Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (111): Bisnis Jimat

25 November 2024   07:15 Diperbarui: 26 November 2024   06:03 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mulailah terjadi serangkaian peristiwa berdarah yang tidak bisa dilepaskan dari nama Ki Renggo, yang berjuluk Berandal Lereng Argopuro. Kademangan pun rela menghabiskan banyak uang untuk sekedar mencari informasi di mana keberadaan si berandal.

Pada suatu hari, seorang yang diperintah memata-matai kampung Ki Renggo melaporkan bahwa musuh besar kademangan itu pulang ke rumahnya. Kemungkinan yang hampir mustahil itu ternyata terjadi. Skenario penyergapan pun dilakukan.

Sekitar seratus orang dikerahkan untuk mengepung. Semua jalan keluar dijaga sangat ketat. Namun pengepungan itu ternyata sia-sia, tetap saja tidak berhasil menangkap si berandal.

Lolosnya Ki Renggo tentu saja membuat pasukan Ki Demang menjadi murka. Sebagai pelampiasan, mereka menganiaya seluruh warga kampung karena dianggap telah membantu pelarian Ki Renggo.

Mendengar kabar itu, Ki Renggo sangat menyesal dan merasa berdosa. Setelah itu dia memutuskan untuk menjadi pertapa di puncak Gunung Argopuro.

Suatu ketika kakaknya, Semi Rengganis, menemuinya di tempat pertapaan. “Apa artinya hidupmu ini? Apakah manfaatnya mengasingkan diri seperti ini? Apa gunanya bagi manusia lain?” serbu perempuan itu geram.

Ki Renggo hanya diam. Membisu seperti bebatuan yang ada di sekitarnya.

Saat kabar meninggalnya Eyang Semi beberapa hari yang lalu sampai ke telingnya, Ki Renggo memutuskan untuk turun gunung. Ia bertekad akan menyelidiki kematian kakaknya dan membongkar kejahatan Kanjeng Wotwesi.

***

Ki Renggo tiba di Lembah Gunung Pegat sebagai seorang pengembara miskin. Ia membawa bekal beberapa potong pakaian dalam satu buntalan yang dipikul dengan tongkat kayu. Ia mengenakan caping jerami dan alas kaki terbuat dari bahan kayu Randu. Alas kaki itu disebut ‘theklek’, diambil dari suara yang ditimbulkan ketika berbenturan dengan jalanan.

Di bagian luar lembah, terdapat banyak orang yang menempati gubug-gubug yang dibangun sementara. Mereka datang dari berbagai daerah, yang kebanyakan masyarakat miskin yang ingin mendapat jalan keluar dari permasalahan hidupnya, dan sebagian sisanya ingin melamar menjadi murid Intijiwo. Mereka terpaksa tinggal di gubug karena di wilayah pintu masuk menuju lembah sudah dipenuhi banyak orang. Di tempat itu disediakan pendopo-pendopo di sepanjang kiri kanan jalan. Bagi mereka yang memiliki cukup uang biasanya memilih tinggal di penginapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun