Hartono datang mengunjungi Karta yang sedang sibuk merawat salah satu desertir yang sebagian wajahnya terbakar.
"Kapan pembalut itu lepas dari wajah Norman?" tanya Hartono. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
"Sebentar lagi." jawab Karta singkat.
"Lalu kenapa mereka ada disini?" Hartono menunjuk lima orang desertir yang lain yang masing-masing terbaring di atas meja operasi.
"Aku sendiri masih ragu, tapi tidak ada salahnya untuk dicoba. Mendengar cerita tentang para kasim yang kekuatan fisiknya jadi bertambah, perwira-perwira itu akan aku coba kebiri." Karta menjawab dengan tersenyum.
Hartono sebetulnya kurang suka dengan melibatkan Karta. Terlalu sibuk dengan hobi gilanya. Sementara tugasnya sebagai akses untuk mendapatkan kokain dalam jumlah yang lebih besar tidak dilakukan oleh Karta sejauh ini. Hartono sebenarnya melihat Karta memiliki celah yang cukup lebar guna mendapatkan bubuk putih tersebut, terutama dari teman-teman Karta yang berprofesi sama sebagai dokter. Beberapa orang dokter yang dikenal oleh Karta ternyata bisa menyuplai barang haram itu dengan mudah. Untuk konsumen kelas menengah kebawah mereka para dokter dapat dengan leluasa meramu di rumah sakit tertentu dengan campuran obat-obat seperti amfetamine dan sedikit racun serangga. Bisnis yang menggiurkan bagi Hartono. Beberapa bidang usaha yang legal untuk menutupi bisnisnya yang ilegal sudah dipersiapkan sejak lama, seperti travel udara, mini market dan jual-beli besi tua. Bidang usaha yang nyata itu bisa mempertanggung jawabkan adanya penghasilan yang didapat.
Hartono sesungguhnya mengharapkan pamrih dari Karta sekeluarnya dari penjara. Tetapi sambutan Karta yang kurang antusias dirasakan oleh Hartono. Rencana menyingkirkan Karta akhirnya terlintas di benak Hartono.
    Â
Lusi sudah siap hendak kembali ke Jakarta. Bobby yang keluar dari kamar memeluknya dari belakang.
"Jangan lupa dengan pesananku." Pesan Bobby. Â Â Â Â Â Â Â
"Aku berarti harus kembali lagi ke orang-orang intel." Jawab Lusi sambil merapikan rambutnya.