Aku Ikhlaskan
Telepon Kak Eddy berbunyi...
"Assalamualaikum, Kak Eddy!"
"Waalaikumsalam, Safei! Ada apa,ya?"
"Kami lagi jalan-jalan nih, Kak! Mumpung sedang liburan. He..he..hee... Saat ini kami sudah di Toboali, Kak. Bolehkah kami silahturahmi ke rumah Kakak?"
"Ha? Kami? Berapa orang emangnya kalian? Sudah ijin ke orang tua, belum?"
"Kami bertujuh nih, Kak. Sudah ijin juga ke orang tua. Boleh kami main ke sana, Kak?"
"Boleh, silakan! Tapi hati-hati di jalan, ya!"
"Siap, Kak! Terima kasih, Kak! Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam!"
Dan ketujuh sekawan dari Pulau Pongok itu pun berangkat menuju Desa Zed, Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Perjalanan selama kurang lebih 4 jam dengan jarak 148 KM dari Toboali mereka tempuh untuk bersilahturahmi dengan senior yang mereka banggakan. Ditambah dengan perjalanan sebelumnya dari Pongok ke Toboali, mereka sudah melakukan perjalanan darat dan laut lebih dari 250 KM.
Mereka disambut hangat oleh Kak Eddy.
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam! Ayo masuk! Ayo dicicip kuenya, tadi dibuatkan sama istri kakak!"
"Wahh, terima kasih, Kak!"
"Bagaimana perjalanannya tadi?"
"Seru, Kak! Apalagi si Viko baru pertama kali keluar jalan-jalan dari Pongok, Kak! Anak Mama sih.. Hahahaha.."
"Oh..yang mana yang namanya Viko?"
"Siap! Saya, Kak!"
Dia anak paling tampan dari ketujuh sekawan itu. Matanya indah, hidungnya mancung, rambutnya hitam sedikit ikal, dan postur tubuhnya yang gagah lagi tegap. Kulitnya pun tampak lebih cemerlang, sementara temannya yang lain berkulit kusam. Ibarat satunya sering mandi susu, yang lainnya mandi arang. Perilakunya sangat sopan dan sedikit malu-malu. Kabarnya dia anak cerdas karena selalu juara 1 dari masa sekolah dasar hingga saat ini sudah kelas 2 SMA. Dia anak yang dicintai keluarga dan teman-temannya. Pemuda yang memiliki pesona luar dan dalam. Sepertinya, lawan jenis akan mudah terkesima dengan penampilannya yang rupawan.
"Istirahat saja sebentar! Nanti malam kita ikut pawai obor ya! Ada perayaan Maulid Nabi di kampung ini."
"Asyikkkk...! Pasti seru banget tuh! Kami ikut, Kak!"
"Iya, sebentar lagi juga ada beberapa kakak akan ke sini untuk menghias mobil pawai."
"Wahhh... Pas sekali kami main ke sini! Kami bantu juga ya, Kak!"
"Boleh..! Tuh, mereka sudah datang!"
Anak-anak itu pun bergotong-royong menghias mobil sambil bersenda-gurau. Ada saja yang membuat mereka tertawa terbahak. Apalagi ada biang onar pembuat keributan, si Kak Reve. Ada-ada saja tingkahnya yang membuat gerombolan itu terpingkal-pingkal.
"Viko, katanya pintar main gitar, nyanyi dong! Itu ada gitarnya Kak Eddy!"
"Mana bisa!"
"Ayolah! Kami butuh hiburan, nih!"
Viko pun meraih gitar Kak Eddy yang disandarkan di pojok ruangan. Dipetiknya tipis-tipis untuk mengambil nada sebuah lagu. Viko cukup piawai memetik gitar. Beberapa saat kemudian...
"Bagai bintang di surga, dan seluruh warna, dan kasih yang setia, dan cahaya nyata...."
Lirik lagu Bintang di Surga karya Peterpan mengalun manis dengan suara merdunya Viko. Memang cukup bertalenta rupanya anak ganteng itu. Teman-temannya pun ikut bernyanyi bersama.
"Oh.. bintang di surga, berikan cerita, dan kasih yang setia, dan cahaya nyata..."
Siapa kira suasana yang demikian riuh penuh jenaka serta indah, sekejab saja berubah menjadi sebuah kepiluan. Lagu Bintang di Surga sore itu seolah menjadi sebuah pertanda bahwa Viko akan menuju ke Keabadian. Menuju Bintang di Surga.
Saat pulang dari masjid menunaikan ibadah magrib, Safei berjalan berdampingi dengan Dimas, sedangkan Viko berjalan sendiri di depan mereka. Tiba-tiba, punggung kanan Safei terbentur benda keras, dan...
"BRAKKKK...!"
"Ya, ALLAHH...! VIKOOOO....! Ya ALLAHHH...!"
"VIKOOOO...! Astagfirullah! Cepat panggil Kak Eddy! YA ALLAH... VIKO...!"
Sebuah kendaraan roda dua dengan kecepatan tinggi menabrak Viko dari belakang setelah sempat menyenggol Safei. Dimas berlari demikian kencang memanggil Kak Eddy yang sedang berada di rumah.
"KAK EDDY...! TOLONGGGG KAK...! VIKOOO.... Viko, Kak! Hu..hu..huu...!"
"Ada apa dengan Viko?"
"Viko ditabrak, Kak," suara Dimas bergetar.
Kak Eddy berlari tanpa alas kaki menuju tempat kejadian. Dilihatnya Viko berlumuran darah dipeluk Safei yang sudah pucat pasi dan menangis meraung-raung. Sekujur tubuhnya gemetaran. Teman-teman berhamburan dan berteriak histeris melihat tubuh Viko yang tidak bergerak.
"Astagfirullah, Nak! Ya Allah...! Cepat ambil kendaraan!"
Sebuah mobil warga yang melintas berhenti.
"Naikkan saja ke mobilku! Kita bawa ke rumah sakit."
Tubuh Viko dibopong ke dalam mobil bapak yang baik hati itu.
"Safei dan Dimas temenin Viko, ya! Kakak susul dengan mobil Kwarcab."
"Siap, Kak!"
"Adik-adik yang lain tidak perlu ikut! Cukup di rumah kakak saja dan bacakan doa untuk Viko!"
"Siap,Kak!"
Kak Eddy melajukan pick up nya dengan kecepatan tinggi menuju RS. Bakti Wara, di Pangkal Pinang. Bibirnya tak henti-hentinya membacakan ayat-ayat suci.
Sesampai di rumah sakit, Viko dilarikan ke IGD. Tangan Kak Eddy bergetar keras hingga sulit menekan tombol telepon genggamnya.
"Assalamualikum! Kak Hengky!"
"Waalaikumsalam! Ada apa, Kak Eddy? Mengapa begitu panik suaranya?"
"Anak kita, Si Viko dari Pongok, barusan ditabrak di dekat rumah saya. Bisakah Kak Hengky menyusul ke Pangkal Pinang?"
"Astagfirullah! Baik..baik.. saya segera berangkat!"
Kak Hengky pun bergegas menuju Pangkal Pinang dari Toboali. Hampir jam 10 malam, Kak Hengky tiba di rumah sakit dan suasana sudah penuh duka. Viko, si anak manis dan bersuara merdu dari Pongok itu, sudah menghembuskan nafas terakhir. Kak Eddy terlihat lemas tidak berdaya dengan mata sayu. Â Safei menangis hingga tiada suara lagi. Dia meringkuk dalam di sudut ruang tunggu. OH, Tuhan... mengapa ini harus terjadi?
"Kita harus membawa pulang jenazahnya ke Pongok, Kak! Teman-temannya juga harus kita pulangkan. Aku sudah tidak sanggup lagi berkendaraan."
Suara Kak Eddy begitu pelan, bergetar menahan tangis.
"Baiklah, aku akan mencari bantuan. Minumlah dulu!"
Kak Hengky menyodorkan sebotol air mineral. Kak Eddy hanya meneguknya sekali saja. Kak Hengky mencoba menghubungi seseorang dengan ponselnya.
"Assalamualaikum! Holidin, sudah tidur, ya?
"Waalaikumsalam, Kak! Iya, Kak, tadi sudah tidur. Ada apa, Kak?"
"Bisakah ke Pangkal Pinang sekarang?"
"Siap, Kak!"
Cuma satu kata "SIAP" yang terucap. Tanpa ada banyak bertanya dan basa-basi. Seorang Praja Muda Karana sejati!
