“Lalu apa maksudmu, membawaku ketempat ini?” tanya Kuntara.
Masih dengan wajah tertunduk Ratih berkata. “Aku tidak rela melihat kakang bersedih, dan selalu rendah diri. Aku ingin kakang bisa berdiri sejajar dengan pemuda di kademangan ini. Meskipun tidak harus seorang lelaki mempunyai kemampuan beladiri, tetapi aku pikir aku mampu membuat kakang berdiri sejajar dengan pengawal kademangan.”
“Jadi kau akan mengajariku cara berkelahi, Begitu?”
Ratih tidak menjawab hanya menundukkan kepala. Kuntara menarik napas dalam-dalam seolah menimbang-nimbang, akan tetapi ada pertentangan di dalam hatinya. Apa kata orang jika ia berguru pada seorang gadis? Dan apakah ia mampu mempelajari olah kanuragan? Sedangkan selama ini ia tergolong anak yang enggan memeras keringat untuk mendapatkan sesuatu. Bagaimana pun juga kalimat itu terselip dihatinya.
“Aku tidak perduli kata orang, sudah cukup aku mengemis dihadapan para perampok bengis itu. Sudah cukup aku dipermalukan dihadapan Gendis. Sudah saatnya aku berdiri dengan dada tengadah dihadapan orang-orang kademangan. Dan lagi, tentunya Gendis akan bangga jika aku jadi lelaki jantan yang dapat melindunginya,” Kuntara membathin.
“Baiklah Ratih! Kapan kita akan mulai?”
Ratih yang tertunduk seketika mengangkat wajahnya, penuh semangat. “Kau bersedia kakang?”
“Ya!” jawab Kuntara. “Para pengawal inti kademangan pun kini sedang bersiap, menghadapi hari penebusan di bulak panjang saat purnama naik nanti. Mudah-mudahan aku belum terlambat.”
Ratih sempat tertegun. Walaupun jarang keluar rumah, tetapi sedikit banyak ia tahu bahwa Gendis anak Ki Demang ditawan gerombolan perampok. Terselip juga perasaan aneh dihatinya, ia seperti tidak rela jika Kuntara turut membebaskan Gendis. Meskipun ia tahu selama ini keduanya diketahui memiliki hubungan. Ratih hanya menarik napas dalam-dalam, seolah menahan perasaan dihatinya.
“Kakang! Kita dapat mulai berlatih setiap sore ditempat ini. Aku rasa tempat ini cocok, karena terlindung pepohonan dan rumpun bambu.”
“Baiklah!” Kuntara Mengangguk. “Sekarang, marilah kita kembali ke pendapa, aku takut ibuku menjadi khawatir.”