Nyi Widati masih kurang mapan dengan jawaban Kuntara. Dipandanginya keduanya, dilihatnya memang peluh mengalir ditubuh mereka, sehingga terlihat membasahi pakaian keduanya.
“Katakan Ratih! Apa yang kalian lakukan dibelakang sana?” tanya Nyi Widati menegang.
Kuntara yang melihat Ratih makin tertunduk dan tersudut dengan pertanyaan ibunya, akhirnya ia mencoba menjelaskan.
“Jangan berpikir yang tidak-tidak ibu!” kata Kuntara lagi.
“Apa maksudmu? Bagaimana dengan bajumu yang koyak itu, kau masih mau membeladiri lagi?” Nyi Widati memandang tajam anaknya.
“Ratih hanya mencoba mengajariku menjadi lelaki sejati ibu!”
“Kuntara!” tangan Nyi Widati diangkat tinggi-tingi, hendak menampar Kuntara.
“Bibi!” Ratih terpekik. Membuat Nyi Widati mengurungkan niatnya.
“Apalagi Ratih? Mata tuaku ini tidak bisa kalian bohongi dengan perbuatan tidak pantas itu!” kata Nyi Widati dengan nada tinggi.
Ratih mencoba memahami kekhawatiran Nyi Widati. Ia pun mencoba menjelaskan.
“Bibi! Aku hanya ingin memberi bekal sedikit yang aku pelajari dari ayahku. Seperti bibi ketahui kakang Kuntara tidak memiliki bekal kanuragan. Oleh karena itu sebagai lelaki pelindung bagi bibi, aku ingin mengajarkan bekal yang tidak seberapa ini kepada kakang Kuntara,” kata Ratih sambil tertunduk.