Mohon tunggu...
Acha Khairunisa
Acha Khairunisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Sastra Indonesia

Hanya senang menulis suatu karya tulis yang berharap dapat bermanfaat bagi siapapun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kaca yang Pecah

25 Februari 2024   17:00 Diperbarui: 25 Februari 2024   17:03 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang diharapkan dari hidup di dunia ini? Mengejar impian? Menggapai semua hal yang ingin kamu lakukan? Atau hal-hal lain yang kamu harapkan baik ke depannya. Yah, harusnya begitu. Harusnya punya mimpi. Punya hal yang dapat dikejar. Punya sesuatu yang harusnya dapat menjadi hal baik.

Tapi, apakah dirinya---Gayatri Andini Permata Putri, masih pantas untuk mengharapkan dan meraih semua itu? Setelah suatu bencana yang membuat hidupnya hancur, sehancur-hancurnya.

***
Andin nama panggilannya. Gadis cantik yang duduk di bangku SMA kelas 12 merupakan gadis pintar, baik, dan selalu diagung-agungkan guru dan teman-temannya. Prestasi gemilang, selalu membanggakan sekolah dan orangtuanya membuat dirinya menjadi terkenal di sekolah ternama.

Bagi Andin kebanggaan menjadi pemantik untuk bersemangat dalam menjalani hari-harinya dan kasih sayang orangtua jugalah yang membuatnya berharap bahwa hari-hari baik akan berjalan dengan lancar.

"Ndin, lu tau kagak sih. Si Rani kemarin tuh pergi bareng pacarnya di salah satu hotel." Syifa tiba-tiba berbalik ke belakang, menghadap Andin yang sedang melihat handphone nya.

"Enggak tuh, emang kenapa kalau Rani ke hotel?" tanya Andin dengan polos.

"Ck ck, seriusan lu kagak tau? Sumpah lah? Denger kata 'hotel' aja gua udah curiga sama tuh anak."

"Lu terlalu hiperbola," pungkas Andin kembali melihat ponselnya.

"Yaelah, gua serius. Nih yaaaa, pasti terjadi sesuatu antara Rani dan pacar." Syifa mengatakan sesuatu yang terdengar ambigu di telingan Andin.

"Gimana-gimana?" tanya Andin tak paham.

"Ituuu, dia gitu-gitu sama pacarnya. Sumpah demi Allah! Gua liat! Waktu itu gua mau ke minimarket, kan di depan minimarket dekat rumah gua ada penginapan gitu, nah disitu gua liat. Pas mau gua samperin, nggak keburu, dia langsung masuk gitu," cerita Syifa menggebu-gebu.

Andin diam sesaat. Mengolah kata demi kata yang diucapkan oleh Syifa. Sejujurnya tadi dia mau bertanya maksud dari kata yang terdengar ambigu diucapkan oleh Syifa, tapi Syifa lebih dulu memotongnya.

"Syif?"

"Ya?"

"Lu seriusan sama berita itu? Maksud gua, nggak mungkinlah, ini Rani lho," ucap Andin masih nggak percaya.

"Yaudahlah, terserah elu Ndin."

Syifa berbalik lagi, berpura-pura ngambek padahal dirinya tau kalau Andin pasti tidak peka sama lingkungan disekitarnya.
***

Berjalan sambil mendengarkan lagu adalah hal yang paling disukai Andin. Dirinya menyukai ketenangan dari balik berisiknya kota yang dia tinggali. Berjalan menyusuri rerumputan yang tingginya tak sampai se-mata kaki dari sekolah, membuat dia berhenti saat menemukan bunga putri malu. Gadis itu berjongkok, memainkan putri malu tersebut dengan riang hati.

"Terbuka, tertutup. Terbuka, tertutup. Terbuka, tertutup." Andin senang sekali dengan bunga itu. Bunga yang akan malu-malu bila disentuh. Walau hidup di rerumputan, bunga putri malu berusaha tetap bertahan ditengah hiruk-pikuk dunia yang berisik.

"Hai gadis cantik!"

Tanpa Andin sadari, seseorang telah berdiri di depannya. Menyapanya dengan suara yang sebisa mungkin lembut. Berharap Andin menoleh padanya. Tapi Andin sama sekali tidak mendengar. Suara musik terlalu keras di telinganya.

"Terbuka, tertutup. Terbuka, tertutup. Terbuka, tertutup." Andin asik dengan aktifitasnya sendiri. Dirinya kaget, saat seseorang tiba-tiba ikut berjongkok di depannya. Tersenyum mengerikan di mata Andin.

"Boleh gabung main?" tanyanya.

Andin mengangguk pelan. Berusaha untuk memikirkan cara kabur tanpa perlu terlihat dari pandangan mata pria itu. Karena dia berfirasat kalau pria ini, bukanlah pria baik-baik.

"Kamu tinggal dimana?" Tiba-tiba saja pria itu menanyakan tempat tinggal Andin.

"Di bumi," jawab Andin asal.

Pria itu tertawa mendengar jawaban absurd Andin.

Andin ketakutan, berdiri. Menunduk dalam, tak ingin menatap wajah pria itu. Sesaat setelah Andin berdiri, pria itu ikut berdiri. Menatap Andin dengan tatapan yang tidak seharusnya. Andin melangkah mundur. Berharap dia dapat kabur dari tempat ini. Namun, saat akan bersiap untuk lari, pria itu mencengkram tangan Andin kuat. Menyeretnya ke semak-semak yang jauh dari keramaian

"Hm, hm! Tolong!! Tolong!!"

Hari itu, Andin berharap dirinya mati saja. Karena sejak hari itu, Andin tau bahwa hidupnya sudah hancur lebur.

***

"Mas, Andin kemana ya? Nggak biasanya dia pulang telat gini. Ini udah tengah malam lho mas." Mama berjalan kesana kemari di depan pintu. Sesekali melihat pintu yang terbuka lebar, berharap anak gadisnya berada di depan rumah mereka dengan keadaan baik-baik saja.

"Tenang Mah, tenang. Andin pasti aman kok. Dia mungkin ada kerja kelompok di rumah temannya." Papa mencoba menenangkan Mama yang khawatir karena anaknya tak kunjung pulang.

"Tapi Mas, Andin itu nggak pernah pulang telat gini. Biasanya dia pulang paling lama tuh sore, terus kasih kabar kalau ada kerja kelompok atau hal lainnya. Ini nggak ada kabar sama sekali dari Andin. Bahkan Mama udah tanya ke gurunya. Gurunya bilang Andin sudah pulang lebih dulu, Pah." Mama terisak kecil. Pikirannya sudah entah kemana, takut hal tidak baik terjadi pada Andin.

Papa menatap pintu rumahnya yang terbuka lebar. "Ayo kita cari Andin Mah," ucap Papa.

Mama menatap Papa lekat, lalu mengangguk pelan. Keduanya bersiap-siap lalu segera mencari Andin di sekitar sekolah gadis itu. Berharap dapat menemukan keberadaan Andin. Mama juga sesekali menelepon teman-teman Andin dan menanyakan keberadaannya atau kapan terakhir kali mereka bertemu Andin. Namun tidak ada satu pun yang mengetahuinya.

Mama kembali menangis, hingga jam satu malam Andin tidak ditemukan. Anak gadisnya seolah di telan bumi dalam sehari. Tak diketahui keberadaanya. Tak diketahui kabarnya. Seakan hilang dengan begitu cepat.

Papa memeluk Mama erat, sama sedihnya dengan Mama. Kemana anak gadis mereka? Andin bukanlah anak nakal atau suka keluar sampai selarut ini. Sekalipun Andin keluar dan akan pulang terlambat, gadis itu akan mengabari Mama dan Papa nya. Papa menatap tajam pada salah satu objek yang ada di depannya. Papa seperti mengenali benda itu. Melepaskan pelukan, Papa berjalan mendekati benda yang tak jauh darinya berdiri. Sebuah sepatu. Sepatunya sama persis dengan yang dikenakan Andin.
 

"Ini sepatu Andin Pah! Sepatu Andin. Pasti Andin ada disekitar sini!" histeris Mama mengambil sepatu Andin.

Mama dengan cepat melangkah lurus sesuai firasatnya. Buru-buru masuk ke dalam semak-semak tersebut. Papa mengikuti Mama, setelah beberapa langkah berjalan. Papa melihat bercak darah bersimbah dimana-mana.

"Mah, sebentar." Papa mengikuti jejak darah tersebut. Hingga Papa menemukan Andin yang tergelatak tak berdaya disana.

"Andin!" Mama berlari. Mendekati tubuh Andin yang tak berdaya dengan simbahan darah dimana-mana.

Terdapat lebam biru dan luka yang tergores di sekujur tubuh Andin. Tubuh gadis itu sangat mengenaskan. Mama menjerit histeris melihat kondisi Andin yang tidak sadarkan diri. Memeluk tubuh rapuh anaknya erat. Seakan tak percaya dengan apa yang telah terjadi pada anak gadisnya.

"ANDIIIIIINNNNNNN!!!!!!"

Mama tak kuasa menatap tubuh mengenaskan Andin. Tubuh anak gadisnya dijamah oleh seorang pria dengan teganya. 


"BANGUN NAK! BANGUN! MAMA DISINI! ANAKKU, ANDIN. MAAFKAN MAMA!!"

"Mama gagal Ndin. Mama gagal, Mama gagal menjaga kamu. Mama gagal jadi ibu. Kamu buah hati Mama Ndin, kamu yang paling Mama sayangi. DENGAN TEGANYA MENGHANCURKAN KEHIDUPAN KAMU!"

Mama menangis histeris, berharap Andin bangun. Berharap ini mimpi. Berharap apa yang dia lihat hanya khayalannya dan kekhawatiran nya saja. Mama sangat berharap.

Papa mencegkram sepatu Andin hingga tidak berbentuk. Hatinya hancur lebur melihat anak gadisnya dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Papa berusaha menjaga Andin, seolah sedang membawa gelas kaca cantik. Berharap kaca itu tidak pecah. Tetapi, kaca itu pecah. Kaca cantik itu pecah ditangan orang yang dengan paksa mengambil nya.

Kaca cantik itu hancur lebur. Kaca itu tidak berbentuk lagi. Tidak akan bisa kembali lagi. Kaca itu pecah berkeping-keping tanpa bisa diperbaiki.

"SAYA MENJAGA ANAK SAYA DENGAN BAIK. PRIA BRENGSEK MANA YANG BUAT ANAK SAYA JADI SEPERTI INI. MAHKOTA NYA, MAHKOTA ANAK SAYA. MASA DEPANNYA. DASAR PRIA BRENGSEK!! AKAN SAYA CARI ANDA HINGGA KE UJUNG DUNIA DAN MENDAPATKAN BALASAN YANG SETIMPAL!!!"

Patah hati seorang ayah yang paling besar adalah disaat melihat hidup anak gadisnya hancur berkeping-keping.

***

Andin terbangun dengan kondisi melemah. Gadis itu menatap atap ruangan putih itu lekat. Dia ketakutan, bayangan wajah mengerikan pria itu membayang di ingatan Andin.

Kriet.

Suara pintu terbuka, membuat Andin refleks terduduk dari tidurnya. Nyeri hebat di bawah perutnya membuat Andin meringis kesakitan. Seseorang dengan badan besar masuk ke dalam ruangan putih itu, sosok Papa dengan wajah syukur karena anak gadisnya akhirnya siuman.

"Andin! Anak papa yang paling Papa sayangi!"

"Tidak! Tidak! Pergi kamu! Pergi!"

Andin melempar semua barang yang ada disekitarnya. Menarik rambutnya frustrasi. Tremor hebat saat Papa mendekatinya. Andin melepas alat infus di tangannya. Seakan tak merasakan sakit sama sekali, Andin berlari ke sudut ruangan. Menggeleng kuat, matanya berair dengan kantung mata yang terlihat jelas di matanya.

"Andin, ini Papa Ndin! Ini--"

"Enggak! Laki-laki itu, dia telah menghancurkan semuanya! Diaa--"

Mama datang saat mendengar teriakan Andin. Berlari menghampiri Andin dan langsung memeluk anaknya erat. Ikut menangis saat anak gadisnya menangis histeris.

