Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar sang Pendekar (60), Cerita Duka

8 September 2024   07:26 Diperbarui: 8 September 2024   07:29 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Sore yang cerah. Tulus berkunjung ke rumah Cak Japa. "Assalamualaikum..!

"Wa alaikum salam..!" Lelaki yang lebih dikenal sebagai imam langgar itu sedang menyapu halaman ditemani Alya. Kedua lelaki perkasa itu berangkulan dengan sangat erat. "Bagaimana kondisi istrimu?" tanya Cak Japa.

"Alhamdulillah, Cak. Arum cukup tabah menerimanya!"

"Syukur alhamduillah!"

"Kami ikhlaskan dan serahkan semua kepada yang Maha Kuasa!" Meskipun mengatakan demikian, namun di wajah Tulus masih tersirat kesedihan jika mengingat peristiwa itu.

"Ayo masuk, ada yang ingin aku ceritakan!"

"Kita di teras langgar saja, Cak!"

"Baiklah!"

"Oh iya, saya ingin tahu soal ke mana perginya Mbah Kucing, dan juga tentang meninggalnya Ki Setiaji dan Cak Woto!" tanya Tulus mengalihkan cerita dukanya.

"Nah itu yang mau aku ceritakan!" Mereka lalu duduk lesehan di teras langgar. "Nduk!" panggil Cak Japa kepada Alya, "Tolong bilang ibumu untuk buatkan minum!" Tuturnya kemudian, "Mbah Kucing memutuskan ingin mengasingkan diri. Beliau terakhir bilang sudah tidak mempunyai tanggungan lagi. Aku khawatir bahwa ini mungkin pertanda bahwa sudah saatnya beliau akan pergi meninggalkan kita semua!"

Matahari sore menyinari jalanan yang sepi. Udara masih terasa sangat hangat meskipun berangin. Sesekali terdengar suara kicau kutilang bersahutan di dahan, seolah nyanyian untuk mengiringi matahari yang hendak tergelincir di ufuk barat.

Asih Larasati, istri Cak Japa, tampak keluar dari samping rumah, berjalan perlahan di jalan setapak taman dengan membawa nampan anyaman bambu berisi minuman dan sepiring besar makanan ringan. Tampaknya pisang dan singkong rebus.

Alya sedang asyik melompat-lompat dengan sebelah kaki di belakang ibunya. Tiba-tiba kakinya tersandung sebongkah batu yang sedikit menonjol lebih tinggi dari batu lain. Tubuhnya terhuyung-huyung hendak jatuh dan menubruk tubuh ibunya. Asih terdorong dan pasti akan tersungkur karena kedua tangannya yang memegang nampan tidak bisa memberi keseimbangan. Nampan itu miring dan isinya tumpah.

Di saat yang sama, tampak sekelebat bayangan datang dengan sigap, dengan tangan kiri menyelamatkan nampan beserta isinya. Sementara itu, entah bagaimana tubuh Alya yang berpegangan ke tubuh ibunya telah berada dalam gendongan tangan kanannya. Berat badan istri dan putrinya itu sama sekali bukan masalah berarti.

Alya yang kini memeluk leher ayahnya bersorak girang, "Hebat..! Gerakan ilmu meringankan tubuh Ayah seperti Mbah Kucing saja,!"

Seketika wajah Cak Japa dan Asih tampak kaget. Mereka saling pandang, kemudian keduanya menatap kepada putri mereka dengan mata penuh tanda tanya. Tentu saja mereka terheran-heran karena bagaimana putri kecil mereka itu bisa tahu bahwa gerakan tadi adalah gerakan yang disebut ilmu meringankan tubuh, apalagi dikatakan mirip dengan Mbah Kucing. Padahal jarang sekali orang tahu bahwa Mbah Kucing itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi.

Tentu saja Tulus tidak terlalu heran menyaksikan adegan Cak Japa tadi, namun ia dibuat kagum dengan pengetahuan Alya. Gadis mungil cantik itu sudah kabur bermain sebelum ayah dan ibunya bertanya lebih jauh.

Cak Japa kemudian kembali bercerita, kini mengenai kejadian sebelum kematian Ki Setiaji.

***

Petang itu, Roro Ajeng terbangun dari tidur karena ingin buang air kecil. Ketika memasuki kamar mandi tiba-tiba ia merasa punggungnya seperti dielus oleh telapak tangan dari belakang. Ia langsung merinding, karena mustahil ada orang lain di dalam kamar mandi. Cepat-cepat ia kembali ke kamarnya. Tiba-tiba ia mencium bau wangi aneh yang menyengat, juga terdengar ada suara lembut memanggilnya dari belakang. Ia menengok dan melihat sosok hitam berbulu kasar menatapnya tajam.

Makhluk mengerikan di sudut ruangan itu berkata "Kamu harus ikut aku?"

Ajeng spontan berteriak histeris. Sambil menudingkan jari makhluk itu terus mengulang perkataan yang sama.

Ki Setiaji dan Jenar yang mendengar teriakan langsung berlari menuju ke kamarnya. "Ada apa Jeng?" tanya Jenar panik. "Ajeng?"

Ajeng yang menutup muka dengan kedua tangan lalu menunjuk makhluk tinggi besar berbulu yang jongkok di pojok. Wajah Ajeng yang sangat ketakutan tampak pucat.

Kedua orang tua itu mencoba menenangkan, karena mereka tidak melihat apapun di tempat yang ditunjuk putrinya. "Ada apa, Jeng?" tanya mereka keheranan. "Apa yang kamu lihat?"

Ajeng hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tetap menangis. Ia menutup mukanya dengan kedua telapak tangan.

Ada pohon besar di kebun belakang rumah yang memang terkenal angker. Namun, selama ini tidak pernah ada gangguan kepada anggota keluarga mereka. Mungkin hanya suara-suara seperti anak-anak berlari-larian saja. Setiaji berusaha menenangkannya dan menggiringnya pindah ke ruang tengah.

Makhluk itu kini merasuki tubuh Ajeng. Ajeng mengerang, kemudian tertawa cekikikan. "Pokoknya aku mau menikah sama Cak Topo!" ujar Ajeng di sela seringai aneh.

Jenar panik dan mengambil air minum sembari membacakan mantra, kemudian berusaha meminumkan air itu, tapi air yang diminum Ajeng itu kemudian disemburkan ke muka Jenar.

Ki Setiaji berteriak, "Pergi dari rumah ini, jangan ganggu keluargaku!" Namun, makhluk dalam tubuh putrinya itu malah tertawa nyaring. Membuat siapa pun yang mendengar merasa merinding.

Guk Subur, tukang kusir yang mendengar itu segera mendatangi rumah Ki Lurah.

"Guk, tolong siapkan kereta!" pinta Ki Setiaji, "Cepat! Kita bawa Ajeng ke Cak Japa!"

Guk Subur yang segera menyadari apa yang terjadi, tanpa banyak bertanya langsung menyiapkan kereta kuda dan bersama mereka segera memacu menuju rumah Cak Japa.

Justru setelah mereka tiba di rumah Cak Japa, Ajeng malah tertawa nyaring seolah menertawai keputusan Setiaji.

Cak Japa mempersilakan mereka masuk. "Tenang saja, dia cuma berusaha menjatuhkan mental kita!" ujarnya dengan sikap tenang. Ia kemudian berdoa di samping Ajeng sambil menggerakan tangannya mengerahkan tenaga dalam.

Tubuh Ajeng mengejang sampai akhirnya berteriak minta ampun sejadi-jadinya. "Ampuunnn...! panaaasss...!"

"Siapa yang menyuruhmu?"

"Ampuuun..!"

"Katakan atau kau akan mati!"

"Topo Surantanu!"

"Kamu jin asuhan Mbah Myang Mimbe bukan?"

"Iya, tapi atas perintah Topo!"

Hanya butuh sekitar setengah menit makhluk itu akhirnya keluar. Ajeng kembali sadar dengan wajah kelelahan dan air matanya mengalir.

Meski begitu, Cak Japa mengatakan bahwa makhluk tersebut masih mengawasi Ajeng dari luar rumah. "Untuk sementara biar malam ini Jeng Jenar dan Ajeng menginap saja di rumah saya!"

Ki Setiaji dan Jenar menganggukkan kepala setuju. Setelah itu Ki Setiaji menaiki kuda mencari Topo di kediaman Ki Demang. Beberapa penjaga yang sudah mengenal Ki Setiaji, menghadang di pintu gerbang dan menanyakan maksud kedatangannya. "Kok malam-malam ada keperluan apa Ki Lurah?"

"Tolong panggilkan Topo, suruh keluar, aku mau bicara sama dia!"

Karena tampaknya ada hal yang sangat penting, maka penjaga pun memanggil Guru Besar Padepokan itu. Tidak lama kemudian penjaga tadi muncul bersama Topo yang berjalan dengan sedikit tergesa-gesa.

"Mari masuk Ki Lurah," kata Topo berusaha tampak ramah, "Ada yang bisa saya bantu?"

"Ya!" jawab Ki Setiaji geram, "Aku minta jangan ganggu anakku lagi!"

Topo memberi isyarat kepada para penjaga agar meninggalkan mereka berdua, setelah mereka menjauh ia berkata mengancam, "Apa karena aku mencintai anakmu lantas kamu pikir aku tidak berani menyingkirkanmu?" Topo menatap dengan sorot pandangan mata tajam.

"Manusia terkutuk! Kurang ajar!" Selesai mengatakan itu Ki Setiaji langsung mengirim pukulan keras. Meleset. Kini ia mengirim tendangan. Meleset lagi.

Untuk kesekian kali ia menendang. Malang sekali, Topo menangkap kakinya dan sekali memutar sambil mendorong, tubuh Setiaji terpelanting ke belakang dan membentur tanah dengan suara keras. Namun dia berusaha bangkit kembali tapi sebelum dapat memperbaiki kedudukannya, Topo menyerbu dengan sodokan yang membuat lelaki setengah baya itu untuk kedua kalinya jatuh tersungkur, terguling-guling sampai lima meter jauhnya. Ia mencoba bangun tapi tamparan keras dua kali mendarat di pipinya dan membuat bibirnya berdarah. Kepalanya pening dan pandangannya nanar, sehingga ia terhuyung-huyung hendak roboh.

"Aku tidak akan segan-segan membunuh siapapun yang menghalangi niatku!" ancam Topo dengan tegas. "Camkan itu!"

Dengan sempoyongan Ki Setiaji menghampiri kudanya dan pergi dari situ. Ia merasa sangat terhina, rasa yang lebih menyakitkan ketimbang sakit di sekujur tubuhnya.

Topo tersenyum puas, sambil mengamati kuda Setiaji yang berlari menjauh. Ia kemudian berpikir untuk memelet istri Ki Setiaji, agar Jenar tidak bersikap seperti suaminya. 'Menarik sekali,' pikirnya. Ia tertawa membayangkan ibu Ajeng yang masih kelihatan mudah dan cantik itu juga akan tergila-gila kepadanya. Pikiran liarnya kemudian merembet ke Arum, istri Tulus. 'Jika Tulus memelet Ajeng, aku juga bisa memelet Arum! Hm..biar imbang!'

Setiaji menemui istri dan putrinya di rumah Cak Japa, dan kemudian menceritakan kejadian yang baru dialaminya kepada mereka. Ia menyesal karena selama ini benci ilmu silat, karena menurutnya silat itu hanya untuk orang-orang yang suka berkelahi dan suka menyakti orang lain. Ia belajar silat sekedar sebagai olah raga untuk menjaga kebugaran tubuh.

"Aku berharap kejadian seperti ini akan membuka kedua mata kita," kata Cak Japa, "Bahwa ilmu silat itu bukan tidak perlu sama sekali seperti yang selama ini Ki Setiaji kira. Coba jika Ki Setiaji dulu tidak membenci ilmu silat, pasti kini mampu membela diri dan membela keluarga, dan tidak akan mudah dipermainkan orang!"

"Menurut saya, dengan memiliki ilmu silat, orang akan memiliki potensi besar untuk menjadi pembunuh!" jawabnya lirih sambil meringis menahan perih di bibirnya.

"Untuk menjadi pembunuh tidak harus menguasai ilmu silat, Ki. Cukup memiliki hati yang jahat. Dengan memfitnah misalnya. Bukankah fitnah lebih kejam daripada pembunuhan?" Semua yang ada di ruang tamu itu tampak mengangguk-angguk sepakat.

Cak Woto Si Pendekar Kaki Malaikat, yang selama ini bekerja di peternakan sapi Cak Japa, ikut prihatin mendengar cerita keluarga Ki Lurah Setiaji. "Nabi Muhammad juga memerintahkan kita untuk belajar ilmu beladiri dan perang!" timpalnya.

"Benar!" sambung Cak Japa, "Membunuh orang itu tidak selalu jahat. Membunuh karena nafsu amarah, itu bodoh. Membunuh karena ingin memperlihatkan kekuasaan dan kekuatan, itu kejam. Tapi membunuh untuk bertahan hidup, itu lain lagi. Dan membunuh untuk membela diri atau demi menumpas kebatilan itu justru suatu kebaikan!"

"Bagaimana kalau dukunnya saja yang  aku bunuh, Cak?" tanya Cak Woto. "Mbah Myang Mimbe itu pasti sudah membuat banyak keluarga menderita!"

"Iya setuju!" sahut Ki Setiaji, "Aku juga ingin sekali membunuh dukun keparat itu?"

"Apa Ki Setiaji yakin akan mampu membunuhnya?" sindir Cak Japa. "Bagaimana kalau ternyata dukun itu sangat sakti?"

"Saya siap membantu Ki Lurah untuk memberi hukuman kepada dukun itu!" timpal Cak Woto.

Ki Setiaji yang tadi tertunduk lesu kembali semangat. Ia berdiri dan mengajak dengan sikap tidak sabar, "Ayo sekarang kita datangi dukun keparat itu, Cak Woto!"

Setelah mempertimbangkan dengan masak, maka berangkatlah kedua orang itu menuju kediaman Mbah Myang Mimbe yang sangat terkenal sebagai Si Raja Pelet.

"Kita mampir rumah dulu, Cak Woto!" kata Ki Setiaji, "Aku mau ambil keris pusaka!"

Sesampai di rumah, Ki Setiaji cepat meloncat turun dari kuda dan masuk ke dalam rumah. Ia kemudian keluar dengan sebilah keris di tangan dan kemudian diselipkan di balik punggungnya. Ia lalu menyodorkan sekantung uang kepada Cak Woto.

"Apa ini, Ki?"

"Terimalah, Cak. Anggap saja ini hadiah, sebagai ungkapan rasa terima kasih saya atas bantuan Cak Woto!"

"Tapi saya membantu dengan ikhlas, Ki!"

"Saya juga ikhlas, Cak!" kata Ki Setiaji dengan memaksa kantong itu tetap berada di tangan Cak Woto.

"Baik, terima kasih banyak, Ki!" Cak Woto lalu mengikatkan kantong berisi uang itu ke ikat pinggangnya.

***

"Itu malam terakhir aku bertemu dengan mereka!" pungkas Cak Japa mengakhiri cerita dukanya.

"Aku pasti akan mencari pembunuh saudara seperguruan kita. Apakah Topo yang membunuh mereka, Cak?"

"Kemungkinan besar iya. Sebab selama ini Cak Woto tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun. Begitu juga Ki Setiaji. Mereka malam itu hendak memberi hukuman kepada dukun pelet itu. Tetapi dukun itu juga tewas."

"Dugaanku hanya ke satu orang, yaitu Topo!"

"Kita belum punya cukup bukti. Tapi yang jelas, pembunuh Cak Woto itu pasti bukan orang sembarangan, ia memiliki ilmu yang lumayan tinggi! Aku dengar Topo Surantanu menguasai ajian Rawerontek yang sangat langka, jadi hanya dia satu-satunya manusia yang mampu membunuh Cak Woto! Tentu saja selain Mbah Kucing!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun