“Persetan!” Kuntara membathin. Lalu ia berusaha membalikkan badan dan siap berlari.
Tetapi begitu hal itu akan dilakukan, dengan cepat kaki Ratih menghalangi langkah kaki Kuntara. Kuntara jatuh tersungkur, tetapi mampu bertumpu pada kedua telapak tangannya yang menapak ditanah. Kuntara merasa bagai pecundang dihadapan Ratih. Ia membalikkan badan dan duduk memandang Ratih yang berdiri tersenyum memandangnya.
“Apa maumu Ratih?” katanya sambil terengah-engah.
Ratih pun berjongkok dan berkata. “Bangkitlah kakang!” kata Ratih sambil mengulurkan tangan.
“Jangan salah sangka, aku hanya ingin mengajarkan sedikit bekal yang aku peroleh dari ayahku.”
“Bekal apa?” sambil menyambut uluran tangan Ratih, Kuntara bangkit. “Kenapa kau jadi sekasar ini?” kata Kuntara lagi.
“Bukan maksudku kakang! Kita berdua sama-sama tahu, ayahku dan ayahmu bersahabat, dan keduanya sama-sama memiliki bekal olah kanuragan. Bedanya ayahku mengajarkannya kepadaku, walaupun selama ini kau belum mengetahuinya. Sedangkan mediang ayahmu tidak mengajarkan ilmunya kepadamu,” ujar Ratih.
“Bukan ayahku yang tidak mau menurunkan ilmunya kepadaku, tetapi akulah yang malas mempelajarinya,” sahut Kuntara.
“Jadi selama ini kau berpura-pura polos begitu?” kata Kuntara yang tidak habis pikir.
“Aku tidak bermaksud begitu! Hanya saja apa yang patut aku bangga-banggakan? Kodratku adalah wanita biasa yang tentu lebih mengedepankan kepantasan, ketimbang menunjukkan kelebihannya seperti laki-laki. Bahwa manusia sesungguhnya mahluk yang lemah. Hanya saja, kadang manusia menipu diri untuk terlihat sempurna dimata orang lain.”
Kata-kata Ratih itu menyusup ke dinding hati Kuntara yang paling dalam. Tak disangka sebelumnya, ternyata kesederhanaan Ratih, bukan berarti isi di kepalanya kosong sama sekali. Akan tetapi penuh dengan keluhuran budi sebagai mahluk ciptaan tuhan yang selalu rendah hati dihadapanNya.