Papa menyadari perubahan sifat Andin. Mengepalkan tangan kuat. Rasa marah dan geram memenuhi dada Papa. Papa segera keluar dari ruangan. Mengambil tindakan lebih lanjut untuk mencari pelaku yang telah menghancurkan hidupnya.

***

"Bagaimana keadaan nak Andin saat ini?" tanya dokter muda. Wajahnya yang lembut, menatap Andin hati-hati.
Andin menatap sekitar. Masih diruangan yang serba putih. Tapi bedanya ruangan ini terlihat lebih banyak pasokan matahari masuk. Di ruangan sebelumnya, rasa sesak itu terasa. Sangat-sangat terasa.

"Nak Andin?"
Andin terkejut. Menatap dokter muda itu dengan mata sayu nya.

"It's okay nak. Cerita aja kalau kamu mau cerita," ucap dokter muda itu hati-hati.

"Saya...." Andin tercekat. Menatap Mama yang duduk disampingnya. Mama segera memeluk Andin erat.

"It's okay sayang. Cerita aja. Kalau kamu nggak bisa sekarang. Nggak usah dipaksakan," ucap Mama menenangkan Andin.

Andin menggeleng pelan. Menghela napas panjang, mencoba untuk menguasai dirinya sendiri. Lalu mulai bercerita mengenai kejadian yang dia alami.

Andin menangis setelah mengakhiri ceritanya. Sesak di dadanya membludak. Dia benar-benar sudah tidak suci lagi. Andin tidak pantas lagi untuk hidup di dunia. Hal berharga dalam dirinya sudah direnggut. Dia benar-benar tidak berharga lagi. Tidak ada harganya lagi.
Mama memeluk erat Andin. Menenangkan anak gadis. Hatinya hancur, sehancur-hancurnya. Andin---anaknya yang paling dia jaga, dirusak oleh pria bejat.

"Andin, sekarang kamu mau gimana? Melaporkan kasus ini ke polisi? Agar kasusnya di proses lebih lanjut, bagaimana?" tanya dokter tersebut hati-hati.

Andin menunduk dalam. Memikirkan ucapan dokter tersebut.

"Kalau saya melapor ke polisi. Apakah identitas saya tidak akan terbongkar. Maksud saya... saya... takut dihujat dan dihakimi nantinya dan pastinya media berita akan langsung menyoroti kasus ini. Saya... saya takut. Rasanya sesak, sangat sesak."

Andin menutup telinganya. Tangannya bergetar hebat, membayangkan jika dirinya di hujat dan dihakimi di media sosial dan lainnya. Padahal dia sendiri nggak mau. Nggak mau ini terjadi. Andin benar-benar takut akan hal itu.

Sekali lagi Mama memeluk Andin erat. "Kamu aman kok. Tidak akan ada yang menghujat atau menghakimi kamu sayang. Kalau ada, Mama dan Papa akan berada di garda terdepan. Membela kamu, menjauhkan kamu dari orang-orang yang tidak tau bagaimana kamu mengalami hal itu," ujar Mama meyakinkan Andin.

Andin menangis sejadi-jadinya. Harusnya ini tidak terjadi. Kenapa Tuhan tega memberikan cobaan yang berat kepadanya? Rasanya Andin tidak kuat menghadapi hal ini.

***

Papa menunggu diruangan. Setelah melapor ke polisi dan mendesak polisi agar dapat menemukan pelaku. Papa kembali ke rumah sakit. Menunggu Andin dan Mama yang sedang konsultasi dengan psikiater.


Pintu terbuka. Menampakkan sosok Andin yang lemah. Tubuh rapuh itu dipapah oleh Mama hingga benar-benar keluar dari ruangan itu.

Andin terdiam saat melihat Papa yang berdiri tepat di depannya. Dia sadar akan tindakannya tadi. Tapi naluri Andin mengatakan, bahwa semua laki-laki itu sama bejatnya. Andin gemetar, berjalan mundur ke belakang hingga jatuh ke lantai karena tak kuasa menahan tubuhnya untuk tetap berdiri.

"Andin, sayang. Ini Papa nak." Papa berusaha untuk menenangkan Andin, kali ini tidak mendekatinya. Hanya diam di tempat. Meyakinkan Andin, bahwa dirinya adalah Papa Andin. Bukan pria bejat itu.

"Enggak! Enggak! Laki-laki itu sama bejatnya! Laki-laki itu telah mengambil hal berharga di diri Andin. Andin nggak ada harga nya lagi! Andin sudah tidak suci lagi. "

Andin menangis histeris. Kejadian mengerikan itu terus berputar di benak Andin, hingga Andin rasanya ingin muntah.

"Andin jijik! Andin jijik sama diri Andin sendiri."

Mama menangis, memeluk Andin erat. Andin trauma, takut, cemas, seluruh emosionalnya membludak hingga tak bisa dia kendalikan. Bahkan melihat Papa nya saja, Andin tidak mau.

***

Satu bulan berlalu semenjak kejadian itu. Andin tidak lagi bersekolah, dirinya lebih memilih untuk berdiam diri dirumah. Tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa. Untuk dengan Papa nya, Andin sebisa mungkin untuk terlihat biasa saja, tidak ingin histeris. Luka dan lebam yang ada di tubuh Andin sudah mulai sembuh. Hanya saja saat ini, Andin sedang mengandung anak dari pelaku yang tidak dia inginkan.

Andin diam di sudut kamar. Memukul perutnya sekuat tenaga, menangis dalam diam. Meski sebulan sudah berlalu, tapi kejadian menjijikkan itu masih terbayang di ingatan. Deretan kejadian yang tidak ingin dia ingat. Kenapa masih terus berputar disana? Andin benci akan dirinya.

"Andin sayang, makan yuk." Mama membuka pintu kamar. Terkejut melihat Andin yang menangis histeris sambil terus memukul perutnya.

Mama meletakkan nampan diatas nakas, lalu menghampiri Andin dan memeluk anak gadisnya.

"Mah, anak siapa ini? Ini bukan anakku. Anak di dalam perut ini bukan anakku. Aku nggak mau punya anak Mah. Aku mau sekolah, kuliah, mengejar mimpiku lagi. Menggapai apa yang mau aku gapai. Bermimpi sebanyak yang aku mau dan menggapainya satu per satu Mah. Ini bukan anakku. Dia anak laki-laki bejat itu! Dia anak si brengsek itu!"

Andin kembali menangis histeris. Memukul perutnya sekuat tenaga, berharap dirinya keguguran. Haahhh, harapan itu. Rasanya omong kosong belaka. Tidak ada gunanya. Semaunya sudah hancur lebur.

Papa yang berdiri di dekat pintu, menatap sedih pada anak gadisnya. Tapi Papa tidak bisa diam begini, dia harus memberitahu sesuatu hal.

"Mah,"panggil Papa.

Mama menoleh, menghampiri Papa. "Ada apa Pah?"

"Pelakunya sudah ditangkap," ucap Papah lirih.
Mama membulatkan mata lebar. Antara sedih dan marah ketika tahu bahwa pelakunya telah ditangkap. Mama memegang tangan Papa, menanyakan sekali kepastiannya.

"Serius Pah?"

"Iya Mah, dan polisi minta Andin datang di sidang nanti sore untuk dimintai keterangan dan polisi juga telah menemukan saksi nya," ujar Papa menatap Andin yang termenung di sudut ruangan.

"Apakah Andin mau Mah? Papa nggak mau dia histeris di persidangan nanti." Mama diam beberapa saat. Menatap Andin lekat. Lalu kembali menatap Papa untuk meyakinkan.

"Mama yakinkan dulu ya Pah. Semoga Andin bersedia," ucap Mama melangkah menghampiri Andin.

"Sayang." Mama memapah Andin ke tempat tidur. Mengelus rambut anak gadisnya lembut, menatap wajah Andin yang pucat dan tak berdaya. "Mimpi kamu tetap bisa di gapai kok. Kamu masih bisa bermimpi sebanyak yang kamu mau. Kamu boleh mewujudkannya satu per satu. Tapi butuh waktu, kamu butuh waktu sayang. Selesaikan satu-satu, jangan terlalu terburu-buru yaa," ucap Mama menenangkan Andin.

Andin menatap wajah sang Mama lekat. Seolah mencari keyakinan dari setiap kata yang diucapkan Mama.

"Tapi anak ini Ma? Ini bukan anak Andin Mah---"

Mama menggeleng pelan, mengelus kembali rambut Andin. "Hei, dia anugrah bagi keluarga kita. Dia itu titipin Tuhan. Malaikat kecil yang akan segera lahir dari perut gadis cantik seperti kamu merupakan anugrah terindah lhoo sayang. Jadi jangan anggap malaikat kecil ini sebagai beban kamu sayang."

Andin menangis pelan, memegangi perut nya. Rasa bersalah hadir dalam diri Andin.

"Mah, maaf. Harusnya Andin tidak seperti ini Mah."

 Mama memeluk Andin erat. "It's okay sayang. Kita hadapi semuanya bersama-sama yaa," ucap Mama mencium puncak kepala Andin.

"Nah, sekarang Mama mau kasih tau kamu sesuatu. Tapi janji jangan nangis atau apapun itu. Kamu harus kuat yaa," ucap Mama hati-hati.

Andin mengangguk pelan. Menatap Mama lekat, menggenggam tangan Mama erat.

"Pelakunya sudah ditangkap dan polisi meminta kamu untuk memberikan kesaksian di persidangan besok. Kamu bersedia sayang?" tanya Mama hati-hati.

Tubuh Andin bergetar, matanya berkaca-kaca. Sekali lagi, ingatan itu kembali lagi. Memutari ingatan Andin hingga Andin muak dan muntah.

"Nak, sayang. Kamu oke? Hei, kalau tidak bersedia juga tidak apa-apa kok, yang terpenting sekarang adalah kondisi kamu. Kalau gitu, biar Mama ke Papa kalau kamu nggak mau yaa."

"Andin mau Mah. Andin mau pria itu dihukum berat," ucap Andin lirih. Badannya masih bergetar.

"Yasudah, kalau gitu kamu istirahat dulu yah." Mama meminta Andin berbaring dan menyelimuti Andin.
Andin memejamkan matanya, berharap hari esok akan lebih indah dan kesaksiannya besok dapat menghukum pria bejat itu seberat-beratnya.

***

Cuaca hari ini begitu dingin, hingga menusuk ke tulang dada. Andin keluar dari mobil dengan didampingi papah dan Mamah. Gadis itu menatap lekat pada gedung di depannya. Rasa takut menjalari seluruh tubuhnya. Rasa ingin kabur sebelum masuk ke gedung membludak di dalam diri Andin. Tapi dia harus bisa. Dia harus bisa. Ini satu-satunya cara untuk dapat membela dirinya dan berharap pelaku mendapatkan hukuman yang sepantasnya.

Mama menepuk bahu Andin pelan. Meyakinkan Andin bahwa dirinya akan baik-baik saja. Begitu juga dengan Papa, Papa menatap Andin dengan sorot bahwa Andin pasti bisa membela dirinya dan juga memberikan hukuman yang setimpal padanya.
Ketiganya melangkah memasuki gedung tersebut dengan harapan yang besar. Bahwa hasil akhirnya nanti sesuai dengan harapan mereka.

Saat akan memasuki ruangan, Andin tiba-tiba merasa pusing dan mual. Gadis itu seakan ingin pingsan saat itu juga. Tapi untungnya Mama menahan tubuh Andin. Sedangkan Papa meminta untuk memberikan kursi roda. Andin akhirnya duduk di kursi roda dengan di dorong Mama. Pintu ruangan itu terbuka lebar, banyak sekali orang disana. Tatapan mengintimidasi yang dirasakan Andin sendiri sangat terasa. Rasa ingin kabur semakin membludak.

"Mah." Andin memegangi tangan Mama erat.

Mama menggeleng pelan, menepuk sekali bahu Andin. "Kamu pasti bisa sayang," bisik Mama pelan.

Beberapa setelah Andin masuk, pelaku masuk ke dalam ruangan dengan dikawal oleh dua polisi. Mata pria itu langsung tertuju pada Andin. Pria itu berhenti, menunjuk Andin dengan sorot meremehkan. Andin menunduk dalam, menggenggam erat kedua tangannya. Berusaha untuk tidak merasa cemas dan lainnya. Berusaha untuk baik-baik saja, karena kalau dirinya terlihat lemah. Maka Andin akan kalah.

Rangkaian pengadilan itu berlangsung cukup lama. Andin dengan setia mendengarkan setiap kalimat yang diucapkan oleh hakim dan lainnya. Hingga pada bagian dimana pengacara pelaku diminta untuk memberikan pernyataan. Pengacara pelaku seolah menyudutkan Andin dan keluarga.

"Saya membantah! Saudari Andin lah yang meenggoda klien saya dengan memakai pakaian yang tidak pantas. Dia juga salah Yang mulia---"

"Pakaian tidak pantas mana yang Anda maksud? Anak saya tidak pernah memakai pakaian ketat. Dia selalu memakai pakaian longgar. Tidak adanya niat bagi anak saya untuk memakai pakaian tak pantas itu. Jangan asal menuduh anda!" Papa naik pitam. Suaranya yang menggelegar mengisi ruangan. Napasnya yang menggebu, seakan siap untuk bertengkar di ruangan itu juga.

"Tapi dia yang menggoda saya lebih dulu!" Pelaku mulai melakukan pembelaan pribadi. Menunjuk Andin dengan sorot bahwa Andin tidak akan bisa menang pada sidang ini.

"Pria bejat! Anak saya tidak akan mungkin melakukan hal itu. Anda kan! Anda yang menyeret anak saya! Buktinya ada sepatu anak saya disana yang tertinggal!" Mama mulai melawan. Muak dengan tuduhan yang tidak benar dari pelaku dan pengacaranya.

"Haahhh, jadi ceritanya saya dikeroyok? Terus apa gunanya hakim kalau kita bisa berdebat dan berkelahi secara langsung biar masalahnya selesai? Nggak guna banget saya buang-buang waktu disini. Mending ke penjara." Pelaku menyorot Andin yang masih tertunduk dalam. Tersenyum remeh saat gadis itu tidak ada pembelaan dari dirinya sendiri.

"Kurang ajar!"

"DIAM!" Andin berusaha berdiri dari duduknya. Menatap balik pelaku tersebut dengan sorot marah. Tangannya terkepal kuat, berusaha untuk menahan seluruh emosionalnya. Menunjuk pelaku.

"Jangan pernah memutar balikkan fakta! Semua yang lu omongin itu tidak benar. Elu yang lebih dulu menghampiri gua. Elu yang menarik tangan gua hingga menyeret gua ke semak-semak. Elu yang maksa-maksa gua buat.... buat....." Andin merasa jijik untuk mengatakannya. Mengingat apa yang terjadi pada dirinya saja, Andin jijik. Rasanya ingin pingsan di tempat saja.

"Elu bahkan melakukan kekerasan pada gua. Menggoreskan banyak luka dimana-mana dan mengancam untuk membunuh gua. Lu yang bejat. Elu laki-laki bejat!" pekik Andin sekuat tenaganya. Meluapkan segala emosi yang ada di dalam dirinya.

"Hahahaha, mencoba membela diri---"

Tok, tok, tok!

"Silakan saudara duduk. Jika tidak, maka sidang ini akan dibatalkan. Dan saudari Andin beserta keluarga juga duduk. Kita selesaikan masalah ini hingga tuntas," titah Hakim mutlak.

Semuanya kembali duduk, mengikuti kembali rangakaian pengadilan itu hingga selesai. Dan putusan akhir dari sidang itu adalah bahwa pelaku dihukum penjara dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dan ketentuan TPKS.

Andin menangis histeris setelah selesai menjalankan sidang tersebut. Pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal dan memang seharusnya pelaku mendapatkan hal tersebut. Saat ini bagi Andin, dirinya harus bisa kembali menata kehidupannya. Kembali seperti diawal, namun Andin enggan untuk kembali ke sekolah meskipun guru dan kepala sekolah nya meminta Andin untuk balik.

Tapi Andin enggan, karena dirinya malu dengan teman-temannya dan dirinya sendiri. Andin masih menganggap bahwa dia begitu menjijikkan.

-SELESAI-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun