tiba mengalami sakit. Tidak lama kemudian ia meninggal dunia. Pendekar perempuan yang kaya raya itu adalah tumbal terbaik bagi Intijiwo. Saat itu, peristiwa yang dikenal dengan kasus Kopi Argopuro adalah kasus terlicin dan tercanggih yang pernah ada di Nusantara.

***

Renggo Atmonegoro, lahir di kaki Gunung Argopuro lima puluh lima tahun yang lalu, adalah mantan pegawai kademangan yang menjabat hanya selama seratus hari. Paling singkat. Ia dipecat gara-gara berani membongkar korupsi atasannya, seorang demang.

Pada saat diberhentikan, dia telah menemukan bukti-bukti yang kemudian ia laporkan kepada tumenggung. Anehnya, beberapa hari setelah itu ia justru dipecat oleh tumenggung. Sebagai seorang pegawai baru, ia dianggap terlampau berani dan sudah melangkah terlalu jauh.

Waktu dipecat, dengan sikap tenang Ki Renggo bertanya kepada tumenggung, “Saya ini seorang abdi negara apa bukan?”

“Memang kenapa?”

“Kalau abdi negara, mestinya kewajiban saya adalah mewakili kepentingan rakyat, bukan mewakili kepentingan seorang demang!” Setelah berkata demikian ia langsung keluar ruangan, meninggalkan tumenggung yang masih membisu seriba bahasa.

Setelah dipecat, ia tetap melanjutkan perjuangan untuk membela kepentingan rakyat. Hingga akhirnya, berbagai fitnah disebar agar semua orang menganggapnya sebagai penjahat, yang semua ucapannya tidak pantas untuk dipercaya.

Dalam waktu singkat Ki Renggo pun terkenal sebagai orang yang paling dicari oleh para pendekar bayaran demang. Lelaki berperawakan sedang, namun sepak terjangnya sangat merepotkan satu kademangan.

Mulailah terjadi serangkaian peristiwa berdarah yang tidak bisa dilepaskan dari nama Ki Renggo, yang berjuluk Berandal Lereng Argopuro. Kademangan pun rela menghabiskan banyak uang untuk sekedar mencari informasi di mana keberadaan si berandal.

Pada suatu hari, seorang yang diperintah memata-matai kampung Ki Renggo melaporkan bahwa musuh besar kademangan itu pulang ke rumahnya. Kemungkinan yang hampir mustahil itu ternyata terjadi. Skenario penyergapan pun dilakukan.

Sekitar seratus orang dikerahkan untuk mengepung. Semua jalan keluar dijaga sangat ketat. Namun pengepungan itu ternyata sia-sia, tetap saja tidak berhasil menangkap si berandal.

Lolosnya Ki Renggo tentu saja membuat pasukan Ki Demang menjadi murka. Sebagai pelampiasan, mereka menganiaya seluruh warga kampung karena dianggap telah membantu pelarian Ki Renggo.

Mendengar kabar itu, Ki Renggo sangat menyesal dan merasa berdosa. Setelah itu dia memutuskan untuk menjadi pertapa di puncak Gunung Argopuro.

Suatu ketika kakaknya, Semi Rengganis, menemuinya di tempat pertapaan. “Apa artinya hidupmu ini? Apakah manfaatnya mengasingkan diri seperti ini? Apa gunanya bagi manusia lain?” serbu perempuan itu geram.

Ki Renggo hanya diam. Membisu seperti bebatuan yang ada di sekitarnya.

Saat kabar meninggalnya Eyang Semi beberapa hari yang lalu sampai ke telingnya, Ki Renggo memutuskan untuk turun gunung. Ia bertekad akan menyelidiki kematian kakaknya dan membongkar kejahatan Kanjeng Wotwesi.

***

Ki Renggo tiba di Lembah Gunung Pegat sebagai seorang pengembara miskin. Ia membawa bekal beberapa potong pakaian dalam satu buntalan yang dipikul dengan tongkat kayu. Ia mengenakan caping jerami dan alas kaki terbuat dari bahan kayu Randu. Alas kaki itu disebut ‘theklek’, diambil dari suara yang ditimbulkan ketika berbenturan dengan jalanan.

Di bagian luar lembah, terdapat banyak orang yang menempati gubug-gubug yang dibangun sementara. Mereka datang dari berbagai daerah, yang kebanyakan masyarakat miskin yang ingin mendapat jalan keluar dari permasalahan hidupnya, dan sebagian sisanya ingin melamar menjadi murid Intijiwo. Mereka terpaksa tinggal di gubug karena di wilayah pintu masuk menuju lembah sudah dipenuhi banyak orang. Di tempat itu disediakan pendopo-pendopo di sepanjang kiri kanan jalan. Bagi mereka yang memiliki cukup uang biasanya memilih tinggal di penginapan.

“Biasanya berapa lama harus menunggu untuk bisa diterima masuk bertemu kanjeng?” tanya Ki Renggo kepada salah seorang penjaga di pos paling luar.

“Wow.., jangan harap, Ki. Saya yang sudah lama jadi anggota Intijiwo saja belum pernah bertatap muka langsung, paling-paling melihat dari kejauhan sewaktu ada acara! Nah, kecuali pejabat pemerintahan atau orang-orang terkenal dan kaya raya, baru bisa bertemu kanjeng. Itu pun harus membuat janji dulu jauh hari sebelumnya!”

“Lha orang-orang ini antri untuk apa?”

“Ya macam-macam sesuai tujuan mereka datang ke sini, tapi mereka hanya akan ditemui pembantu-pembantu kanjeng! Itu sudah cukup. Setiap hari hanya dibatasi sekitar seratus orang yang akan dilayani!”

“Kalau mau jadi anggota murid Intijiwo, apa juga harus antri?”

“Yaa.., memang harus sabar Ki sanak. Bahkan ada yang sudah menunggu selama sebulan dan belum diterima masuk, apalagi mau daftar menjadi murid Intijiwo!” Penjaga bernama Gento itu menuturkan dengan ramah. “Ki sanak dari mana?”

“Saya dari Banyuwangi! Nama saya Renggo!”

“Wah jauh sekali!” seru Cak Gento kagum. Ia lalu mempersilakan Ki Renggo duduk di dalam dan menawarkan beberapa potong singkong rebus. Perasaannya mengatakan orang baru itu memiliki sesuatu yang istimewa.

Ki Renggo suka dengan sikap penjaga yang ramah itu. Mereka segera terlibat perbincangan yang mengasyikan, bagaikan dua sahabat yang lama tidak berjumpa.

Dari situ, Ki Renggo mendapatkan gambaran awal mengenai Kanjeng Wotwesi dan Intijiwo. Ada tujuh tingkatan dalam Intijiwo yang masing-masing tingkatan memiliki tanda khusus. Tingkatan itu juga akan tampak jelas ketika ada acara ritual atau perayaan. Semakin dekat tempatnya dengan Puri Intijiwo, kediaman Kanjeng Wotwesi, berarti semakin tinggi tingkatannya. Masing-masing tempat tingkatan dijaga ketat, sehingga tingkat bawah tidak mungkin bisa menyusup ke tingkat di atasnya.

“Berapa lama biasanya seorang murid bisa mencapai tingkat tujuh?” tanya Ki Renggo.

“Oh.., tidak bisa dipastikan. Itu tergantung dari bakat dan kemampuan masing-masing orang. Semakin tinggi tingkatan semakin berat amalan dan latihan yang harus dijalani. Kalau orang seperti saya, sudah hampir tiga tahun masih tetap saja di tingkat satu! He..he..!”

“Tiga tahun?”

“Iya. Tapi saya syukuri saja, Ki. Coba perhatikan orang-orang itu, yang antri untuk diterima jadi murid saja harus rela menunggu lama!”

“Iya betul!”

“Apa Ki Renggo berniat mau jadi pengikut Intijiwo?”

“Iya!”

“Tapi ini rahasia kita berdua saja ya, Ki Renggo. Saya punya kenalan orang di tingkat tujuh, kalau Ki Renggo bersedia membayar sejumlah uang nanti akan saya antarkan ke kenalan saya itu, biar diprioritaskan untuk diterima menjadi anggota, bagaimana, Ki?”

“Saya hanya punya sedikit uang!” Ki Renggo mengeluarkan beberapa keping logam dari kantung. “Apa ini cukup?”

“Tidak ada lagi? Ini bukan untuk saya, tapi untuk kenalan saya itu!”

“Maaf, tidak ada!”

“Waduh. Baiklah!” Cak Gento dengan antusias segera membawa Ki Renggo untuk bertemu kenalannya, seorang anggota senior di tingkat tujuh.

Mereka berdua berjalan cukup jauh melewati komplek puri dan sampai di pos jaga tingkat tujuh.

“Apa yang mendorong Ki Renggo ingin menjadi pengikut Intijiwo?” tanya penjaga.

“Saya ingin mengabdikan sisa hidup saya ini agar bermanfaat bagi umat manusia!”

“Bagus! Itu sesuai dengan moto kita!”

“Apa keahlian Ki Renggo?”

“Saya menyukai tanaman dan sangat suka berkebun!”

“Bagus! Kebetulan seorang tukang kebun baru saja mengundurkan diri. Sekarang jumlahnya lengkap menjadi sepuluh lagi. Jadi mulai hari ini Ki Renggo bertugas merawat taman-taman di sekitar Puri Intijiwo!”

Itu karena Ki Renggo mendapat bocoran dari Cak Gento. Singkat cerita, dengan membayar sejumlah uang Ki Renggo langsung diterima sebagai anggota Intijiwo sekaligus sebagai tukang kebun. Para anggota baru akan dilantik dalam upacara yang diadakan setiap bulan purnama. Tinggal beberapa hari lagi.

***

Tujuh orang anggota Intijiwo tampak membawa ayam cemani, dan satu per satu menyodorkan ayam itu ke Kanjeng Wotwesi. Mereka berdiri di depan bangunan pemujaan yang terbuat dari emas. Kanjeng Wotwesi mengangkat ayam yang serba hitam itu, memutarnya beberapa kali di atas asap dupa yang mengepul, kemudian menghujamkan pisau ke leher ayam. Darah mengucur keluar dari luka pada saat pisau dicabut, nampak jelas sekali mengalir ke wadah bokor emas.

Kini Kanjeng meraih ayam lainnya sementara membiarkan ayam yang terluka dipegang muridnya sampai darah tak menetes lagi. Tentu saja ayam itu akan mati kehabisan darah.

Setelah tujuh ayam itu selesai diambil darahnya, di depan sebelah lain bangunan itu, tujuh orang lainnya duduk menghadap meja berplitur hitam. Mereka bertugas menuliskan rajah di atas kain warna putih, memainkan kuas dengan terampil dan berkali-kali mencelupkan kuas ke dalam bokor berisi tinta darah cemani.

 Upacara ritual penulisan jimat itu hanya dilaksanakan pada saat bulan purnama. Entah sejak kapan orang-orang meyakini bahwa menyimpan jimat itu bisa melindungi mereka dari berbagai penyakit, hama tanaman, dan juga nasib sial. Para penulis jimat sudah puluhan kali menulis, sudah demikian seringnya, hingga dengan cekatan ratusan jimat telah selesai ditulis hanya dalam waktu singkat. Pergelangan tangan dan wajah mencerminkan kelelahan, tapi mereka baru akan berhenti jika darah ayam di dalam bokor emas sudah habis.

Jimat itu nanti akan dibagi-bagikan kepada para pengunjung yang sudah antri. Tentu saja secara gratis, hanya diwajibkan untuk membayar sedekah yang besarnya tidak ditentukan. Semakin besar sedekahnya maka dia mendapat antrian paling depan. Bagi yang tidak kebagian maka harus rela menunggu bulan purnama berikutnya.

“Ini adalah jimat ajian pamungkas, merupakan pelengkap dari semua ilmu, baik yang hanya memakai kekuatan aura maupun yang memakai berbagai khodam!” ceramah Ki Jangkar, anggota senior Intijiwo, di hadapan ratusan orang yang duduk bersila di lapangan. Suaranya lantang berapi-api.

Orang-orang yang justru kebanyakan masyarakat kecil itu datang dengan membawa berbagai persoalan hidup. Mereka berharap dengan memperoleh jimat dari Kanjeng Wotwesi segala persoalan itu akan teratasi. Ada petani yang ingin tanamannya bebas dari hama, ada pedagang yang ingin dagangannya laris, ada orang yang sedang menderita sakit dan mengharap kesembuhan, ada yang ingin cepat dapat jodoh, dan sebagian besar sisanya adalah orang miskin yang ingin menjadi kaya raya dengan cepat.

“Jimat ini bisa untuk kesehatan, kanuragan, kadigdayaan, kewibawaan, kerejekian, keberuntungan, kemakmuran, dan lain sebagainya!” sambung Ki Dewan. “Jimat ini memang bisa tinggal digantung di dinding, atau disimpan di almari, tapi akan lebih kuat jika ajian sebaik ini digemblengkan, bisa dengan media rajah, dengan media minyak wangi, atau dengan media madu! Juga bisa disusukkan dengan media emas. Tapi tentu prosesnya akan lebih sulit dan memakan waktu lebih lama!”

Perkumpulan yang memiliki banyak pengikut itu sebetulnya menyebarkan ajaran dari beberapa kepercayaan yang dicampuradukan. Salah satu ajarannya adalah ‘kekuatan aura’ yang diyakini bisa meningkat dan berubah warna pada saat melakukan amalan tertentu seperti shalat dan puasa. Kanjeng Wotwesi memang sering mengaku pernah berguru kepada Sunan Geseng dan kemudian mondok di padepokan murid Sunan Bonang, tapi itu tidak benar.

Ajaran aura itu menghubungkan kekuatan fisik manusia yang akan berinteraksi dengan energi alam semesta lantaran amalan-amalan yang dikerjakan. Energi yang melekat pada manusia, yang dinamakan aura itulah sebagai pelindung tubuh. Sudah tentu hal itu belum memiliki bukti ilmiah kerana konsep aura itu sendiri disebut ilmu pengetahuan semu.

Kanjeng Wotwesi memang diakui sebagai pengamal ilmu kebatinan modern yang kemudian bertanggunjawab memopulerkan ilmu yang diamalkan secara terbuka itu melalui ajaran Intijiwo. Ajaran yang sangat mudah diterima semua kalangan.

Ajaran Intijiwo mengajak kembali kepada amalan kebatinan yang mengakui bahwa konsep roh dalam diri manusia itu dikembangkan oleh cakra-cakra. Tujuh cakra utama yang memiliki tujuh macam warna di dalam tubuh manusia itu selama ini terlupakan oleh kebanyakan manuisa. Bahkan tidak disadari akan keberadaannya. Padahal itu sangat penting untuk menunjang berbagai kebutuhan hidup manusia.

Warna-warna itu mereka percayai berasal dari satu sumber yang sama yaitu cahaya putih. Wujud yang satu itu dianggap sebagai sumber segala energi yang menghidupkan alam semesta ini. Cahaya putih itu adalah sang maha hidup yang menyatu dengan tubuh manusia. Itulah ajaran yang secara serampangan disebut ‘manunggaling kawula gusti’.

Jadi jelas konsep aura itu adalah ilmu palsu yang menunggang pada ajaran agama. Ia akan laku apabila konsep palsu itu kemudian dikaitkan dengan penyembuhan, kedigdayaan, keberuntungan, penglarisan, kekayaan, dan lain-lain. Jimat itu kemudian diproduksi masal dalam bentuk berbagai jimat Intijiwo, ikat kepala Intijiwo, gelang Intijiwo, kalung Intijiwo, minyak wangi Intijiwo, dan banyak lagi lainnya. Bisnis jimat yang menggiurkan.

Lebih parah lagi apabila jimat itu diyakini akan bertambah energi auranya yang bermanfaat untuk segala kebutuhan, ketika pemiliknya melakukan ibadah ritual. Akhirnya memang yang terlihat jelas, para anggota Intijiwo sangat rajin ibadah, tapi ibadah itu sebetulnya lebih bertujuan demi mempertebal aura jimatnya. Selanjutnya itu dianggap sebagai pengundang keberuntungan dan kedigdayaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun