Mohon tunggu...
Thomy Satria
Thomy Satria Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menulis cerpen, dan lagu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kemarau Cuan si Pawang Hujan

14 November 2024   17:41 Diperbarui: 16 November 2024   03:46 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Itu pakaian ayah sebelum meninggal. Masih kuparfumi dengan aroma black opium kesukaannya. Dengan menciumnya rinduku padanya terlega sirna. Sebenarnya berat hatiku memberikannya pada kalian. Makanya aku tidak mau mengirimkannya kesini.---Kenapa ibu tidak ikut saja bersamaku? Kita bisa tinggal bersama di desa kelahiran ayah lagi seperti dulu? Aku juga sudah memperbaiki rumah kita sehingga ibu tidak perlu khawatir dengan atap bocor lagi setiap hujan turun.”

“Ibu ingin kamu menetap disini, Nak. Mondok disini. Itu permintaan Ayahmu sejak dulu. Agar kamu mondok. Tapi kamu selalu menolaknya.”

“Dulu aku menolak karena aku masih egois, Bu. Sekarang aku telah lebih dewasa. Dua tahun hidup sendiri tanpa Ayah, Ibu dan Hasan. Membuatku lebih sering merenung dan introspeksi diri. Permintaan Ibu takkan kutolak lagi. Tapi setelah selesai mondok nanti, pertimbangkanlah, Bu. Aku ingin kita kembali menetap di rumah Ayah, di Desa Sukorendem.”

“Benarkah, kamu bersedia mondok disini, Nak?” tanya Ibu sekali lagi memastikan kebersediaanku.

“Iya bu, usiaku sudah 25 tahun tanpa pernah menekuni ilmu agama. Aku juga ingin menikah dalam keadaan siap secara keilmuan dan kematangan jiwa.”

“Kamu tau, Ibu tak bisa menggambarkan betapa senangnya perasaan Ibu saat ini. Apakah kamu sudah punya calon, Nak?”

“Belum, Bu.”

“Ah, kita pikirkan nanti saja hal itu, Bu. Yang penting Mas Suk mondok dulu. Masalah kembali ke Desa Sukorendem, bukankah sudah kita rencanakan juga sejak dulu? Biar lebih dekat berziarah ke kuburan Ayah.” sela Hasan menjelaskan.

Sebagai seorang janda, tinggal di rumah almarhum suami membuat Aminah gak enakan dengan keluarga besar suaminya. Walaupun pihak keluarga Tumijan tidak mempermasalahkan. Tapi Aminah juga butuh waktu untuk mengobati kesedihan dan duka citanya. Sehingga saat itu Aminah memutuskan kembali bersama Hasan ke Temboro, desa kelahirannya.

Hari kepergian Ibu meninggalkan Sukirman sendiri di desa Sukorendem, kala itu juga di iringi hujan. Sekali lagi hujan membekaskan memori penting dalam kehidupan Sukirman untuk dikenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun