“Monggo” (silahkan) kata beliau, matanya memandang Widya.
Melihat itu, Widya menolak, mengatakan dirinya tidak pernah meminum kopi. Namun senyuman ganjil mbah Buyut membuat Widya sungkan, yang akhirnya berbuntut ia meneguk kopi itu meski hanya satu tegukan saja.
Kopinya manis, ada aroma melati didalamnya, yang awalnya Widya hanya mencoba-coba tanpa sadar, gelas kopi itu sudah kosong. Tidak hanya Widya, semua orang di tegur agar mencicipi kopi buatan beliau, katanya
“tidak baik menolak pemberian tuan rumah”
semua akhirnya mencobanya berikutnya. Wahyu dan Ayu kaget setengah mati, sampai harus menyemburkan kopi yang ia teguk. Mimik wajahnya bingung, karena rasa kopinya tidak hanya pahit, tapi sangat pahit, sampai tidak bisa di tolerin masuk ke tenggorokan. Anehnya, Pak Prabu meneguk kopi itu biasa saja.
“begini” kata mbah Buyut, beliau menggunakan bahasa jawa halus sekali, sampai ucapanya kadang tidak bisa di pahami semua anak. Ada kalimat, penari dan penunggu, namun yang lainya tidak dapat di cerna. Ia menunjuk Widya tepat didepan wajahnya, mimik wajahnya sangat serius.
Pak Prabu mendengarkan dengan seksama, lalu berpamitan pulang. Sebelum mereka pulang, mbah Buyut memberi kunir tepat di dahi Widya, katanya untuk menjaga Widya saja. Kunjungan itu sama sekali tidak di ketahui tujuanya, selama perjalanan, pak Prabu bercerita, tentang kopi.
kopi yang di hidangkan mbah Buyut tadi adalah Kopi ireng yang di racik khusus untuk memanggil Lelembut, Demit dan sejenisnya, bukan kopi untuk manusia, mereka yang belum pernah mencobanya, pasti akan memuntahkanya, namun, bagi lelembut dan sebangsanya, kopi itu manis sekali.
Semua anak memandang Widya. namun pak Prabu segera mengatakan hal lain. “sepurane sing akeh nduk, sampeyan onok sing ngetut’i” (mohon maaf ya nak, kamu, ada yang mengikuti). Selain mengatakan itu, pak Prabu juga mengatakan bahwa tidak perlu takut, karena Widya tidak akan serta merta di apa-apakan, hanya di ikuti saja, yang lebih penting. Widya tidak boleh dibiarkan sendirian, harus selalu ada yang menemaninya, untuk itu, pak Prabu punya gagasan.
Mulai malam ini, mereka akan tinggal dalam satu rumah, hanya dipisahkan oleh sekat dari bambu anyam, pak Prabu hanya meminta satu hal, jangan melanggar etika dan norma saja. Pertemuan itu juga di minta untuk tidak di ceritakan ke siapapun lagi, bahkan Nur, Anton dan Bima.
tempat tinggal mereka yang baru tepat ada di ujung, cukup besar, dan bekas rumah keluarga yang merantau, sekaligus hal ini menjawab pertanyaan kenapa jarang di temui anak seumuran mereka di desa ini, rupanya, kebanyakan anak-anak yang sudah akil baligh pasti pergi merantau.