Ajaran Intijiwo mengajak kembali kepada amalan kebatinan yang mengakui bahwa konsep roh dalam diri manusia itu dikembangkan oleh cakra-cakra. Tujuh cakra utama yang memiliki tujuh macam warna di dalam tubuh manusia itu selama ini terlupakan oleh kebanyakan manuisa. Bahkan tidak disadari akan keberadaannya. Padahal itu sangat penting untuk menunjang berbagai kebutuhan hidup manusia.
Warna-warna itu mereka percayai berasal dari satu sumber yang sama yaitu cahaya putih. Wujud yang satu itu dianggap sebagai sumber segala energi yang menghidupkan alam semesta ini. Cahaya putih itu adalah sang maha hidup yang menyatu dengan tubuh manusia. Itulah ajaran yang secara serampangan disebut 'manunggaling kawula gusti'.
Jadi jelas konsep aura itu adalah ilmu palsu yang menunggang pada ajaran agama. Ia akan laku apabila konsep palsu itu kemudian dikaitkan dengan penyembuhan, kedigdayaan, keberuntungan, penglarisan, kekayaan, dan lain-lain. Jimat itu kemudian diproduksi masal dalam bentuk berbagai jimat Intijiwo, ikat kepala Intijiwo, gelang Intijiwo, kalung Intijiwo, minyak wangi Intijiwo, dan banyak lagi lainnya. Bisnis jimat yang menggiurkan.
Lebih parah lagi apabila jimat itu diyakini akan bertambah energi auranya yang bermanfaat untuk segala kebutuhan, ketika pemiliknya melakukan ibadah ritual. Akhirnya memang yang terlihat jelas, para anggota Intijiwo sangat rajin ibadah, tapi ibadah itu sebetulnya lebih bertujuan demi mempertebal aura jimatnya. Selanjutnya itu dianggap sebagai pengundang keberuntungan dan kedigdayaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H