Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kasus Bocah Tersesat (Detektif Kilesa)

5 Mei 2022   17:17 Diperbarui: 5 Mei 2022   17:19 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kasus bocah tersesat (Sumber: guideku.com)

KASUS BOCAH TERSESAT

Aku baru saja tiba di kantor polisi dan menaruh tas di atas meja kerjaku, ketika Mahmud datang menghampiri dengan gelas kopinya.

"Kau tahu, Kilesa, mungkin kau akan senang jika berkunjung ke divisi laporan sekarang."

"Ada apa, Mahmud?"

Mahmud hanya menaikkan alis, tanda aku harus mencari tahu sendiri.

"Andy bukan tipe orang yang senang diganggu, Mahmud." ujarku mencoba menolak secara halus.

"Pura - pura saja menyeduh kopi, seperti yang kulakukan barusan."

Aku hanya mendesah dan menuruti saran dari kolegaku itu. Mahmud adalah orang yang jarang salah. Instingnya biasanya tepat. Jadi, jika ia menyuruhku untuk turun ke divisi laporan, pasti ada sesuatu yang memicu perhatian.

Aku menuruni tangga menuju divisi laporan. Tempat itu terletak di basement. Aneh, memang, seharusnya tempat itu berada dekat di pintu masuk sehingga publik mudah mencarinya. Tapi, ya sudahlah.

Aku masuk dan mendapati ada tiga kolegaku yang berada di balik meja. Di hadapan mereka hanya seorang anak kecil, usianya kira - kira sepuluh tahun. Pakaiannya rombeng, hanya kaos oblong dan celana pendek. Aku berusaha untuk tidak memerhatikan mereka. Maka langkahku kutujukan pada mesin penggiling kopi. Menyampaikan salam sekilas kepada para polisi, aku mengambil gelas.

"Adik kecil manis, tolong jawab kami sekali lagi, dari mana kau berasal?"

"Orang tuaku yang menurunkan aku di sini, pak polisi, aku tidak tahu dari mana aku datang. Aku tidak hapal jalan."

Salah seorang polisi, Andy, menghela napas, "Katanya kau tadi yatim piatu, tidak punya orang tua?"

"Benar, pak polisi, aku tidak punya orang tua, aku yatim piatu."

"Jangan bermain - main dengan kami, nak, lalu siapa yang menurunkanmu di depan kantor polisi?"

"Mereka orang tuaku yang lain. Aku sudah bersama - sama mereka selama dua tahun."

Andy berbisik - bisik di belakang kepada Brotoseno, kolega yang lain, dan aku yakin yang ia katakan adalah bahwa anak ini sudah ditelantarkan oleh orang tua angkatnya. Sementara itu, Usep, polisi ketiga, berusaha ramah dan tersenyum.

"Sebelum kau tinggal bersama kedua orang tuamu yang sekarang, di mana kau tinggal?"

"Aku sudah lupa, pak polisi, aku tidak hapal tempat. Yang jelas aku dulu punya banyak teman. Salah satunya namanya Anita, tapi sudah lama aku tidak bertemu dengannya."

"Orang tuamu yang sekarang, apakah mereka tinggal di atas bukit atau dekat pantai?"

"Di dekat pantai, pak polisi. Tidak dekat - dekat amat namun menuju ke arah sana."

Jelaslah sudah kini bagiku. Anak ini ditelantarkan oleh kedua orang tua angkatnya. Di kota ini, kata "dekat pantai" berarti menunjukkan golongan ekonomi menengah ke bawah. Jadi mungkin orang tua angkatnya tidak mampu lagi menanggung biaya untuk membesarkan anak ini dan membawanya ke kantor polisi.

Aku menghela napas. Huh, Mahmud ada - ada saja. Kukira ada kasus apa. Ternyata hanya anak terlantar. Aku menyeruput kopiku dan berencana akan meninggalkan tempat itu ketika aku mendengar perkataan Andy.

"Tapi, aku tahu, bocah. Aku datang ke kantor ini pertama kali pagi tadi, dan aku tidak melihat adanya dua orang dewasa yang mengantarmu. Kau sudah berada di pintu gerbang kantor ini begitu buka. Apakah kau membohongi kami? Lagipula, ada peraturan bahwa orang tua angkat tidak seharusnya membawa anak mereka menuju kantor polisi, melainkan panti asuhan semula, atau setidaknya dinas sosial."

Aku menghentikan langkah tepat di pintu masuk. Anak itu tertunduk dan terlihat sedih. Hanya beberapa patah kata meluncur dari mulutnya, "Aku tidak tahu, pak polisi."

Para polisi saling memandang satu sama lain, bingung untuk melanjutkan pertanyaan. Namun beberapa patah kata berikutnya membuatku, dan aku yakin para kolegaku, merinding.

"Tapi, aku melihat banyak sekali darah."

Pelan - pelan, Brotoseno bertanya, "Di mana?"

"Di lantai rumah, di tingkat dua."

Andy menghela napas, "Sekali lagi kutanyakan, adik kecil manis, di manakah rumahmu?"

Pelan -pelan anak itu mengangkat kepalanya, dan menjawab, "Jika kuberitahukan, apakah pak polisi bisa menjamin bahwa aku akan selamat?"

Para polisi saling berpandangan, kali ini tatapan mereka serius satu sama lain. "Tentu saja, nak."

Anak itu lalu menjawab dengan sebuah nama jalan yang mengarah ke selatan. Benar saja, tempat itu mengarah ke daerah pantai. Dan tempat itu terletak dekat dengan sebuah panti asuhan yang cukup terkenal, juga setelah ditanyakan, panti asuhan itulah tempatnya berasal sebelum diadopsi. Ketiga polisi langsung mengambil tindakan secara cepat. Mereka menghubungi satuan, dan akan melakukan mobilisasi menuju lokasi. Ketika mereka akan berangkat, aku menyergah.

"Bolehkah aku ikut, sob? Sepertinya kasus ini akan menjadi menarik."

"Silakan, Kilesa, tapi aku belum terlalu yakin, bisa saja bocah ini membual." ujar Andy.

Aku hanya menanggapi dengan senyuman.

***

Kesatuan tiba di sebuah rumah biasa saja, berlantai dua, dan berdinding kayu. Pintu pekarangan terbuka, dan ketika kami mengintip ke dalam, keadaan gelap menyambut, sepertinya tidak ada orang. Si bocah memberikan tanda bahwa memang tidak ada siapa - siapa di dalam, sehingga kami pun membuka paksa pintu depan.

Penerangan dinyalakan, dan memang tidak ada siapa - siapa di sebuah ruangan tamu yang berdekatan dengan ruangan keluarga, namun sesuatu berwarna merah menetes dari atap kayu. Kami tahu apa itu. Dengan segera kami menuju lantai dua.

Seorang wanita tertelungkup tidak bernyawa dengan pisau menembus punggungnya. Mata yang terbelalak menandakan bahwa kematiannya tidak diharapkan. Mahmud yang kuajak ikut serta segera mengambil langkah - langkah forensik. Sementara itu kesatuan yang lain mulai bergerak ke berbagai macam sisi untuk mengumpulkan bukti atau mencari penghuni rumah. Dan sesuai dugaanku rumah itu tidak ada penghuninya. Kini, petunjuk besarnya berada di bocah tersesat itu, namun ia kupinta untuk berada di luar rumah, kalau - kalau ada sesuatu yang membahayakan.

Tim penyidik kembali dan membawa bukti yang sudah dikumpulkan. Minus Andy yang bersikeras menjaga si bocah di luar rumah, aku, Brotoseno, Usep, dan Mahmud berdiskusi. Hasilnya tidak bagus. Buktinya kurang.

"Orang ini bernama Valentina Sukma Mestika, tinggal hanya beberapa blok dari rumah ini. Perkiraan waktu kematiannya kemarin malam." papar Mahmud.

"Dan sepertinya ia tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga ini. Lihat ini, Kilesa."

Usep membawa sebuah foto keluarga kecil yang sebenarnya tidak perlu, karena aku sudah melihatnya di lantai satu tadi dalam ukuran yang lebih besar. Ada dua orang dewasa, pria dan wanita, bermain dengan seorang balita perempuan di halaman. Wanita dewasa itu bukan Valentina.

Aku mengernyitkan dahi. Bahkan bocah tersesat itu bukanlah anggota keluarga dari rumah kayu ini. Dengan segera aku meminta Mahmud untuk memanggil Andy dan sang bocah.

