Mohon tunggu...
Tony
Tony Mohon Tunggu... Administrasi - Asal dari desa Wangon

Seneng dengerin musik seperti Slip Away dari Shakatak.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Parantapa Murka (Bagian 3)

6 September 2021   12:54 Diperbarui: 6 September 2021   13:00 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Setelah mendapat posisi puncak di bisnis travel udara dari hasil pergaulannya dengan para jet-set Metropolitan, bisnis hasil jerih payah mertua dan isteri akhirnya menjadi sampingan belaka. Seperti yang dilakukan siang itu, Bobby selalu memilih kursi paling ujung dekat jendela di sebuah kafe yang berada di depan apartemennya.    Laporan-laporan dari bisnis keluarganya hanya diperiksa sekedarnya lewat telepon genggam, Bobby lebih tertarik dengan bisnis yang sedang digelutinya yang menurut dia lebih menantang.

Surat elektronik muncul di layar notebooknya. Foto profil pengirim dengan gambar tengkorak berwarna merah tampak di layar dan menulis ungkapan yang sangat bersahabat. Bobby langsung membalas e-mail yang ditunggu itu. Tak lama kemudian muncul sebuah foto. Bobby dengan cukup lama memperhatikan foto yang di kirim, lalu membalas dengan menulis "DEAL!".

Suara gerimis di luar kafe mulai terdengar. Bobby memandang kembali foto itu sekali lagi, foto yang menunjukan senjata laras panjang dalam jumlah ratusan ditumpuk berjejer dengan rapi. Beberapa pria bertubuh tegap dengan mengenakan sarung wajah yang hanya tampak kedua mata dan mulut sambil menyandang senjata terlihat juga di foto tersebut. Setelah menghabiskan secangkir kopi, Bobby beranjak keluar dengan menenteng notebooknya yang berwarna kuning. 

Lusi keluar dari kamar mandi dengan setengah tergesa. Tubuhnya yang masih berbalut handuk buru-buru menuju ke dapur. Disiapkannya beberapa helai roti beserta olesannya, menuang susu murni segelas penuh lalu dibawanya ke ruang tengah dengan sebuah nampan.

Rumahnya yang besar sengaja tidak dipenuhi dengan barang-barang. Hanya beberapa yang perlu saja seperti sofa dan meja untuk tamu serta beberapa kursi malas yang sengaja diletakkan di depan tungku perapian. Bahkan sebuah unit televisi tidak terlihat di rumah itu.

Dekat sebuah jendela yang besar, suami Lusi yang berusia lebih tua dua puluh tahun itu tampak sibuk di meja yang di atasnya penuh dengan peralatan seorang arsitek.

"Honey, kamu harus sarapan dulu." Kata Lusi sambil meletakan nampan yang dibawanya.

"Hey!" Suaminya kelihatan setengah terkejut, "Lihat dirimu, kamu benar-benar kelihatan cantik sekali hari ini."

"Setiap hari kamu mengatakan itu, honey."                                                                                        

"Hari ini benar-benar lain. Wajahmu cerah sekali, cantik luar biasa."

"Aku harus segera berangkat kerja."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun