"HA? Hmmm..ngg... Sepertinya tidak bisa kapal saya membawa jenazah. Saya mohon maaf, ya!"
Begitu juga dengan pemilik kapal lainnya. Tidak ada yang bersedia menyeberangkan jenazah. Ada semacam pantangan bagi orang-orang di sekitar itu untuk membawa orang yang sudah meninggal dengan kapalnya. Kak Hengky pun harus memutar otak, bagaimana caranya bisa segera tiba di Pongok?
Setelah menelepon sana-sini, akhirnya ada kapal milik pemerintah yang bisa dipinjamkan. Namum bahan bakar untuk kapal VIP itu cukup mahal. Kak Hengky lagi-lagi menghadapi masalah karena tidak membawa uang yang cukup. Setelah pontang-panting mencari pinjaman, akhirnya rombongan dapat berlayar menuju Pulau Pongok, kampung halaman adik yang mereka sayangi.
Dari kejauhan, terlihat ratusan orang sudah berkumpul di Pelabuhan Pongok. Mulai dari anak kecil hingga orang tua. Entah apa yang ada di pikiran mereka saat itu. Yang terburuknya adalah rombongan pramuka menjadi sasaran amuk massa kala itu. Karena mungkin saja para warga itu mengira Viko wafat akibat aktivitas kepramukaan.
"Ya, Allah, jika memang aku harus mati hari ini juga, demi tugas dari-Mu ini, hamba ikhlas, Ya, Allah!" gumam Kak Hengky dalam hati. Sementara paman pelaku tabrakan terlihat pucat dan gemetaran melihat sambutan warga yang demikian masif.
"MANA YANG NAMANYA KAK HENGKY...? YANG SATU MANA ORANGNYA...?"
Seorang berbadan tinggi besar dengan kumis lebat meringsek dari kerumuman warga. Teriakannya memecah hening suasana pagi saat itu. Anak-anak pramuka langsung ciut dan keluar keringat dingin. Semua menahan nafas.
"SAYA KAK HENGKY! SAYALAH ORANGNYA!"
Suara Kak Hengky tak kalah menggelegar. Sudah kepalang basah pikirnya. Nyawa taruhannya waktu itu.
"Oh,, silakan, Kak! Ikuti saya! Saya adalah Sukri anggota DPD Pongok yang diminta Pak Kades untuk melindungi Kakak dan rombongan. Ayo ikut saya lewat jalan ini!"
Volume suara orang itu melembut. Seluruh rombongan bernafas lega. Tidak seburuk yang mereka bayangkan rupanya. Semua akhirnya turun dari kapal dengan selamat dan menuju ke rumah duka.