“Ya. Ya Ratih tentu!” sahut Kuntara tergagap. Kuntara lalu mencoba mengupas kulit manggis yang tersedia di bakul, walaupun sebenarnya ia kurang berminat.
“Tidak ada laki-laki yang marah Ratih, jika kau sering berbicara berdua denganku?” ujar Kuntara, sambil mengulum manggis dimulutnya.
Mimik wajah Ratih tetap saja tak berubah, polos. “Maksud kakang apa? Bukankah sejak kecil kita biasa berbincang seperti ini?”
“Tetapi sekarang lain Ratih? Kita berdua adalah lawan jenis yang sudah dewasa.”
Kuntara menarik napas panjang melihat Ratih yang tidak juga mengerti.
“Jadi? Tidak boleh laki-laki dan perempuan dewasa berbicara berdua, begitu?”
“Bukan! Bukan begitu maksudku,” Kuntara makin dibuat bingung dengan keluguan Ratih.
“Apakah sudah ada laki-laki yang memikat hatimu? Atau meminangmu, barangkali?” tanya Kuntara lagi.
“Ah kakang! Aku ini cuma gadis padesan yang biasa bekerja disawah. Mana mungkin ada yang meminangku, paling-paling aku menunggu ayahku yang menjodohkan,” jawab Ratih dengan wajah merah merona.
“Apakah kakang ingin meminangku?” Ratih balik bertanya.
Kuntara terkejut mendapat pertanyaan itu, ia tampak kebingungan mencari jawaban.