Sambil menunggu aku menghela napas. Kasus aneh apa lagi yang akan kutangani ini? Semuanya bermula dari ajakan Mahmud di pagi hari tadi. Berakhir di tetesan darah di atap. Aku iseng menatap ke atas, setengah berharap bahwa darah juga akan muncul di atap kedua. Alih - alih aku mendapat sepasang tatapan mata, mengintip dari balik - balik papan!

"Usep, Broto! Ada orang di atas sana!"

Kami pun segera mencari cara untuk naik ke atas. Ternyata di belakang tempat jemuran di teras luar, ada tangga tersembunyi menuju loteng. Ruang loteng itu pun sangat kecil, hanya muat untuk orang bertubuh mungil. Oleh karena itulah Brotoseno susah payah untuk menurunkan seseorang yang bersembunyi di sana.

Seorang anak perempuan muncul di hadapan kami. Tubuhnya mungil, mungkin masih balita, dan penampilannya kumal. Ia setengah menangis, namun berusaha untuk tetap kuat. Aku berjongkok dan tersenyum.

"Nak, siapakah namamu? Tenang saja, kami adalah polisi, tidak akan menyakitimu. Kamu sudah aman."

"Namaku Anita, pak polisi."

Kami terkejut setengah mati. Kejutan kedua adalah ketika wajahnya dibersihkan sedikit, ia adalah anak balita yang berada di dalam foto. Ia mengusap matanya.

"Di mana kedua orang tuamu, Anita?"

"Mereka sedang bertengkar, pak polisi, dengan paman dan bibi. Anita disuruh naik ke loteng oleh mama."

"Kapan mereka bertengkar?"

"Tadi malam. Anita ketakutan, mama berteriak dan papa menggebrak - gebrak pintu dan meja. Anita melihat dari sela - sela lantai papan. Mereka bertengkar hebat sekali."

Aku menghela napas melihat bahwa Anita sedang terguncang, namun pertanyaan ini penting untuk ditanyakan.

"Bagaimana pertengkaran itu berakhir? Apakah mereka saling berkelahi satu sama lain?"

"Anita tidak tahu, pak polisi. Mama berkali - kali melihat ke atas, mama tahu Anita sedang mengintip, ia menggeleng - geleng. Anita sayang mama. Akhirnya Anita hanya meringkuk di ujung tanpa melihat ke bawah. Apalagi beberapa saat kemudian Anita mendengar bunyi dor. Anita semakin takut dan tidak mau menengok ke bawah."

Tembakan? Kini Brotoseno ikut - ikut berjongkok.

"Tapi kamu tidak apa - apa sekarang 'kan? Apa Anita tertidur semalam?"

Anita mengangguk. Ia balik bertanya.

"Di mana ibu dan ayah? Apakah mereka bersama pak polisi?"

Aku mencoba untuk membawa Anita menuju jasad Valentina, namun Mahmud yang sudah kembali menahanku. Ia menggeleng.

"Tidak baik, Kilesa. Ia baru saja kena syok. Lebih baik itu menjadi urusan kita. Lagipula, sepertinya informasi yang kita perlukan darinya sudah usai, biarkan timku membawanya ke kantor polisi untuk ditenangkan dan diberi perawatan. Lebih baik kau di sini dan menerima kejutan ketiga."

Aku mengernyit mencerna ucapan Mahmud. Namun begitu ia dan anak itu lenyap dari pandangan, naiklah seorang kolega dengan tergesa - gesa. Napasnya yang tersengal - sengal menunjukkan sesuatu yang gawat baru terjadi.

"Kawan - kawan! Kawan - kawan, aku minta maaf. Bocah itu sudah hilang."

Kami terkejut. Andy kembali dengan wajah pucat dan terlihat seperti seorang yang menderita. Ia terduduk dan mengambil napas.

"Gerakan anak itu cepat sekali. Si bocah tersesat itu. Ia lari dari padaku. Aku berusaha mengejarnya hingga beberapa blok, namun tidak terkejar. Ia lenyap dari pandangan. Aku sekali lagi minta maaf, kawan - kawan, saksi utama kita sudah hilang."

Aku berusaha untuk tenang. "Tenang saja, Andy, toh kita tahu bahwa ia berasal dari panti asuhan di samping ini. Mereka pasti masih punya datanya."

Usep dan Brotoseno saling berpandangan. Aku mengernyit, "Jangan bilang kalian tidak tahu namanya?"

"Bukankah kau sendiri mendengarnya pagi tadi, Kilesa? Ia menjawab dengan berbelit - belit."

"Tidak difoto sama sekali? Sidik jari?"

Usep dan Brotoseno menggeleng bersamaan. Aku menghela napas. Aku sudah beberapa kali dikesalkan oleh partnerku Charles, namun untuk beberapa inkompetensi kolega demi kolega dalam satu urutan waktu, sepertinya Tuhan sedang menghukumku. Ya, apa boleh buat.

Aku mencoba melupakan dengan mendiskusikan beberapa bukti lain yang tersisa. Tidak banyak. Sebuah sepeda motor di garasi yang memiliki identitas STNK Valentina di kuncinya, sebuah surat tanah atas nama Valentina di atas meja, dan seekor kucing yang mengeong tiada henti di bingkai jendela. Aku beberapa kali harus mengusir kucing ini dari tempatnya.

Brotoseno memulai analisis, "Ini cukup aneh. Di seluruh rumah ini, hanya tiga identitas ini yang ditemukan. KTP Valentina di dompetnya, STNK di motornya, dan surat tanah di atas meja. Ketiganya terserak. Sementara identitas dua orang tua Anita, lenyap sama sekali bagaikan angin."

Usep menjawab, "Kita bisa mencari mereka lewat dpo, toh kita sudah memiliki identitas wajah."

"Kau benar."

"Kita masih belum tahu apakah Valentina merupakan bibi dari Anita. Untuk itu kita harus mencari tahu di data sosial di kantor." ujar Andy.

Aku mengangguk, "Selain itu, ingat ucapan bocah tersesat itu di pagi hari. Ia mengenal Anita. Sayangnya kita tidak tahu apa - apa tentang dirinya, kecuali ia berasal dari panti asuhan X. Tapi bisa kita cari datanya, ia mengaku diadopsi dua tahun yang lalu. Lagipula ia adalah teman baik Anita. Penjaga panti pasti mengenalnya."

Aku melanjutkan, "Kita bagi - bagi tugas. Mahmud mengurus forensik, Andy ke kantor untuk menyidik data sosial dari Valentina, Brotoseno ke panti asuhan untuk menyidik data Anita dan sang bocah, Usep mencari tahu keberadaan dua orang tua dari Anita. Di kasus ini dua orang tua Anita merupakan tersangka utama. Usep, kami berharap banyak padamu."

"Kau sendiri, Kilesa?"

"Diriku mencoba menenangkan Anita di kantor. Aku masih ingin berbincang - bincang dengannya."

Seluruh kolegaku menyetujuinya. Ketika kami sudah berpencar, Mahmud berada di sampingku di pintu masuk rumah. Ia menyinggungku.

"Tidak ada satu pun dari tindakanmu yang tidak penting, Kilesa. Aku menyadarinya. Apakah kau sudah menemukan kesimpulan dari kasus ini?"

"Bukan begitu, Mahmud, namun aku merasakan ada seorang pembunuh professional terlibat di kasus ini. Tidakkah kau merasakan seperti itu?"

Mahmud menggeleng, "Mungkin hanya perasaanmu saja."

Aku menatapnya, "Katakanlah, apakah pisau yang tertancap di punggung Valentina mengandung sidik jari? Aku yakin tidak ada."

Mahmud menjawab, "Tidak."

"Pisau itu menancap di mana? Paru - paru atau jantung?"

"Jantung, membuat Valentina tewas dengan cepat. Kau benar dalam hal ini, Kilesa, hanya seorang pembunuh profesional yang bisa menargetkan jantung dari punggung."

"Belum selesai sampai di sini. Ada berapa helm motor di garasi?"

"Dua buah."

Aku mengangguk dan perlahan - lahan Mahmud ikut mengangguk -- angguk, memahami maksudku. Beberapa saat kemudian matanya membesar.

"Kilesa, maksudmu..."

"Pembunuh ini sangat profesional. Begitu mendapatkan alibi dan keterangan yang diperlukan, ia akan menyingkirkan semua saksi mata yang berlaku."

Mahmud menghela napas, "Jadi, kau menemui Anita bukan hendak untuk meminta keterangan, melainkan untuk..."

"Untuk menjaganya. Mari, Mahmud, jangan sampai kita keduluan."

"Mari, Kilesa."

Kasus lain dapat dilihat di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun