Mohon tunggu...
tri prabowo
tri prabowo Mohon Tunggu... Karyawan -

Engineer PLC, lagi belajar nulis, Hobi Cersil, sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Serial: Andaru Wijaya [48]

5 Mei 2017   16:01 Diperbarui: 11 Mei 2017   10:56 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seri : 47 / Sebelumnya

Seri 1 / Awal

Sesampainya dipendapa, Kuntara melihat ibunya masih termenung tak menyadari kehadirannya. Kuntara yang melihat mata ibunya berkaca-kaca terkejut, dan bertanya.

“Ada apa ibu? Apa tua bangka itu menyakiti hati ibu?”

Nyi Widati tersentak dari lamunannya, kemudian katanya. “Tidak ngger, tidak apa-apa! Aku hanya memperbincangkan masalah niaga dengannya.”

“Jangan bohong kepadaku ibu! Mata ibu terlihat berkaca-kaca, pasti lelaki tua itu telah menyakiti hati ibu. Aku akan membuat perhitungan dengannya!” kata Kuntara sambil membalikkan badan, lalu kembali ke pintu regol mengejar Ki Suradilaga yang sudah tidak tampak dari pandangan.

“Jangan! Jangan ngger, aku tidak apa-apa,” kata Nyi Widati mencoba menahan Kuntara. Nyi Widati tidak dapat mencegah Kuntara, dipandanginya saja putranya yang berjalan keluar pintu regol.

Kuntara yang melangkah tergesa-gesa, dikejutkan dengan kehadiran perempuan muda di muka regol.

“Kakang Kuntara! Kau akan kemana?”

“Ratih!” sahut Kuntara. “Masuklah kedalam, aku akan memberi pelajaran pada Suradilaga itu!” katanya lagi, sambil menunjuk Ki Suradilaga yang masih belum terlalu jauh dari tempat itu.

Kuntara lalu mencabut pedang dilambungnya dan siap menghampiri Ki Suradilaga. Perempuan yang dipanggil Ratih tadi terkejut, lalu menahan lengan Kuntara yang masih menggenggam pedang.

“Kakang! Kau sadar apa yang kau perbuat?” kata Ratih.

“Ratih! Jangan menahanku, aku tidak suka jika ada orang yang berani melukai perasaan ibuku.”

“Ya. Tapi bukan dengan cara seperti ini!” Ratih mencoba menyadarkan Kuntara.“Aku tak pernah melihat putra Nyi Widati sekasar ini sebelumnya!”

Kuntara terkejut mendengar perkataan Ratih, bagaimana pun juga kata-kata itu telah mempengaruhi perasaannya. Akhirnya pedang yang mulanya teracung itu kini merunduk, lalu Kuntara memasukkan lagi ke warangkanya.

“Marilah ke dalam kakang! Kita berbicara dengan kepala dingin, jangan mengikuti hawa nafsu.”

Kuntara tidak menolak ketika tangan Ratih membimbingnya kembali ke pendapa.

Nyi Widati yang melihat kehadiran Ratih, menarik napas lega. “Anak gadis Ki Dipawana itu memang penuh kecakapan, meskipun penampilannya sederhana. Sayang Kuntara tidak ada hati untuknya,” Nyi Widati bergumam.

“Ratih!” sapa Nyi Widati. “Kau sendiri?”

“Ya bi!” sahut Ratih, sambil mendudukkan Kuntara disisi ibunya.

Ratih meletakkan bakul yang dibawanya, lalu berkata. “Aku membawakan buah kesukaan kakang Kuntara, bibi! Kebetulan tadi pagi, ayahku menyempatkan diri memetik buah manggis di kebun belakang rumah.”

Ratih tersenyum sambil memandang Kuntara. “Kau masih ingat kakang? Aku dulu sering meminta kau memetikkan buah manggis untukku.”

Kuntara hanya mengangguk, tak menjawab sepatah kata pun. Nyi Widati hanya menggelengkan kepalanya saja, melihat sikap acuh putranya.

“Terimakasih Ratih! Buah ini besar dan masak. Pasti manis rasanya,” sahut Nyi Widati, yang tak ingin melihat Ratih kecewa.

Bibi emban kemudian datang menyuguhkan minuman disela pembicaraan itu.

“Silahkan Nyi Mas Widati, Ngger Kuntara dan Ratih! Minumannya sudah siap!” ujar bibi emban itu.

“Terimakasih bi!” sahut Nyi Widati.

Setelah pelayan itu berlalu dari pendapa, Nyi Widati kembali menasihati putranya.

“Ngger Kuntara anakku! Jangan kebencian membutakan matamu. Ki Suradilaga hanya memperbincangkan soal niaga kepadaku, jangan terlalu berprasangka buruk kepadanya,” Nyi Widati berkata sareh. Tetapi sesungguhnya Nyi Widati telah menyembunyikan perjanjian piutang yang telah disepakati dengan Ki Suradilaga.

“Maafkan aku ibu!” sahut Kuntara pendek. Walaupun sebenarnya masih ada perasaan yang mengganjal dihatinya.

Ratih hanya mendengarkan pembicaraan keduanya. Wajah polosnya seolah tidak terganggu dengan masalah yang terjadi dirumah itu.

“Ratih!” ujar Nyi Widati kemudian. “Ajaklah Kuntara berbincang-bincang, aku akan masuk dulu!” berkata Nyi Widati , sambil berlalu meninggalkan pendapa.

Ratih kemudian mencoba berbicara dengan Kuntara lagi. “Kakang! Kau tidak ingin mencoba buah manggis hasil kebunku?”

“Ya. Ya Ratih tentu!” sahut Kuntara tergagap. Kuntara lalu mencoba mengupas kulit manggis yang tersedia di bakul, walaupun sebenarnya ia kurang berminat.

“Tidak ada laki-laki yang marah Ratih, jika kau sering berbicara berdua denganku?” ujar Kuntara, sambil mengulum manggis dimulutnya.

Mimik wajah Ratih tetap saja tak berubah, polos. “Maksud kakang apa? Bukankah sejak kecil kita biasa berbincang seperti ini?”

“Tetapi sekarang lain Ratih? Kita berdua adalah lawan jenis yang sudah dewasa.”

Kuntara menarik napas panjang melihat Ratih yang tidak juga mengerti.

“Jadi? Tidak boleh laki-laki dan perempuan dewasa berbicara berdua, begitu?”

“Bukan! Bukan begitu maksudku,” Kuntara makin dibuat bingung dengan keluguan Ratih.

“Apakah sudah ada laki-laki yang memikat hatimu? Atau meminangmu, barangkali?” tanya Kuntara lagi.

“Ah kakang! Aku ini cuma gadis padesan yang biasa bekerja disawah. Mana mungkin ada yang meminangku, paling-paling aku menunggu ayahku yang menjodohkan,” jawab Ratih dengan wajah merah merona.

“Apakah kakang ingin meminangku?” Ratih balik bertanya.

Kuntara terkejut mendapat pertanyaan itu, ia tampak kebingungan mencari jawaban.

“Ah kau ini Ratih. Aku ini hanya lelaki yang tiada guna, tidak mampu berpijak diatas kaki sendiri!”

“Maksud kakang?” tanya Ratih lagi.

“Aku hanya bisa merengek pada ibuku. Karena ibuku pasti tidak akan sanggup melihat anaknya bersedih. Maka apapun keinginanku pasti dikabulkan.”

“Kau tahu? Pedang dilambung ini pun hanya menipu penampilanku saja, agar aku terlihat seperti lelaki sejati. Padahal aku tidak lebih hanya seekor tikus kecil dihadapan para pemuda kademangan. Gadis-gadis yang mendekat kepadaku pun hanya kagum dengan harta yang kumiliki, yang tak segan kubagi-bagikan,” Kuntara berkata tanpa sengaja menumpahkan perasaan hatinya.

Ratih yang sejak tadi mendengarkan Kuntara, sesekali matanya menyambar wajah Kuntara yang menatap kosong halaman rumahnya.

“Kau ingin jadi laki-laki sejati Kakang?” kata Ratih dengan penuh semangat.

Kuntara sempat terkejut mendengar pertanyaan Ratih, tetapi kemudian ia hanya tersenyum tipis. Baginya Ratih tetap saja hanya gadis Kembojan yang masih lugu.

“Lupakan Ratih!” sahut Kuntara.

“Ikut aku!” ajak Ratih. Sambil jemari tangannya menarik lengan Kuntara.

“Kemana Ratih?” tanya Kuntara, sambil mengikuti langkah Ratih membawanya ke kebun belakang rumahnya.

Kuntara makin terkejut ketika Ratih membawanya jauh memasuki kebun belakang rumahnya. Hingga ketika ia menoleh kebelakang, rumahnya pun tak tampak lagi terhalang pohon-pohon buah yang banyak ditanam di pekarangan rumahnya itu.

Pekarangan rumah Kuntara memang cukup luas. Pekarangan itu banyak sekali ditumbuhi pohon buah dan beberapa petak lahan untuk tanaman jagung. Sementara disekelilingnya dipagari pohon Maja yang berjajar, membuat pekarangan itu terlindung dari hewan liar.

Hati Kuntara makin berdebar-debar ketika Ratih terus menyeret langkahnya ke rimbunnya pohon bambu di sudut terdalam pekarangan rumahnya.

“Ratih! Ratih! Jangan menjadi gila Ratih?”

Ratih hanya sekilas menatap Kuntara sambil tersenyum dingin, lalu berkata. “Bukankah tadi kau katakan ingin menjadi lelaki sejati, lalu kenapa kau merajuk seperti itu?”

“Tapi.., tapi apa maksudmu membawaku ke tempat ini?”

Ratih menghentikan langkahnya tepat dibawah tanah datar, yang disekelilingnya ditumbuhi rimbun pohon bambu.

“Aku akan mengajarimu menjadi seorang lelaki sejati kakang!” ujar Ratih, sambil melepas genggaman tangannya dilengan Kuntara.

 

“Tidak.., tidak perlu Ratih. Biarlah aku tetap seperti sekarang ini, kau tidak perlu berbuat aneh-aneh!” sahut Kuntara dengan keringat dingin mengalir dikeningnya.

Kuntara makin berdebar-debar ketika mata Ratih menatap tajam matanya, rasanya tatapan itu bagai menghujam jantung.

“Kau sudah siap kakang?” kata Ratih yang berdiri di hadapan Kuntara.

Kata-kata Ratih membuat bulu kuduknya Kuntara meremang, dan degup jantungnya pun berpacu hebat.

Ratih kemudian menyingkap kain panjangnya, setelah itu mengikatnya dipinggang. Kini yang terlihat, ia mengenakan kebaya dengan celana pendek selutut.

“Jangan gila Ratih! Kau sadar akan perbuatanmu?” kata Kuntara dengan nada tinggi.

“Bersiaplah!” ujar Ratih.

Kemudian Ratih mencoba menggapai wajah Kuntara perlahan. Kuntara menepis dengan tangannya. Tidak berhenti disitu, Ratih mencoba mencengkeram baju Kuntara. Kuntara pun menangkap pergelangan tangan Ratih, tetapi Ratih tidak berusaha melepaskan tangannya yang digenggam Kuntara. Akhirnya Kuntaralah yang melepaskannya.

Ratih kembali mencengkeram pundak Kuntara dengan cepat, Kuntara tak sempat mengelak ketika tangan Ratih mencengkeram erat pundaknya. Kuntara terkejut melihat tangan Ratih mencengkeram pundaknya, ia pun berusaha menarik pundaknya kebelakang. Akibatnya, bajunya koyak dibagian pundak.

Kuntara makin keheranan melihat perubahan sikap Ratih yang polos, kini berubah bagai serigala liar.

“Kendalikan dirimu Ratih! Hantu mana yang telah merasuki tubuhmu?” kata Kuntara dengan nada tinggi.

Ratih tidak menggubris, kini kedua tangannya digerakkan bertambah cepat memegang leher Kuntara. Kuntara pun dengan cepat menampik kedua tangan Ratih yang hendak menggapai lehernya. Kedua siku Kuntara menangkup di depan dadanya, kemudian ia gerakan kesamping sikunya itu. Akibatnya dua tangan Ratih yang hendak menggapai lehernya, urung karena terbentur lengan Kuntara. Akan tetapi diluar dugaan, tangan kiri Ratih membungkukkan badan Kuntara, lalu dengan cepat lututnya menanduk perut Kuntara. Kuntara tak sempat berkelit, ia hanya terbungkuk-bungkuk menahan sakit diperutnya.

Kuntara memandang sekeliling kebun dibelakang rumahnya itu. Tapi tak ada seorang pun yang sedang bekerja. Karena biasanya saat tengah hari dua penggarap kebunnya pulang untuk beristirahat. Padahal ia berharap bisa meminta tolong kepada penjaga kebunnya untuk menyadarkan perilaku Ratih.

Kuntara kehabisan akal, terlintas dalam pikirannya untuk berlari meninggalkan Ratih. Tetapi timbul pertentangan dihatinya, untuk apa lari hanya menghadapi seorang wanita. Tetapi wanita yang kesehariannya polos itu, kini berubah menjadi serigala betina.

“Persetan!” Kuntara membathin. Lalu ia berusaha membalikkan badan dan siap berlari.

Tetapi begitu hal itu akan dilakukan, dengan cepat kaki Ratih menghalangi langkah kaki Kuntara. Kuntara jatuh tersungkur, tetapi mampu bertumpu pada kedua telapak tangannya yang menapak ditanah. Kuntara merasa bagai pecundang dihadapan Ratih. Ia membalikkan badan dan duduk memandang Ratih yang berdiri tersenyum memandangnya.

“Apa maumu Ratih?” katanya sambil terengah-engah.

Ratih pun berjongkok dan berkata. “Bangkitlah kakang!” kata Ratih sambil mengulurkan tangan.

“Jangan salah sangka, aku hanya ingin mengajarkan sedikit bekal yang aku peroleh dari ayahku.”

“Bekal apa?” sambil menyambut uluran tangan Ratih, Kuntara bangkit. “Kenapa kau jadi sekasar ini?” kata Kuntara lagi.

“Bukan maksudku kakang! Kita berdua sama-sama tahu, ayahku dan ayahmu bersahabat, dan keduanya sama-sama memiliki bekal olah kanuragan. Bedanya ayahku mengajarkannya kepadaku, walaupun selama ini kau belum mengetahuinya. Sedangkan mediang ayahmu tidak mengajarkan ilmunya kepadamu,” ujar Ratih.

“Bukan ayahku yang tidak mau menurunkan ilmunya kepadaku, tetapi akulah yang malas mempelajarinya,” sahut Kuntara.

“Jadi selama ini kau berpura-pura polos begitu?” kata Kuntara yang tidak habis pikir.

“Aku tidak bermaksud begitu! Hanya saja apa yang patut aku bangga-banggakan? Kodratku adalah wanita biasa yang tentu lebih mengedepankan kepantasan, ketimbang menunjukkan kelebihannya seperti laki-laki. Bahwa manusia sesungguhnya mahluk yang lemah. Hanya saja, kadang manusia menipu diri untuk terlihat sempurna dimata orang lain.”

Kata-kata Ratih itu menyusup ke dinding hati Kuntara yang paling dalam. Tak disangka sebelumnya, ternyata kesederhanaan Ratih, bukan berarti isi di kepalanya kosong sama sekali. Akan tetapi penuh dengan keluhuran budi sebagai mahluk ciptaan tuhan yang selalu rendah hati dihadapanNya.

“Lalu apa maksudmu, membawaku ketempat ini?” tanya Kuntara.

Masih dengan wajah tertunduk Ratih berkata. “Aku tidak rela melihat kakang bersedih, dan selalu rendah diri. Aku ingin kakang bisa berdiri sejajar dengan pemuda di kademangan ini. Meskipun tidak harus seorang lelaki mempunyai kemampuan beladiri, tetapi aku pikir aku mampu membuat kakang berdiri sejajar dengan pengawal kademangan.”

“Jadi kau akan mengajariku cara berkelahi, Begitu?”

Ratih tidak menjawab hanya menundukkan kepala. Kuntara menarik napas dalam-dalam seolah menimbang-nimbang, akan tetapi ada pertentangan di dalam hatinya. Apa kata orang jika ia berguru pada seorang gadis? Dan apakah ia mampu mempelajari olah kanuragan? Sedangkan selama ini ia tergolong anak yang enggan memeras keringat untuk mendapatkan sesuatu. Bagaimana pun juga kalimat itu terselip dihatinya.

“Aku tidak perduli kata orang, sudah cukup aku mengemis dihadapan para perampok bengis itu. Sudah cukup aku dipermalukan dihadapan Gendis. Sudah saatnya aku berdiri dengan dada tengadah dihadapan orang-orang kademangan. Dan lagi, tentunya Gendis akan bangga jika aku jadi lelaki jantan yang dapat melindunginya,” Kuntara membathin.

“Baiklah Ratih! Kapan kita akan mulai?”

Ratih yang tertunduk seketika mengangkat wajahnya, penuh semangat. “Kau bersedia kakang?”

“Ya!” jawab Kuntara. “Para pengawal inti kademangan pun kini sedang bersiap, menghadapi hari penebusan di bulak panjang saat purnama naik nanti. Mudah-mudahan aku belum terlambat.”

Ratih sempat tertegun. Walaupun jarang keluar rumah, tetapi sedikit banyak ia tahu bahwa Gendis anak Ki Demang ditawan gerombolan perampok. Terselip juga perasaan aneh dihatinya, ia seperti tidak rela jika Kuntara turut membebaskan Gendis. Meskipun ia tahu selama ini keduanya diketahui memiliki hubungan. Ratih hanya menarik napas dalam-dalam, seolah menahan perasaan dihatinya.

“Kakang! Kita dapat mulai berlatih setiap sore ditempat ini. Aku rasa tempat ini cocok, karena terlindung pepohonan dan rumpun bambu.”

“Baiklah!” Kuntara Mengangguk. “Sekarang, marilah kita kembali ke pendapa, aku takut ibuku menjadi khawatir.”

“Tapi sebelum itu, benahilah kain panjangmu yang kau singkap itu! Aku tidak ingin ibuku berprasangka yang tidak-tidak,” kata Kuntara lagi.

Ratih seketika wajahnya memerah mendapat teguran seperti itu, dengan tergesa-gesa ia menurunkan kain panjangnya. Sesungguhnya tidak pantas seorang gadis menyingkap kain panjangnya dihadapan laki-laki.

Keduanya kemudian kembali ke pendapa, tidak ada yang diperbicangkan lagi saat mereka kembali ke pendapa. Dikepala Kuntara hanya terbayang sosok Gendis yang terkagum-kagum karena keperkasaannya. Hal itu dapat terwujud, jika ia mampu menyerap ilmu kanuragan Ratih yang diturunkan dari ayahnya. Ratih sendiri merasa mendapat tempat atau alasan untuk selalu bertemu Kuntara. Sejatinya walaupun Kuntara menganggapnya sebagai adik, akan tetapi ia seperti terpaut dengannya, karena Kuntara adalah teman sepermainannya semasa kecil.

Setibanya di pendapa, keduanya dikejutkan kehadiran ibu Kuntara yang memandang keduanya aneh.

“Apa yang kalian berdua lakukan di pekarangan sana?” tanya Nyi Widati.

Sejenak Ratih dan Kuntara berpandangan, seolah menelaah arti dari pertanyaan Nyi Widati. Tetapi kemudian keduanya sadar, bahwa baju lurik Kuntara tidak dalam keadaan utuh, atau koyak pada bagian pundak.

Kuntara pun menjawab. “Tidak apa ibu! Bajuku ini hanya tersangkut ranting bambu.”

Nyi Widati mendekati Ratih yang tertunduk. “Kau tidak apa-apa Ratih?” ujar Nyi Widati sambil menatap setiap jengkal tubuh Ratih.

“Tidak Bi! Aku baik-baik saja,” jawab Ratih.

“Kau jangan menjadi gila Kuntara! Ratih sudah seperti adikmu sendiri, seharusnya kau melindunginya,” kata Nyi Widati dengan nada tinggi.

Kuntara pun terkejut mendengar tanggapan ibunya. “Tidak yang seperti ibu bayangkan, aku tidak menyakitinya ibu, tanya saja sendiri pada Ratih!”

Nyi Widati masih kurang mapan dengan jawaban Kuntara. Dipandanginya keduanya, dilihatnya memang peluh mengalir ditubuh mereka, sehingga terlihat membasahi pakaian keduanya.

“Katakan Ratih! Apa yang kalian lakukan dibelakang sana?” tanya Nyi Widati menegang.

Kuntara yang melihat Ratih makin tertunduk dan tersudut dengan pertanyaan ibunya, akhirnya ia mencoba menjelaskan.

“Jangan berpikir yang tidak-tidak ibu!” kata Kuntara lagi.

“Apa maksudmu? Bagaimana dengan bajumu yang koyak itu, kau masih mau membeladiri lagi?” Nyi Widati memandang tajam anaknya.

“Ratih hanya mencoba mengajariku menjadi lelaki sejati ibu!”

“Kuntara!” tangan Nyi Widati diangkat tinggi-tingi, hendak menampar Kuntara.

“Bibi!” Ratih terpekik. Membuat Nyi Widati mengurungkan niatnya.

“Apalagi Ratih? Mata tuaku ini tidak bisa kalian bohongi dengan perbuatan tidak pantas itu!” kata Nyi Widati dengan nada tinggi.

Ratih mencoba memahami kekhawatiran Nyi Widati. Ia pun mencoba menjelaskan.

“Bibi! Aku hanya ingin memberi bekal sedikit yang aku pelajari dari ayahku. Seperti bibi ketahui kakang Kuntara tidak memiliki bekal kanuragan. Oleh karena itu sebagai lelaki pelindung bagi bibi, aku ingin mengajarkan bekal yang tidak seberapa ini kepada kakang Kuntara,” kata Ratih sambil tertunduk.

Nyi Widati menarik napas dalam-dalam. Ia memang mengakui, sepanjang hidup suaminya, Kuntara tidak pernah berminat belajar ilmu kanuragan. Walaupun mendiang suaminya beberapa kali pernah menawarkan Kuntara untuk mempelajarinya.

Nyi Widati pun merasa, bahwa kedekatan keduanya akan merubah tanggapan Kuntara terhadap Ratih. Sebenarnya ia lebih setuju, jika Kuntara berjodoh dengan Ratih ketimbang Gendis anak Demang Kembojan itu. Tetapi apa daya, Kuntara hanya menganggap Ratih seperti adiknya saja.

“Maafkan aku yang salah duga, Ratih!” kata Nyi Widati kemudian, sambil memeluk Ratih

“Aku mendukung niat kalian berdua, sudah saatnya kau bangkit Kuntara. Sibukkanlah dirimu dengan hal yang bermanfaat!”

“Nah Kuntara! Sekarang, antarkan Ratih pulang kerumahnya. Tentu Ki Dipawana merasa khawatir, karena hampir senja Ratih belum pulang.”

Kuntara mengangguk. “Baik ibu!”

Nyi Widati tersenyum penuh harapan memandang Kuntara yang mengantarkan Ratih pulang.

“Mudah-mudahan ini awal yang baik,” gumam Nyi Widati.

            Kuntara yang mengantar Ratih pulang, berjalan disisi Ratih. Kembali terbersit dipikirannya, perasaan kagum atas pribadi Ratih. Tetapi ia mencoba menafikkannya, dengan membandingkannya dengan Gendis.

“Ah tidak! Ratih hanya gadis polos yang kesehariannya bergelut di dapur. Sedangkan Gendis gadis terhormat, dan lagi cerdas. Gendis gemar membantu orang yang dalam kesusahan dan lagi aku sudah pernah ingin menikahinya,” Kuntara membathin.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun