kejadian itu, diakhiri dengan cerita Wahyu menceritakan semuanya, awalnya ia hanya ingin menghisap rokok sembari duduk di teras posyandu. Kemudian ia tidak sengaja melihat seseorang, sendirian, menari-nari di tanah lapang. Karena penasaran wahyu mendekat, sampai Wahyu baru sadar bila yang menari itu adalah Widya.Â
Semua yang mendengarkan cerita Wahyu hanya bisa menatap nanar. Tidak ada yang berkomentar, si pemilik rumah akhirnya menyuruh mereka semua bubar dan masuk ke dalam rumah lagi, karena hari semakin larut. Â
Si pemilk rumah, berjanji akan menceritakan ini kepada pak Prabu. Namun ada satu hal, yang sengaja Wahyu tidak ceritakan, nanti, ia akan menjelaskan semuanya. Malam itu, benar-benar Malam yang gila, seolah-olah menjadi pembuka rangkaian kejadian yang akan mereka hadapi di sela tugas KKN mereka ke dalam situasi yang paling mencekam.Â
Semua orang sudah berkumpul, memenuhi panggilan pak Prabu. Beliau bertanya tentang bagaimana kronologi kejadian, Ayu mengaku tidak tahu, Widya mengatakan ia sedang mengejar Nur yang pergi keluar rumah. Namun Nur mengatakan ia hanya pergi ke dapur untuk mencari air minum.Â
Semua penjelasan itu tidak membantu sama sekali, namun tampak dari raut muka pak Prabu, ia lebih tertarik bagaimana Widya bisa menari bila latar belakangnya saja bahwa ia mengaku tidak pernah belajar menari sebelumnya.Â
Hari itu, pak Prabu meminta Widya, Ayu dan Wahyu, menemaninya Nur perg. Sementara ia masih harus mengerjakan proker individualnya. Dengan berbekal motor butut yang tempo hari digunakan untuk mengantar mereka masuk ke desa ini, kali ini di gunakan untuk mengantar mereka ke rumah seseorang.Â
Wahyu dengan Widya, Pak Prabu berboncengan dengan Ayu. Jalur yang mereka tempuh hampir sama dengan jalur yang tempo hari. Anehnya, kali ini Widya merasakan untuk sampai ke jalan raya tidak sampai 1 jam, malah tidak sampai 30 menit. Lalu bagaimana bisa ia merasakan waktu selambat itu pada malam ketika orang desa menjemput.Â
Rumah yang pak Prabu datangi, rupanya rumah seseorang. Â melintasi jalan besar, lalu masuk lagi ke sebuah jalan setapak buatan. Rumahnya bagus, malah bisa di bilang paling bagus di bandingkan rumah orang2 desa, hanya saja,Â
Ruumah itu berdiri di tengah sisi hutan belantara lain. Berpagar batu bata merah, dengan banyak bambu kuning. Rumah itu terlihat sangat tua, namun masih enak dipandang mata. Di depan rumah, ada orang tua, kakek-kakek, sepuh, berdiri seperti sudah tau bahwa hari ini akan ada tamu yang berkunjung.Â
Tidak ada yang tahu nama kakek itu, namun pak Prabu memanggilnya mbah Buyut. Setelah pak Prabu selesai menceritakan semuanya, wajah mbah Buyut tampak biasa saja, tidak tertarik sama sekali dengan cerita pak Prabu yang padahal membuat semua anak-anak masih tidak habis pikir.Â
Sesekali memang mbah Buyut terlihat menatap Widya, terkesan mencuri pandang. Namun ya begitu, hanya sekedar mencuri pandang saja, tidak lebih. Dengan suara serak, mbah Buyut pergi kedalam rumah. Beliau kembali dengan 5 gelas kopi yang di hidangkan di depan mereka.Â