“Tapi sebelum itu, benahilah kain panjangmu yang kau singkap itu! Aku tidak ingin ibuku berprasangka yang tidak-tidak,” kata Kuntara lagi.
Ratih seketika wajahnya memerah mendapat teguran seperti itu, dengan tergesa-gesa ia menurunkan kain panjangnya. Sesungguhnya tidak pantas seorang gadis menyingkap kain panjangnya dihadapan laki-laki.
Keduanya kemudian kembali ke pendapa, tidak ada yang diperbicangkan lagi saat mereka kembali ke pendapa. Dikepala Kuntara hanya terbayang sosok Gendis yang terkagum-kagum karena keperkasaannya. Hal itu dapat terwujud, jika ia mampu menyerap ilmu kanuragan Ratih yang diturunkan dari ayahnya. Ratih sendiri merasa mendapat tempat atau alasan untuk selalu bertemu Kuntara. Sejatinya walaupun Kuntara menganggapnya sebagai adik, akan tetapi ia seperti terpaut dengannya, karena Kuntara adalah teman sepermainannya semasa kecil.
Setibanya di pendapa, keduanya dikejutkan kehadiran ibu Kuntara yang memandang keduanya aneh.
“Apa yang kalian berdua lakukan di pekarangan sana?” tanya Nyi Widati.
Sejenak Ratih dan Kuntara berpandangan, seolah menelaah arti dari pertanyaan Nyi Widati. Tetapi kemudian keduanya sadar, bahwa baju lurik Kuntara tidak dalam keadaan utuh, atau koyak pada bagian pundak.
Kuntara pun menjawab. “Tidak apa ibu! Bajuku ini hanya tersangkut ranting bambu.”
Nyi Widati mendekati Ratih yang tertunduk. “Kau tidak apa-apa Ratih?” ujar Nyi Widati sambil menatap setiap jengkal tubuh Ratih.
“Tidak Bi! Aku baik-baik saja,” jawab Ratih.
“Kau jangan menjadi gila Kuntara! Ratih sudah seperti adikmu sendiri, seharusnya kau melindunginya,” kata Nyi Widati dengan nada tinggi.
Kuntara pun terkejut mendengar tanggapan ibunya. “Tidak yang seperti ibu bayangkan, aku tidak menyakitinya ibu, tanya saja sendiri pada Ratih!”