Mohon tunggu...
Tony
Tony Mohon Tunggu... Administrasi - Asal dari desa Wangon

Seneng dengerin musik seperti Slip Away dari Shakatak.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Parantapa Murka (Bagian 3)

6 September 2021   12:54 Diperbarui: 6 September 2021   13:00 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

BAGIAN 3 : TITIK TERANG

Ramos memasang kembali kaki palsunya. Badannya yang masih basah terlihat sedikit berwarna abu-abu, tetapi tidak tampak sama sekali bahwa dirinya sedang mengalami gejala hipotermia. Kondisi yang luar biasa mengingat usia Ramos yang sudah tua mampu berenang sampai ke Nusa Kambangan. Sambil mengeringkan badan, Ramos sesekali melirik ke Rina yang berdiri memandang dirinya sambil bertolak pinggang. Wajahnya terlihat ketus, kepalanya seakan mau meledak menahan emosi.

"Ada yang aneh disekujur tubuhku?" Tanya Ramos.

"Bukan aneh, tapi sangat keterlaluan!" Jawab Rina.

"Apanya?"

"Kelakuan Anda!"

"Sejak kapan orang berenang menjadi sangat keterlaluan?"

"Anda bisa saja ditembak mati ditengah laut, sebab mirip sekali seorang napi yang berusaha lolos dari penjara."

"Lalu kenapa tidak ada yang menembak saat aku sedang berenang?"

Rina terdiam beberapa saat. Dia tahu bahwa hampir tak seorangpun yang mampu berenang ke Nusa Kambangan mengingat arus ombaknya yang besar, kedalaman air yang cukup ekstrim di sekitar pantai dan setiap saat bisa saja tiba-tiba muncul binatang buaya.

"Harap kembali ke hotel secepatnya. Ada briefing sebentar lagi dari Pak Untung." Kata Rina sambil hendak berlalu.

"Tunggu sebentar," cegah Ramos, "Beritahu saja kepada Untung, di dalam laut tadi saat berenang aku melihat batu yang cukup besar jatuh menimpa batu yang ada di bawahnya."

"Lalu?"

"Tumbukan batu di dalam air tadi menimbulkan efek suara. Hubungi Untung untuk secepatnya mencari perwira dari bagian sandi. Aku jadi teringat dengan suara yang terdengar di akhir rekaman milik Wahono."

"Aku belum jelas."

"Brilian sekali dia," kata Ramos sambil meregangkan kedua tangannya hingga terdengar suara kertakan tulang dari punggungnya, "Saat sekarat sekalipun Wahono masih mampu mengirim pesan kepada kita."     

Bobby keluar dari lift apartemennya. Seorang wanita muda yang bertugas jaga di lobi berdiri saat melihat Bobby hendak keluar melewatinya. Dadanya yang hampir rata buru-buru dibusungkan. Sambil tersenyum genit, dikedipkan salah satu matanya saat Bobby memandang dia. Usahanya sia-sia belaka, Bobby sama sekali tidak merespon sampai keluar dari lobi apartemen.

Tampan, kaya dan posturnya yang ideal membuat Bobby menjadi perhatian khusus kaum hawa. Saat masih remaja Bobby dikenal sebagai anak nakal dan bengal. Orangtua dan saudara-saudaranya sudah pasrah dan menyerah karena hampir setiap hari Bobby membuat masalah yang sangat serius. Akhirnya Bobby remaja diusir oleh orangtuanya dan pergi dari Medan tanpa bekal apapun.

Kebiasaannya bergaul dengan preman pasar saat masih di kampung halaman, membuat Bobby cepat beradaptasi di belantara Jakarta. Hidup di dunia hitam yang penuh kecurangan lambat laun mendidik Bobby menjadi seseorang yang "cerdik". Tetapi Bobby teledor dengan satu hal yang mutlak dalam bisnis kotor: semakin tinggi menduduki semakin banyak yang ingin menggulingkan. Bobby dijebak masuk penjara karena membunuh mitra bisnisnya. Meskipun tahu pelaku yang sebenarnya, Bobby akhirnya menanggung perbuatan yang sama sekali tidak dia lakukan. Kasus tersebut lalu dikenal dengan nama "Mutilasi di Cikini", karena lokasi kejadian memang ada di daerah Cikini.

Sekeluarnya dari penjara Bobby memulai hidupnya dari nol kembali. Sampai pada suatu hari bertemu seseorang yang menawarkan pekerjaan. Bobby akhirnya dapat pekerjaan sebagai salesman cat tembok. Berkeliling di daerah pinggiran Jakarta dengan sepeda motor dan keluar masuk toko-toko bahan bangunan ditekuni cukup lama.

Suatu hari Bobby merasa keberuntungan berpihak pada dia. Seorang wanita cantik anak semata wayang pemilik salah satu toko pelanggannya, jatuh cinta pada Bobby. Wanita pebisnis yang ulet. Usaha awalnya dari menjual bermacam pakaian jadi secara door to door, hingga akhirnya mampu memiliki gerai di mal-mal terkemuka di Indonesia. Mereka akhirnya menikah secara besar-besaran. Dalam waktu singkat Bobby mendapat segala apa yang dia harapkan. Beberapa toko milik mertuanya dilimpahkan ke dia serta butik-butik milik isterinya juga berada di bawah kendalinya. Bobby bertindak di luar kontrol terhadap keluarga barunya.

Merasa dirinya salah memilih pasangan hidup, seperti pernyataannya yang tertuang di selembar kertas yang hanya diketahui oleh Bobby dan tidak pernah dipublikasikan, isteri Bobby bunuh diri dengan minum racun serangga.  Di depan publik, Bobby mengklarifikasi kematian isterinya sebagai perasaan putus asa dan malu karena mandul.

Setelah mendapat posisi puncak di bisnis travel udara dari hasil pergaulannya dengan para jet-set Metropolitan, bisnis hasil jerih payah mertua dan isteri akhirnya menjadi sampingan belaka. Seperti yang dilakukan siang itu, Bobby selalu memilih kursi paling ujung dekat jendela di sebuah kafe yang berada di depan apartemennya.    Laporan-laporan dari bisnis keluarganya hanya diperiksa sekedarnya lewat telepon genggam, Bobby lebih tertarik dengan bisnis yang sedang digelutinya yang menurut dia lebih menantang.

Surat elektronik muncul di layar notebooknya. Foto profil pengirim dengan gambar tengkorak berwarna merah tampak di layar dan menulis ungkapan yang sangat bersahabat. Bobby langsung membalas e-mail yang ditunggu itu. Tak lama kemudian muncul sebuah foto. Bobby dengan cukup lama memperhatikan foto yang di kirim, lalu membalas dengan menulis "DEAL!".

Suara gerimis di luar kafe mulai terdengar. Bobby memandang kembali foto itu sekali lagi, foto yang menunjukan senjata laras panjang dalam jumlah ratusan ditumpuk berjejer dengan rapi. Beberapa pria bertubuh tegap dengan mengenakan sarung wajah yang hanya tampak kedua mata dan mulut sambil menyandang senjata terlihat juga di foto tersebut. Setelah menghabiskan secangkir kopi, Bobby beranjak keluar dengan menenteng notebooknya yang berwarna kuning. 

Lusi keluar dari kamar mandi dengan setengah tergesa. Tubuhnya yang masih berbalut handuk buru-buru menuju ke dapur. Disiapkannya beberapa helai roti beserta olesannya, menuang susu murni segelas penuh lalu dibawanya ke ruang tengah dengan sebuah nampan.

Rumahnya yang besar sengaja tidak dipenuhi dengan barang-barang. Hanya beberapa yang perlu saja seperti sofa dan meja untuk tamu serta beberapa kursi malas yang sengaja diletakkan di depan tungku perapian. Bahkan sebuah unit televisi tidak terlihat di rumah itu.

Dekat sebuah jendela yang besar, suami Lusi yang berusia lebih tua dua puluh tahun itu tampak sibuk di meja yang di atasnya penuh dengan peralatan seorang arsitek.

"Honey, kamu harus sarapan dulu." Kata Lusi sambil meletakan nampan yang dibawanya.

"Hey!" Suaminya kelihatan setengah terkejut, "Lihat dirimu, kamu benar-benar kelihatan cantik sekali hari ini."

"Setiap hari kamu mengatakan itu, honey."                                                                                        

"Hari ini benar-benar lain. Wajahmu cerah sekali, cantik luar biasa."

"Aku harus segera berangkat kerja."

"Apa agendanya hari ini?"

"Huh!" Lusi membuang napas sambil mengambil kursi lalu duduk di sebelah suaminya, "Mereka akan membahas lagi tentang kepemilikan tanah di Jakarta yang tumpang tindih. Rapat itu aku harus mengurus segalanya seperti biasa."

"Istirahat saja mulai sekarang," suaminya sedikit menghibur, "Toh aku sanggup membiayai kamu. Apakah perlu aku yang membuat surat pengunduran dirimu?"

"Jangan dulu, aku masih menikmati pekerjaanku. Kamu sungguh baik sekali, honey."

"Kita ke Swiss bulan depan?"

"Orang-orang DPR akan sering mengadakan rapat, aku tidak mungkin jauh-jauh dari Kompleks Parlemen."

"Oke terserah kamu," kata suaminya sambil menikmati sarapannya, "Aku benar-benar laki-laki paling beruntung, memiliki isteri cantik, baik dan setia seperti kamu."

"Aku berangkat ke kantor sekarang." Lusi tersenyum lalu mencium pipi suaminya.

Mobilnya mulai keluar dari garasi. Dari dalam mobil, Lusi melihat suaminya melambaikan tangan. Lusi membalas lambaian suaminya. Tidak seperti biasa, rute ke kantor yang seharusnya dilalui adalah jalan sebelah kanan, tetapi kali ini Lusi mengambil jalan yang lurus. Melaju terus hingga ke dataran yang lebih tinggi hingga memakan waktu sekitar dua jam perjalanan. Sampai akhirnya berhenti di depan sebuah rumah mewah di daerah sejuk Puncak yang bertuliskan Vila 15307, angka yang apabila dibalik akan terbaca sebuah nama dengan ejaan lama: LOESI.

Mobil milik Lusi diparkir bersebelahan dengan mobil sedan warna kombinasi ungu tua dan ungu muda yang di desain khusus oleh seorang wanita asal Korea. Seakan sudah tidak sabar, Lusi berlari memasuki vila tersebut. Sadar dengan adanya seseorang yang sudah menunggu di dalam kamar, Lusi segera menanggalkan semua pakaiannya hingga tubuhnya telanjang bulat. Sebelum masuk ke kamar diletakannya kunci mobil di atas sebuah notebook berwarna kuning, lalu ditutupnya pintu kamar rapat-rapat.

                                                                               

Setelah teori sandi dari Wahono sudah dilaporkan kepada Untung, Ramos dan Rina mencoba rileks sambil menunggu hasil laporan dengan berjalan kaki sampai ke pelosok kampung tidak jauh dari tempat mereka menginap. Sambil terus berjalan mulut Ramos terlihat komat-kamit, lalu kepalanya kadang mengangguk-angguk sendiri.

"Apakah memang sudah biasa seperti ini apabila Anda sedang berusaha memikirkan sesuatu Pak Ramos?" tanya Rina.

"Maksudmu?" Ramos memandang wajah Rina, lalu mereka berhenti berjalan.

"Ya seperti ini berjalan kaki dengan tujuan yang tidak jelas, seperti orang stress."

"Wah...wah...wah... Apakah aku tadi memaksamu untuk ikut?"

"Tidak!"

"So?" Ramos mendekatkan wajahnya ke wajah Rina, "Kamu balik saja ke hotel sekarang."

"Hey! Apakah Anda lupa? Aku diberi tugas oleh Pak Untung untuk menjaga Anda."

Ramos langsung tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban Rina. Perutnya terasa pegal dan kaku karena tertawa terus sampai dirinya harus mencari tempat duduk guna meredam perutnya yang serasa dikocok.

Tak jauh dari tempat itu, empat orang pria pengangguran bertubuh tegap keluar lalu mendekati Ramos dan Rina. Salah satu dari mereka badannya seperti raksasa. Laki-laki berwajah kasar dan berambut gondrong yang tubuhnya penuh dengan tato memandang wajah Ramos.

"Suaramu membuat dia menjadi ketakutan!" kata si Gondrong kepada Ramos.

"Siapa yang takut dengan suaraku?" tanya Ramos.

"Badeg!" Gondrong memanggil salah satu temannya dengan gerakan tangan.

Badeg, tubuhnya yang besar seperti raksasa itu, dengan gesit menangkap seekor ayam betina yang kebetulan sedang melintas. Berdiri disebelah Gondrong, tangan Badeg yang kekar membelai-belai leher ayam itu lalu tiba-tiba dengan sekali gerakan dipatahkannya leher binatang itu di depan Ramos.

"Kamu lihat sekarang," kata Gondrong, "Ayamku mati gara-gara ketakutan mendengar suara kamu!"

Badeg melempar ayam betina yang sudah mati itu ke arah Ramos.

"Baik, kami akan segera pergi dari sini," jawab Ramos, "Maafkan kami."

"Maaf?" Gondrong berbicara sambil mengelus perutnya sendiri, "Ayam mati itu harus kalian bayar dulu."

"Dan kalau kami tidak setuju?" Tanya Ramos lagi.

"Maka kamu akan pulang dengan satu kaki!" Jawab Gondrong.

Kali ini Rina yang tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban Gondrong. Gondrong dan teman-temannya sempat bingung melihat situasi ini. Ramos buru-buru menjelaskan, dilipatnya celana panjang yang dipakai keatas sehingga kaki palsu Ramos nampak terlihat jelas. Setelah memastikan bahwa mereka sudah melihat kaki palsunya, Ramos kembali merapikan celanannya. Tapi tiba-tiba Badeg memukul kepala Ramos hingga jatuh tersungkur.

"Tunggu dulu! Ini sudah sangat keterlaluan, kamu harus memohon ampun pada ayahku itu!" teriak Rina sambil menunjuk ke wajah Badeg.

"Dan kalau aku tidak setuju?" suara Badeg terdengar menggelegar.

"Hari ini kamu akan merasakan sakit yang luar biasa!" jawab Rina.

Mendengar ancaman seperti itu Badeg tertawa lebar dibarengi dengan tinjunya yang seperti godam di arahkan ke wajah Rina. Tetapi serangan itu sangat terlambat. Empat jari tangan kanan Rina yang lentik yang sudah ditekuk itu keburu menonjok solar plexus atau pusat jaringan saraf di ulu hati. Badeg terjerembab ke tanah, persis seperti pohon yang tercabut dari akarnya lalu tumbang. Kedua matanya mengeluarkan air, kakinya terlihat kejang dan kaku. Diam terlentang di atas tanah tak berdaya, Badeg sedang berusaha menahan rasa sakit yang luar biasa.

Gondrong sedikit tersentak melihat peristiwa itu, diperintahkanya kedua temannya untuk menyerang Rina. Terlihat seperti sedang menari balet daripada bertarung, tubuh Rina meliuk kesana kemari melumpuhkan lawan-lawannya dengan mudah hingga anak buah Gondrong lari tunggang langgang.

Giliran Gondrong yang masih berdiri bengong melihat Rina. Akhirnya Gondrong menyerang Rina dengan ragu-ragu. Tanpa segan-segan lagi Rina menendang kedua lutut kaki hingga posisi jatuh Gondrong seperti sedang bersujud di depan Rina. Dengan cepat dan kuat kedua tangan Rina menangkap kepala Gondrong, diseretnya sedikit ke depan kemudian dagu Gondrong dibenturkan ke tembok gapura berkali-kali. Untuk waktu yang cukup lama, dapat dipastikan Gondrong akan mengalami kesulitan dalam mengunyah saat makan karena rahangnya benar-benar hancur.

Ramos dengan bengong memandang Rina yang sedang merapikan baju dan celana training yang dipakainya. Dia teringat akan ucapan Untung pada suatu hari: "Suatu saat kamu akan tahu, kenapa sopir kamu yang cantik itu selalu mengenakan trainingspak."

   

Harapannya akhirnya terpenuhi. Karta seolah berada di surga. Ruangan yang di desain khusus oleh Hartono untuk dia persis seperti kamar operasi di rumah sakit mewah lengkap dengan peralatannya. Kamar bedah yang sempurna milik Karta.

Masa lalu Karta sesungguhnya suram. Tidak lama setelah menyelesaikan pendidikannya, Karta bergabung dengan militer saat awal invasi besar-besaran ke Timor Timur. Karta dan kelompoknya berada di garda paling depan Operasi Seroja. Hanya dia dari bagian medis yang bergabung dengan para intel. Karta tiba untuk pertama kali di tanah Timor sebagai mata-mata dengan pakaian kasual layaknya para turis yang kemudian dikenal oleh warga setempat dengan julukan The Blue Jean Soldiers. Tugasnya yang utama sebagai mata-mata dikesampingkan. Karta sibuk dengan hobinya yang gemar bereksperimen atas alat kelamin pemuda puber.

Karena kebanyakan masyarakat setempat yang masih terbelakang, mereka tidak tahu bahwa setiap kali ada penduduk yang sakit dan pertolongan yang diberikan oleh Karta selalu diakhiri dengan kebiri. Perbuatan yang gila ini akhirnya diketahui oleh seorang pemuda setempat yang lebih tua sedikit dari Karta. Karena perbuatannya yang di luar batas kewajaran, Karta akhirnya mendapat julukan kulik atau iblis oleh warga setempat. Sebelum operasi militer terancam gagal karena perbuatannya, Karta buru-buru "dipulangkan" lebih awal ke Jakarta.

Peristiwa itu menguntungkan Karta. Dia lalu terkenal sebagai dokter yang cukup terpandang di Jakarta. Tetapi operasi terakhir yang dilakukan Karta saat masih menyandang sebagai dokter bedah membuat fatal bagi dirinya. Pasien yang ditangani meninggal saat operasi karena salah bedah. Keluarga korban menuntut habis-habisan hingga akhirnya Karta dijatuhi hukuman penjara. Hanya Karta sendiri yang tahu bahwa ternyata tidak ada kesalahan pada operasi tersebut. Karta sengaja melakukan karena rasa ingin tahunya terhadap titik-titik di tubuh yang bisa digunakan untuk menyiksa seorang manusia. Meski taruhannya sangat berat tetapi Karta berhasil mendapatkan ilmunya.

Hartono datang mengunjungi Karta yang sedang sibuk merawat salah satu desertir yang sebagian wajahnya terbakar.

"Kapan pembalut itu lepas dari wajah Norman?" tanya Hartono.                                                              

"Sebentar lagi." jawab Karta singkat.

"Lalu kenapa mereka ada disini?" Hartono menunjuk lima orang desertir yang lain yang masing-masing terbaring di atas meja operasi.

"Aku sendiri masih ragu, tapi tidak ada salahnya untuk dicoba. Mendengar cerita tentang para kasim yang kekuatan fisiknya jadi bertambah, perwira-perwira itu akan aku coba kebiri." Karta menjawab dengan tersenyum.

Hartono sebetulnya kurang suka dengan melibatkan Karta. Terlalu sibuk dengan hobi gilanya. Sementara tugasnya sebagai akses untuk mendapatkan kokain dalam jumlah yang lebih besar tidak dilakukan oleh Karta sejauh ini. Hartono sebenarnya melihat Karta memiliki celah yang cukup lebar guna mendapatkan bubuk putih tersebut, terutama dari teman-teman Karta yang berprofesi sama sebagai dokter. Beberapa orang dokter yang dikenal oleh Karta ternyata bisa menyuplai barang haram itu dengan mudah. Untuk konsumen kelas menengah kebawah mereka para dokter dapat dengan leluasa meramu di rumah sakit tertentu dengan campuran obat-obat seperti amfetamine dan sedikit racun serangga. Bisnis yang menggiurkan bagi Hartono. Beberapa bidang usaha yang legal untuk menutupi bisnisnya yang ilegal sudah dipersiapkan sejak lama, seperti travel udara, mini market dan jual-beli besi tua. Bidang usaha yang nyata itu bisa mempertanggung jawabkan adanya penghasilan yang didapat.

Hartono sesungguhnya mengharapkan pamrih dari Karta sekeluarnya dari penjara. Tetapi sambutan Karta yang kurang antusias dirasakan oleh Hartono. Rencana menyingkirkan Karta akhirnya terlintas di benak Hartono.

         

Lusi sudah siap hendak kembali ke Jakarta. Bobby yang keluar dari kamar memeluknya dari belakang.

"Jangan lupa dengan pesananku." Pesan Bobby.              

"Aku berarti harus kembali lagi ke orang-orang intel." Jawab Lusi sambil merapikan rambutnya.

"Apa ada masalah dengan mereka?"

"Tidak juga, kadang aku kurang paham dengan bahasa mereka."              

"Kamu wanita yang cerdas, aku yakin kamu bisa meladeni mereka."

Setelah rambutnya benar-benar sudah rapi, Lusi berbalik menghadap Bobby, "Apa kamu sudah yakin sumber kita ada di Badan Intelijen Negara?"

"Si penjual mengatakan demikian." Jawab Bobby.

"Kenapa harus repot menggali informasi? Tentukan saja lokasi jual-belinya."

Bobby tersenyum sambil membelai rambut Lusi, "Aku ingin lokasi penyimpanan senjata itu. Tidak ada jual-beli. Aku akan mengambil barang-barang itu dengan paksa."   

Di depan hotel, Rina menemui Ramos yang sedang berada di warung kopi.

"Pak Untung mengirim sebuah gambar." Kata Rina sambil memperlihatkan telepon genggamnya yang menampilkan foto sebilah belati.

"Katar," Ramos serius memandang foto tersebut, "Belati itu berasal dari India."

"Tepat pak, sandi yang di kirim oleh Wahono berbunyi KATAR INDIA." Rina menjawab dengan ekspresi kagum ke Ramos.

"Kita kembali ke sarang penyamun," kata Ramos.

"Maksud Anda?" Rina bertanya dengan wajah yang bingung.

"Cetak foto belati itu," jawab Ramos sambil menghabiskan kopinya, "Kita akan bertemu lagi teman kita. Gondrong atau Badeg pasti kenal si pemilik belati."

---Bersambung---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun