Mohon tunggu...
Thomy Satria
Thomy Satria Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menulis cerpen, dan lagu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kemarau Cuan si Pawang Hujan

14 November 2024   17:41 Diperbarui: 16 November 2024   03:46 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Anakmu ini sejak kapan punya bakat jadi pawang hujan Mas? Makasih ya Le. Hajatan anakku berjalan lancar berkat bantuanmu. Hahaha.” puji Marwoto.

“Aku juga baru tau bakatnya belum lama ini, To. Berkali-kali dia bisa manggil dan ngusir hujan untuk ladangku. Makanya hasil panenku sekarang jadi lebih memuaskan! Hahaha!” sahut Tumijan memuji anaknya

“Kuasa Alloh, Pak Lek. Aku ini cuma perantara. Hehehe.” Jawab Sukirman sesuai template yang telah diajarkan Ayahnya.

Disinilah Marwoto yang semula menganggap Sukirman sebagai pemuda pengangguran; yang hanya membantu ayahnya bekerja di ladang; sekarang menjadi tertarik untuk memanfaatkannya untuk acara yang lebih besar.

Rumor Sukirman sebagai pawang hujan tersebar viral ke warga desa lainnya seperti sebuah promosi organik saja! Yang tersebar tanpa biaya pasang iklan. Mulailah setiap hajatan, jasa Sukirman diminta.

Disinilah Ayah mengusulkan Sukirman melakukan ritual pura-pura agar orang lebih percaya. Membakar kemenyan dan komat-kamit seolah merapal mantra. Personal brandingnya sebagai pengangguran berubah jadi pawang hujan yang disegani.

Sukirman pernah menerima lima bayaran dalam sehari ketika ada lima hajatan di desa, dan semua menyewa jasanya. Hujan memang tidak turun selama acara puncak hajatan. Hanya saja hujan turun sebelum maghrib. Di desa, hajatan harus selesai sebelum maghrib. Tidak boleh lagi ada bising suara musik hajatan di malam hari. Begitulah peraturan desa yang dibuat oleh Marwoto.

Kocaknya warga yang bikin hajatan malah mendapati para tamu jadi terbagi di kelima hajatan tadi. Sehingga bisa dibilang sepi. Kalaupun rame, itu cuma sebentar, terus tamunya pindah ke hajatan lain lagi.

Itulah kali pertamanya Sukirman gagal menghalau hujan, tapi kelima pemilik hajatan itu tetap membayarnya karena hujan hanya turun di penghujung acara.

Padahal Sukirman sudah memprediksi hujan tak bisa dihindari selama beberapa hari. Dia juga sudah berdalih kemampuannya menghalau hujan hilang karena dia sedang pilek.

Dia menolak bayaran sejak awal, tapi tetap menjalankan ritual karena keinginan pemilik hajatan yang kolot itu. Mereka terlalu percaya klenik dan tetap memesan jasanya sebagai kamuflase belaka. Biar para tamu mau datang karena percaya sama pawang hujannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun