Aku melihat dua orang berjalan di sepanjang lorong, aku sudah bersiap menyambut kedatangan mereka.
"Pak, boleh saya bicara sebentar dengan Bapak dan Nadia," ucapku dengan suara pelan kepada ayah Nadia.
Nadia yang berada di samping ayahnya terkejut melihat kami, meskipun ia yang meminta kami datang ke tempat ini.
Ayah Nadia menatap wajahku dengan tanda tanya. Namun ia tampak kesal saat melihat Yeni.
"Kamu lagi," katanya geram kepada Yeni, "kamu mau cari mati ya?"
"Saya mohon Bapak tahan amarah Bapak dulu. Bukankah semua bisa dibicarakan dan diselesaikan baik-baik?" kataku.
"Kalian sebenarnya mau apa? Mengapa kalian mencampuri urusan keluarga kami?"
Aku mengatakan bahwa aku dan Yeni sangat peduli dan sayang pada Nadia dan ingin gadis itu tetap bersekolah dan belajar agar mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada melacur.
Ayah Nadia bertukas bahwa mereka tidak dapat menunggu lebih lama karena Nadia harus menggantikan ibunya yang sedang sakit, sedangkan penghasilannya sebagai petugas keamanan lokasi prostitusi tidak besar dan bahkan terkadang habis untuk bermain judi dan minum-minum. Lelaki itu mengucapkan kalimat terakhirnya dengan bangga dan seakan hal itu bukan hal yang menyakitkan untuk didengar, terutama oleh Nadia.
"Boleh kita bicara di luar, empat mata saja. Saya dan Bapak," pintaku.
Lelaki itu kelihatan gusar.