Mohon tunggu...
Thomy Satria
Thomy Satria Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menulis cerpen, dan lagu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kemarau Cuan si Pawang Hujan

14 November 2024   17:41 Diperbarui: 16 November 2024   03:46 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya, lauh mahfuzh di kepala ayahku seperti pohon algoritma sebab akibat yang sudah ditulis Tuhan sebelum penciptaan segalanya. Singkatnya, sudah ada skenario semesta jika Iblis patuh sujud kepada Adam. Sudah ada skenario semesta jika Adam taat menjauh dari Buah Khuldi. Tapi skenario yang berjalan adalah pilihan dari makhluk-makhluk Tuhan yang dianugerahi kehendak bebas dalam memilih. Begitu juga dengan cuaca. Kemana awan bergerak, akibat angin yang patuh pada perubahan suhu dan kelembaban udara. Hal itu juga tertulis di lauh mahfuzh.

Ada hamba yang terkenal di langit, tapi asing di bumi. Semua malaikat mengira manusia itu akan memilih jalan yang buruk mengingat nafsu yang terpasang didalam dirinya. Ternyata manusia itu memilih taat. Dengan bangga Tuhan menyebut namanya di hadapan malaikat. Namanya pun terkenal di langit. Walaupun di bumi dia cuma petani biasa seperti ayahku ini.

Ayah tidak gila harta. Ayah gila bekerja. Lihat saja bagaimana dia masih mencangkul ketika hujan turun begitu derasnya. Bahkan kebahagiaan itu tak pernah membuatnya jatuh sakit. Mungkin benar, bahwa suasana hati yang senang, adalah obat. Makanya penyakit menjauh dari ayah. Walaupun kadang masuk angin juga, hanya dengan pijatan ibu semalam, sudah cukup untuk membuatnya bertenaga lagi esok pagi.

Ayah satu-satunya petani di desa yang tak pernah ketinggalan sholat berjamaah di masjid ataupun mushola. Dekat ladang ada mushola yang sering digunakan para petani untuk sembahyang. Ayah sudah jadi imam tetal disana. Di masjid juga sering ditunjuk sebagai khatib. Ayah juga langganan puasa senin kamis. Dalam hal bersedekah, Ayah bahkan tidak takut hartanya habis dan begitu yakin dengan rezekinya esok hari. Ayah paling mengerti bagaimana berprasangka baik kepada Dzat Yang Maha Memberi Rezeki.

Seperti yang telah diceritakan tadi. Ayah meninggal karena hujan. Lebih tepatnya karena petir yang menumpang bersamanya. Itulah yang kubenci dari hujan. Ketika halilintar yang dibawanya serta. Telah merenggut figur tauladanku sejak kecil. Tumijan bin Sarmidi. Namanya terukir di batu nisan yang kini ku kunjungi. Dia tidak mati konyol. Memang sudah takdir manusia mati sesuai kebiasaannya.

Kebiasaan ayah adalah tetap di ladang walaupun hujan turun dengan derasnya. Dia menikmati tiap tetesan hujan menghantam tubuhnya. Hingga dia lupa ada petir ikut bersama rintiknya. Awalnya petir itu menderu di puncak gunung. Dia malah tertawa senang berteriak semangat tanpa malu didengar orang. Karena suaranya sudah tenggelam oleh derasnya hujan dan gemuruh yang datang setelah kilat itu.

Tepat didepan mataku. Aku ikut tertawa melihatnya tertawa. Semangat Ayah menular kepadaku. Ku ambil cangkul untuk menyusul membantunya menata petakan tanah.

“JDERRR!!!” petir maut itu pun menghentikan kami seketika.

Aku jatuh pingsan. Entah petir itu juga mengenaiku atau hanya suaranya saja yang menghilangkan kesadaranku. Begitu sadar, aku sudah di rumah sakit dan mendengar kabar ayah telah meninggal. Kusaksikan mayatnya terbujur kaku gosong masih tersenyum seperti badut. Sekarang aku bersimpuh di samping pusaranya. Terisak meluahkan perasaanku yang haru bercampur duka.

“Ayah, Man datang bersama menantu Ayah. Namanya Fatimah. Sebentar lagi Ayah juga akan punya cucu, Yah. Man juga bersama Ibu dan Hasan. Kami semua merindukan Ayah. Tenanglah Ayah disana ya, Yah. Man sudah lulus tahfizh seperti keinginan Ayah dan Ibu. Ayah pasti bangga kan? Man lebih bangga lagi, Yah. Tak dapat Man lukiskan kebahagiaan ketika Man bisa memenuhi cita-cita Ayah atas diri Man.” isak tangisku semakin menjadi. Ibu mencoba menenangkanku dengan mengusap-usap punggungku.

“Man sudah jadi anak yang baik kan yah? Maafkan jika selama ini Man sudah mengecewakan Ayah. Menolak berkali-kali permintaan Ayah agar Man mondok ke Temboro. Walau Ayah tak pernah tampak kecewa. Ayah selalu mengalah menuruti semua mauku. Ya itu yang paling aku kagumi dari ayah. Dengan siapapun ayah jago mengalah. Ayah paham benar bagaimana caranya menang tanpa melukai siapapun. Terima kasih, Yah. Terima kasih telah menyayangiku dan keluargamu ini dengan ketulusan yang luar biasa. Man sayang Ayah.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun