“Ya inisialku.”
“Dari?”
“Sudah. Tak penting itu. Apalah arti sebuah nama. Sajikan saja ikan patin cem kemarin itu.”
Sesungguhnya gadis berkaos merah itu jauh melebihi bayanganku. Kenapa lebih cantek? Dan dalam beberapa hari kutinggalkan ke Bengkalis badannya lebih berisi. Ah, mungkin karena pakaiannya pas. Membungkus seluruh bagian atasnya atas jeans ketat biru muda.
“Adanya ikan Nila ….”
“Apa sajalah. Asal kau yang menyajikan.”
Gadis itu banyak bertanya. Enak betul. Seolah ia sudah lama kenal. Tentang di Bengkalis apa saja yang kulakukan. Dan serenteng serempet-serempet seorang wanita yang penuh perhatian. Mungkin ada tersembunyi ketidaksukaannya apabila aku ternyata melirik gadis atau wanita di sana. Meski Bengkalis kendati banyak dihuni etnis China, itu negeri religius. Hampir semua gadis pelajarnya pun berjilbab. Tak ada hiburan malam seperti bertaburan di Jakarta.
“Aku pinjam korannya, ya Bang?” setelah menyodorkan piring berisi ikan patin dan sayur berkuah santan.
Aku makan dengan sedapnya. Juga dengan asyiknya berbincang di warung yang sepi pengunjung. Wanita yang menyuguhkan minuman dan sibuk mencuci piring kotor di warung itu pun entah ke mana. Mungkin ia tahu diri untuk aku bisa berbincang dengan si gadis di siang yang terik itu.
“Jadi pulang ke mana, Bang?”
Aku tersengat. Lalu kusimak waktu di HP. Mendekati jam yang tertera di tiket dengan kode booking. Astaga. Aku mesti mengakhiri, dan segera ke bandara untuk balik lagi ke Jakarta. Saat seorang wanita hamil, rupanya teman akrab gadis yang tak kuketahui namanya itu tiba. Keduanya saling bercipika-cipiki. Dan berbincang dengan bahasa Melayu yang kental.