“Kenapa, Bang?”
Aku pura-pura sibuk merapikan tas bawaan. Berisi seperangkat perang untuk menyeberang ke Bangkalis, sebuah wilayah yang belum pernah kurambah singgahi. Pulau terluar yang cukup menjanjikan, setidaknya seperti kerap diceritakan oleh Joko Lelono, sahabatku yang sama-sama menimba ilmu di Jogja. Ia jurusan Sosial, aku jurusan sosial juga. Persisnya jurusan untuk urusan komunikasi hingga aku menggelandang ke sana kemari.
“Tak apa. Iya Te Es.”
Saya duduk dan memandangi sekeliling. Khas warung kelas biasa. Dindingnya tertempel wajah artis lokal. Dan TV persis di seberangku sedang menayangkan film India yang kemudian menyita mata gadis semampai itu setelah menyodorkan es teh di gelas besar. Siang ini pun menjadi lebih bermartabat dan menyegarkan, menyerutut minuman yang melewati tenggorokkan tanpa hambatan seraya menguliti gadis yang memunggungiku dan sesekali memain-mainkan gadgetnya.
“Bagaimana kalau saya minta nasi …dengan ….”
“Mau makan, Bang?”
“Boleh tak?”
Ia tertawa. “Abang singgah kemari kan kalau tak minum …makan.”
“Hahaha. Betul.”
Aku berjalan ke sisi kiri, dan segera menyimak lauk-pauk yang ditempatkan di kotak berkaca sebagaimana lazimnya warung. Di situ ada tertata ikan dibalado, ayam goreng, gulai ikan, dan sayur daun singkong. Gadis itu datang, dan sempat bersenggolan lengan di tempat yang memang tak begitu lebar. Serrr!
“Pakai apa, Bang?”