Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar sang Pendekar (60), Cerita Duka

8 September 2024   07:26 Diperbarui: 8 September 2024   07:29 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan sempoyongan Ki Setiaji menghampiri kudanya dan pergi dari situ. Ia merasa sangat terhina, rasa yang lebih menyakitkan ketimbang sakit di sekujur tubuhnya.

Topo tersenyum puas, sambil mengamati kuda Setiaji yang berlari menjauh. Ia kemudian berpikir untuk memelet istri Ki Setiaji, agar Jenar tidak bersikap seperti suaminya. 'Menarik sekali,' pikirnya. Ia tertawa membayangkan ibu Ajeng yang masih kelihatan mudah dan cantik itu juga akan tergila-gila kepadanya. Pikiran liarnya kemudian merembet ke Arum, istri Tulus. 'Jika Tulus memelet Ajeng, aku juga bisa memelet Arum! Hm..biar imbang!'

Setiaji menemui istri dan putrinya di rumah Cak Japa, dan kemudian menceritakan kejadian yang baru dialaminya kepada mereka. Ia menyesal karena selama ini benci ilmu silat, karena menurutnya silat itu hanya untuk orang-orang yang suka berkelahi dan suka menyakti orang lain. Ia belajar silat sekedar sebagai olah raga untuk menjaga kebugaran tubuh.

"Aku berharap kejadian seperti ini akan membuka kedua mata kita," kata Cak Japa, "Bahwa ilmu silat itu bukan tidak perlu sama sekali seperti yang selama ini Ki Setiaji kira. Coba jika Ki Setiaji dulu tidak membenci ilmu silat, pasti kini mampu membela diri dan membela keluarga, dan tidak akan mudah dipermainkan orang!"

"Menurut saya, dengan memiliki ilmu silat, orang akan memiliki potensi besar untuk menjadi pembunuh!" jawabnya lirih sambil meringis menahan perih di bibirnya.

"Untuk menjadi pembunuh tidak harus menguasai ilmu silat, Ki. Cukup memiliki hati yang jahat. Dengan memfitnah misalnya. Bukankah fitnah lebih kejam daripada pembunuhan?" Semua yang ada di ruang tamu itu tampak mengangguk-angguk sepakat.

Cak Woto Si Pendekar Kaki Malaikat, yang selama ini bekerja di peternakan sapi Cak Japa, ikut prihatin mendengar cerita keluarga Ki Lurah Setiaji. "Nabi Muhammad juga memerintahkan kita untuk belajar ilmu beladiri dan perang!" timpalnya.

"Benar!" sambung Cak Japa, "Membunuh orang itu tidak selalu jahat. Membunuh karena nafsu amarah, itu bodoh. Membunuh karena ingin memperlihatkan kekuasaan dan kekuatan, itu kejam. Tapi membunuh untuk bertahan hidup, itu lain lagi. Dan membunuh untuk membela diri atau demi menumpas kebatilan itu justru suatu kebaikan!"

"Bagaimana kalau dukunnya saja yang  aku bunuh, Cak?" tanya Cak Woto. "Mbah Myang Mimbe itu pasti sudah membuat banyak keluarga menderita!"

"Iya setuju!" sahut Ki Setiaji, "Aku juga ingin sekali membunuh dukun keparat itu?"

"Apa Ki Setiaji yakin akan mampu membunuhnya?" sindir Cak Japa. "Bagaimana kalau ternyata dukun itu sangat sakti?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun