Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis yang Kutinggalkan Menyeberang ke Bengkalis

2 Oktober 2016   03:19 Diperbarui: 2 Oktober 2016   03:37 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

CeritaMingguPagi:

SIANG terik terasa menguliti kepala berambut cukup panjang ini. Hingga gegas, setelah turun dari taksi, dan entah kenapa berjalan ke kiri. Masuk ke sebuah kedai kecil persis pintu gerbang Pelabuhan Sungai Duku. Karena mendadak, kami bersirobok dengan seorang gadis bercelana jeans ketat dengan balutan kaos di ujung lengannya yang menggambarkan kemulusannya. Berwarna merah muda mendekati pink.

“Mau makan, Bang?” sapanya seperti meloncat begitu saja.

“Mmmm …..”

“Atau minum?”

“Mm …boleh. Minum dulu.”

“Te Es?”

Glek! Aku menelan ludah.

“Apa itu Te Es?”

“Air teh manis diberi es. Di sini dinamakan Te Es.”

“O.”

“Kenapa, Bang?”

Aku pura-pura sibuk merapikan tas bawaan. Berisi seperangkat perang untuk menyeberang ke Bangkalis, sebuah wilayah yang belum pernah kurambah singgahi. Pulau terluar yang cukup menjanjikan, setidaknya seperti kerap diceritakan oleh Joko Lelono, sahabatku yang sama-sama menimba ilmu di Jogja. Ia jurusan Sosial, aku jurusan sosial juga. Persisnya jurusan untuk urusan komunikasi hingga aku menggelandang ke sana kemari.

“Tak apa. Iya Te Es.”

Saya duduk dan memandangi sekeliling. Khas warung kelas biasa. Dindingnya tertempel wajah artis lokal. Dan TV persis di seberangku sedang menayangkan film India yang kemudian menyita mata gadis semampai itu setelah menyodorkan es teh di gelas besar. Siang ini pun menjadi lebih bermartabat dan menyegarkan, menyerutut minuman yang melewati tenggorokkan tanpa hambatan seraya menguliti gadis yang memunggungiku dan sesekali memain-mainkan gadgetnya.  

“Bagaimana kalau saya minta nasi …dengan ….”

“Mau makan, Bang?”

“Boleh tak?”

Ia tertawa. “Abang singgah kemari kan kalau tak minum …makan.”

“Hahaha. Betul.”

Aku berjalan ke sisi kiri, dan segera menyimak lauk-pauk yang ditempatkan di kotak berkaca sebagaimana lazimnya warung. Di situ ada tertata ikan dibalado, ayam goreng, gulai ikan, dan sayur daun singkong. Gadis itu datang, dan sempat bersenggolan lengan di tempat yang memang tak begitu lebar. Serrr!

“Pakai apa, Bang?”

“Siang seperti ini, enaknya pakai apa?”

Ia tertawa kecil.

“Enaknya sih ….”

Ia menyela dengan cepat. “Apa saja enak. Apalagi kalau sedang lapar.”

“Setuju. Coba sajikan apa yang enak menurutmu?”

“Ikan patin suka tak?”

Aku menjentikkan jari.

“OK. Kalau tak sampai habis, berarti Abang salah masuk ni warung ….”

“Nak begitulah.” Tertawa ia.

Jadilah, benar-benar kunikmati ikan itu. Sesiangan di negeri nun dari Jakarta. Diseling dengan perbincangan standar: kapal apa yang akan membawa ke Bengkalis, berapa harga tiket, berapa lama waktu tempuh dan seputar Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia dengan Selat Melakanya itu.

“Hanya sekali …kalau Abang tak naik sekarang pukul satu tiga puluh menit, besoklah berangkatnya.”

“Ha.”

“Iya.”

“Celaka, mesti bergegas. Kalau sampai telat tidur di mana awak?”

“Nak eloklah kalau sampai nginap di warungku. Cemmana orang bilang ….”

Dada mendesir. Tugas menyeberang ke Bengkalis mestilah tak terhambat dengan pertemuan di warung kecil dengan seorang wanita menarik yang dibantu oleh seorang wanita yang kukira kerabatnya kalau tak ibunya. Wanita yang begitu sigap bekerja di dapur warung kecil itu.

Maka acara makan pun segera diakhiri. Mesti. Tak bisa tidak. Lalu segera kubayar makanan siang di teriknya udara dengan ikan patin, dan sehimpunan pembiaraan yang tak ingin kuakhiri sebenarnya. Atas pertemuan di Terminal Penumpang Pelabuhan Sungai Duku, Riau.  

“Hati-hati, Bang ….”

“Terima kasih.” Aku ingin menata sebenarnya hati sejuk pada siang itu. Atas kata-kata biasa-biasa saja.

***

Pukul 13.35 Wib kapal cepat berpenumpang delapan belas orang melayari Sungai Siak. Air tak bisa dibilang jernih, tersibak di kanan dari jendela kaca. Sesekali meloncat-loncat wajah gadis semampai di warung itu. Rambut pendek menyerupai penampilan model, dan bungkus jeans serta kaos pendeknya. Lengkaplah ia seorang yang bisa menjadi model. Hm. Tak tahu aku siapa namanya.

Pukul tujuh belas lebih sedikit, kapal merapat di Pelabuhan Bengkalis. Anwar Ibrahim menyambutku. Ia utusan Joko Lelono, yang menyebut sedang ada acara di Dumai, tetangga Bengkalis.

“Nanti malam, kami jemput. Kita makan ikan bakar ….” SMS Joko Lelono.

Aku masuk kamar hotel di lantai tiga yang menghadap tanah lapang, dan di sisi kanannya laut sore. Kemudian berganti malam. Kujepret gambar indah itu.

“Hati-hati, Bang ….”

Wajah itu muncul di balik kaca jendela kamar ber-AC. Yang mulai sedikit mengurangi gerah atas udara Bengkalis yang panas.

“Te Es …Bang?”

Aku menggeleng.

“Kamu … saja.”

Malam itu pun berakhir dengan membingungkan aku sendirian tidur berselimut wajah gadis warung yang menyajikan ikan patin menyerupai model itu.

***    

“Jadi tak ingin berlama-lama tinggal di Bengkalis, Mas Te Es?” tanya Niken Pratiwi yang menemaniku bersama Joko Lelono  selama di Bengkalis.

“Kontrak kerjaku kan memang sudah selesai?”

“Te Es memang lagi banyak kerjaan!” sindir temanku yang bahagia merantau ke Bengkalis dan menjadi pejabat sehingga bisa mengundangku untuk acara berkaitan dengan masalah pekerjaanku. Dan masih ingat denganku sehingga aku punya pekerjaan kecil ke Bengkalis yang panas kini.

Pagi itu pun menyeretku dengan kapal Alita Express yang kemarin membawaku ke Bengkalis. Untuk kembali ke Sungai Duku. Untuk aku singgah makan di warung kecil tak jauh dari pintu gerbang.

***

Siang terik menyerupai kedatanganku di Pelabuhan kecil Sungai Duku saat datang empat hari lalu. Aku tak berpikiran apa, kecuali membeli Koran yang ditawarkan seorang wanita paruh baya. Sebuah tradisi di Bumi Lancang Kuning yang masih kuat budaya baca.

“Ini kembaliannya, Nak.”

“Ambil saja, Bu.”

Bergegas, menuju warung sisi kanan pintu gerbang luar Pelabuhan Sungai Duku. Dan aku sempat menghentikan langkah sebelum masuk, karena bersirobok dengan gadis yang membuatku menuliskan sebuah kisah ini.

“Te Es, Bang?”

Aku senyum-senyum atas sambutan gadis yang membuntutiku ketika di Bengkalis sana. Yang membuat tak betah lama-lama. Meski sempat membuatku menulis untuk media tempat temanku di Pekanbaru bekerja. Yang kukirim lewat email.

“Te Es itu aku ….”

Ia mengernyitkan kening.

“Ya inisialku.”

“Dari?”

“Sudah. Tak penting itu. Apalah arti sebuah nama. Sajikan saja ikan patin cem kemarin itu.”

Sesungguhnya gadis berkaos merah itu jauh melebihi bayanganku. Kenapa lebih cantek? Dan dalam beberapa hari kutinggalkan ke Bengkalis badannya lebih berisi. Ah, mungkin karena pakaiannya pas. Membungkus seluruh bagian atasnya atas jeans ketat biru muda.

“Adanya ikan Nila ….”

“Apa sajalah. Asal kau yang menyajikan.”

Gadis itu banyak bertanya. Enak betul. Seolah ia sudah lama kenal. Tentang di Bengkalis apa saja yang kulakukan. Dan serenteng serempet-serempet seorang wanita yang penuh perhatian. Mungkin ada tersembunyi ketidaksukaannya apabila aku ternyata melirik gadis atau wanita di sana. Meski Bengkalis kendati banyak dihuni etnis China, itu negeri religius. Hampir semua gadis pelajarnya pun berjilbab. Tak ada hiburan malam seperti bertaburan di Jakarta.

“Aku pinjam korannya, ya Bang?” setelah menyodorkan piring berisi ikan patin dan sayur berkuah santan.

Aku makan dengan sedapnya. Juga dengan asyiknya berbincang di warung yang sepi pengunjung. Wanita yang menyuguhkan minuman dan sibuk mencuci piring kotor di warung itu pun entah ke mana. Mungkin ia tahu diri untuk aku bisa berbincang dengan si gadis di siang yang terik itu.

“Jadi pulang ke mana, Bang?”

Aku tersengat. Lalu kusimak waktu di HP. Mendekati jam yang tertera di tiket dengan kode booking. Astaga. Aku mesti mengakhiri, dan segera ke bandara untuk balik lagi ke Jakarta. Saat seorang wanita hamil, rupanya teman akrab gadis yang tak kuketahui namanya itu tiba. Keduanya saling bercipika-cipiki. Dan berbincang dengan bahasa Melayu yang kental.

“Uang ini cukup? Untuk semua makanku ….” Kusodorkan.

“Cukuplah, Bang, ada kembaliannya pula,” ia menyodorkan uang kembalian.

Aku pun menerima uang kembalian.

“Atau untuk deposit saja?” potong wanita muda berperut membuncit hamil sebaya gadis berkos merah siang itu.

“Cukup segini? Hingga saya kembali kemari?” Aku memperlihatkan uang kembalian kepada mereka.

“Bukan jumlahnya. Tapi nilainya. Untuk mengikat Abang kemari lagi. Singgah lagi.”

Aku senyum-senyum. Dan kembali bersirobok dengan gadis warung itu. Yang kutinggalkan ke Bengkalis sebentar dan membuatku tak betah. Tersebab gadis berambut pendek, tubuh semampai dan dibungkus jeans serta kaos merahnya nan menarik.

“Te Es …itu ….” Ia tak mampu melanjutkan kata-katanya.

Aku senyum.

“Kenapa? Inisialku.”

“O, apa pula itu, Siti?” potong wanita hamil itu kepadanya.

“Dia pengarang, Kak,” kata gadis itu kepada wanita hamil seraya menyodorkan Koran Riau Pos.

“Oh!” Wanita itu terlongong-longong. Sejenak menyimak sepotong judul cerpen di halaman dua belas. “Gadis yang Kutinggalkan Menyeberang ke Bengkalis”.

***

Bengkalis-Pondok Gede awal Oktober 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun