Mereka berdua berjalan cukup jauh melewati komplek puri dan sampai di pos jaga tingkat tujuh.
“Apa yang mendorong Ki Renggo ingin menjadi pengikut Intijiwo?” tanya penjaga.
“Saya ingin mengabdikan sisa hidup saya ini agar bermanfaat bagi umat manusia!”
“Bagus! Itu sesuai dengan moto kita!”
“Apa keahlian Ki Renggo?”
“Saya menyukai tanaman dan sangat suka berkebun!”
“Bagus! Kebetulan seorang tukang kebun baru saja mengundurkan diri. Sekarang jumlahnya lengkap menjadi sepuluh lagi. Jadi mulai hari ini Ki Renggo bertugas merawat taman-taman di sekitar Puri Intijiwo!”
Itu karena Ki Renggo mendapat bocoran dari Cak Gento. Singkat cerita, dengan membayar sejumlah uang Ki Renggo langsung diterima sebagai anggota Intijiwo sekaligus sebagai tukang kebun. Para anggota baru akan dilantik dalam upacara yang diadakan setiap bulan purnama. Tinggal beberapa hari lagi.
***
Tujuh orang anggota Intijiwo tampak membawa ayam cemani, dan satu per satu menyodorkan ayam itu ke Kanjeng Wotwesi. Mereka berdiri di depan bangunan pemujaan yang terbuat dari emas. Kanjeng Wotwesi mengangkat ayam yang serba hitam itu, memutarnya beberapa kali di atas asap dupa yang mengepul, kemudian menghujamkan pisau ke leher ayam. Darah mengucur keluar dari luka pada saat pisau dicabut, nampak jelas sekali mengalir ke wadah bokor emas.
Kini Kanjeng meraih ayam lainnya sementara membiarkan ayam yang terluka dipegang muridnya sampai darah tak menetes lagi. Tentu saja ayam itu akan mati kehabisan darah.