Hanya dengan berkendaraan roda dua, Holidin melewati jalan berliku sejauh 100 Km lebih menuju Pangkal Pinang. Perjalanan selama dua jam lebih itu diterabas seorang diri menembus dinginnya malam yang gulita dan melewati banyak hutan yang masih lebat. Kondisi jalan Desa Fajar Indah, Kecamatan Pulau Besar, menuju ke Pangkal Pinang bukanlah jalan yang mulus, namun cukup bergelombang dengan lubang di mana-mana. Â Jalan yang sempit, rusak, dan tiada penerangan yang memadai, membuat laju motor butut Holidin tidak bisa kencang. Â Harus super hati-hati melewati ruas jalan yang penuh tantangan itu.
Sementara itu, Holidin masih tidak tahu apa tujuannya dipanggil oleh Kak Hengky demikian mendesak. Ia hanya tahu bahwa seorang pramuka WAJIB mendarmakan baktinya karena dalam darahnya mengalir deras Dasa Dharma.
Jarum jam dinding baru beranjak melewati jam 12 tengah malam. Holidin tiba di Pangkal Pinang. Sesuai arahan Kak Hengky, dia bergerak menuju Rumah Sakit Bakti Wara di jalan Sungai Selan.
"Kita harus membawa pulang jenazah saudara kita ke Pongok. Kamu bawa mobil pick up untuk mengangkut teman-temannya nanti. Kakak ikut mobil ambulance."
"Siap, Kak!"
Mereka mulai melaju pulang ke Toboali sejak pukul 2 dini hari. Jarak 125 Km ditempuh dalam keheningan, tiada senda gurau, tiada gelak tawa, dan tiada kata. Semua membayangkan apa kira-kira yang ingin disampaikan kepada kedua orang tua Viko nantinya. Dan, bagaimana perasaan mereka saat menyambut anaknya yang sudah tidak bisa mengucap salam. Membayangkannya saja sudah membuat air mata menetes di setiap pelupuk mata sahabat-sahabatnya itu.
Setibanya di Pelabuhan Sadai, suasana masih gelap. Permasalahan berikutnya pun mesti dihadapi.
"Selamat pagi, Pak! Bisa antar kami ke Pongok?"
"Oh, bisa. Berapa orang yang akan berangkat ?"
"Sekitar 18 orang, Pak. Dan seorang jenazah."
"HA? Hmmm..ngg... Sepertinya tidak bisa kapal saya membawa jenazah. Saya mohon maaf, ya!"
Begitu juga dengan pemilik kapal lainnya. Tidak ada yang bersedia menyeberangkan jenazah. Ada semacam pantangan bagi orang-orang di sekitar itu untuk membawa orang yang sudah meninggal dengan kapalnya. Kak Hengky pun harus memutar otak, bagaimana caranya bisa segera tiba di Pongok?
Setelah menelepon sana-sini, akhirnya ada kapal milik pemerintah yang bisa dipinjamkan. Namum bahan bakar untuk kapal VIP itu cukup mahal. Kak Hengky lagi-lagi menghadapi masalah karena tidak membawa uang yang cukup. Setelah pontang-panting mencari pinjaman, akhirnya rombongan dapat berlayar menuju Pulau Pongok, kampung halaman adik yang mereka sayangi.
Dari kejauhan, terlihat ratusan orang sudah berkumpul di Pelabuhan Pongok. Mulai dari anak kecil hingga orang tua. Entah apa yang ada di pikiran mereka saat itu. Yang terburuknya adalah rombongan pramuka menjadi sasaran amuk massa kala itu. Karena mungkin saja para warga itu mengira Viko wafat akibat aktivitas kepramukaan.
"Ya, Allah, jika memang aku harus mati hari ini juga, demi tugas dari-Mu ini, hamba ikhlas, Ya, Allah!" gumam Kak Hengky dalam hati. Sementara paman pelaku tabrakan terlihat pucat dan gemetaran melihat sambutan warga yang demikian masif.
"MANA YANG NAMANYA KAK HENGKY...? YANG SATU MANA ORANGNYA...?"
Seorang berbadan tinggi besar dengan kumis lebat meringsek dari kerumuman warga. Teriakannya memecah hening suasana pagi saat itu. Anak-anak pramuka langsung ciut dan keluar keringat dingin. Semua menahan nafas.
"SAYA KAK HENGKY! SAYALAH ORANGNYA!"
Suara Kak Hengky tak kalah menggelegar. Sudah kepalang basah pikirnya. Nyawa taruhannya waktu itu.
"Oh,, silakan, Kak! Ikuti saya! Saya adalah Sukri anggota DPD Pongok yang diminta Pak Kades untuk melindungi Kakak dan rombongan. Ayo ikut saya lewat jalan ini!"
Volume suara orang itu melembut. Seluruh rombongan bernafas lega. Tidak seburuk yang mereka bayangkan rupanya. Semua akhirnya turun dari kapal dengan selamat dan menuju ke rumah duka.
Suasana pilu di rumah duka sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Mama tersayang Viko menangis hingga tak tersisa airmata lagi. Matanya bengkak kemerahan, sayu tiada cahaya setitik pun. Siapa pun yang menatapnya, pasti ikut merasakan kehilangan yang begitu sakit oleh seorang ibu.
Begitu banyak kenangan bersama anak kesayangannya itu melintas silih berganti di benaknya. Puluhan tahun hidup bersama, mulai dari mengandungnya, melahirkannya, menyusuinya, merawatnya, hingga membesarkannya. Entah sudah berapa ribu kali menyuapinya makan, memandikannya, mengajarinya melangkah setapak demi setapak, sampai mampu berlari sambil memanggil namanya......
"Mama...Mama....aku ranking satu, Ma!"
Teriak Viko dari kejauhan sambil berlari kecil menuju ke rumahnya. Mama sudah menunggunya di teras sambil merajut.
"Ini rapor Viko, Ma! Viko juga dapat bingkisan dan piagam dari sekolah!"
"Wahhh...anak mama memang hebat! Ayo, kita makan dulu! Mama sudah masakkan sayur kesukaanmu!"
"Pasti lempah darat, ya, Ma?"
"Iya, dong! Tapi lempah darat kali ini sangat istimewa. Kamu pasti menyukainya!"
"Asyikkk.... Makasih Mama! Tapi Viko mau disuapin sama Mama!"
'Lahh...Viko kan sudah besar!"
"Biarinnn....! Anggap aja hadiah ranking satunya!"
"Iya, deh! Dasar anak manja!"
"Kan manjanya sama Mama sendiri! Hehehheee...!"
Masih terngiang betapa riang gembiranya Viko pulang sambil membawa pulang rapor ranking satunya.
Kini tiada lagi suara merdu itu. Tiada lagi yang menyapanya setiap pagi, siang, dan malam dengan begitu manja. Tiada lagi yang mengambilkan air untuknya mandi setiap hari. Tiada lagi yang memijatnya saat lelah seharian bekerja. Anak yang demikian disayanginya kini terbujur kaku di hadapannya. Bahkan memanggilnya "mama" untuk terakhir kali pun sudah tidak bisa. Sebuah perpisahan yang tak terperihkan.
Kak Hengky mencoba mendekati sang ibunda dan memberi salam penghormatan. Namun, sang ibu sudah tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Hanya diam menahan rasa perih yang tak terlukiskan oleh sembilu duka yang menghunjam terlalu dalam. Luka itu mengoyak hati dan jiwanya hingga tercabik-cabik. Tiada duka yang lebih pedih bagi seorang ibu dari duka kehilangan buah hatinya.
Suara yang terpendam dalam duka itu baru meledak saat jenazah akan diberangkatkan ke pemakanan.
"VIKOOOOOO...... Anakku...! VIKOOOOOO.....Anakkuuuu!! VIKOOOOOOOO.....!!"
Empat puluh hari kemudian.
Kak Eddy dan beberapa pengurus Kwarcab mendatangi rumah almarhum dan bertemu langsung dengan Sang Ibu.
"Ibu, kami mohon maaf tidak kuasa melindungi Viko. Dia meninggal sehabis sholat magrib di hari suci Nabi. Insya Allah, husnul khotimah!"
"Kak Eddy, terima kasih sudah ikut mendidik anak saya. Dia begitu bangganya menjadi seorang pramuka. Tuhan lebih sayang dengan dia. Wajahnya masih tersenyum manis saat jenazahnya tiba di rumah. Aku sudah ikhlaskan."
Viko pergi dengan ribuan doa yang mengiringi. Kepedihan yang ditinggalkan masih terasa sampai kini. Namun semangatnya sebagai seorang praja muda karana tetap selalu berkobar dan ditularkan di setiap pribadi insan pramuka hingga akhir nanti.
SELAMAT JALAN, VIKO! Kau bagai Bintang di Surga! Kami menyayangimu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H