Mohon tunggu...
Tarie Kertodikromo
Tarie Kertodikromo Mohon Tunggu... profesional -

Pekerja lepas di bidang penulisan, komunikasi, penyelenggaraan event, juga relawan untuk berbagai kegiatan sosial, salah satunya di 1001buku. Kontak lain: FB: Tarie Kertodikromo YM: magicpie2005 Twitter: @mlletarie Blog: http://tariekertodikromo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Membingkai Hati (2)

25 April 2012   11:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:07 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

KETIKA tiba di perpustakaan kulihat mata Yeni sembab setelah menangis. Aku datang pada waktu menjelang sore karena paginya aku mengunjungi mama yang tengah hamil muda.

Aku tertawa saat mendengar kabar kehamilan mama, tak dapat membayangkan aku akan memperoleh seorang adik kecil. Mama kelihatan khawatir dengan kehamilannya, mengingat usianya yang hampir menginjak lima puluh tahun.

"Tidak apa-apa, Ma. Tidak perlu khawatir. Kehamilan ini kehendak Tuhan, kita harus menerima dan menjaganya," kataku menasihati. "Mama tidak boleh terlalu lelah, harus makan banyak yang bergizi dan tidak boleh stres. Lebih baik serahkan pekerjaan pada Riki dan Rani, Mama cukup memantau dari rumah."

Mama mengangguk, menyetujui perkataanku. Namun ia mengakhiri pertemuan kami dengan nasihat yang terdengar menyebalkan di telingaku.

"Cepatlah menikah, Tiara. Jangan sampai kamu baru menikah pada usia tua seperti mama. Tidak baik hamil pada usia di atas tiga puluh."

Aku hanya tertawa dipaksakan, merespon ucapannya. Aku juga tak pernah berniat menikah di usia hampir menginjak lima puluh tahun sepertinya. Namun saat ini, di usia hampir tiga puluh tahun aku memang belum berniat menikah. Aku merasa sudah cukup puas mencintai dan dicintai serta memiliki anak. Bukankah itu yang dicari dari sebuah pernikahan?

Aku tak mampu membaca langkahku ke arah itu. Kubiarkan waktu menjawabnya.

Kudekati Yeni dan kutanyakan apa yang terjadi. Ia mengatakan bahwa Nadia, salah satu relawan muda yang membantunya mengelola perpustakaan harus berhenti. Ayah tirinya baru saja datang dan melabrak Yeni dan menarik paksa Nadia keluar. Lelaki berbadan besar dan bertato itu melarang anaknya datang lagi ke perpustakaan dan menghabiskan waktu di tempat itu. Ia dianggap telah membuang waktu dan kesempatan untuk mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka.

"Aku khawatir sekali Nadia akan dijadikan pelacur oleh bapak tirinya itu," ucap Yeni lirih. Ia katakan bahwa ayah tiri Nadia adalah preman pengamananan lokasi prostitusi yang mendapatkan jatah dari para pengelola rumah bordil dan warung-warung penjual minuman keras. Yang terparah adalah lelaki itu mempekerjakan istrinya di sana sebagai penjaja seks. Kini ia memaksa anaknya pulang untuk bekerja menggantikan ibu Nadia yang tengah sakit-sakitan.

Aku bergidik ngilu mendengarnya. Realitas yang lebih parah dari bayanganku semula di tempat ini. Kuharap aku tak akan mendengar hal yang lebih buruk dari ini.

"Nadia anak yang baik dan pintar. Dua tahun lagi dia lulus SMU. Mengapa bapaknya tidak sabar menunggu dua tahun lagi agar Nadia bisa bekerja yang lebih pantas," ucap Yeni parau, tangisnya terdengar.

"Bapaknya ingin dia segera bekerja, mungkinkah Nadia mendapat pekerjaan yang lebih bermartabat," gumamku.

Aku berpikir keras apakah ada jalan yang lagi-lagi harus mengubah yang terjadi begitu cepat. Terkadang hati kecilku berteriak, Tiara, kau bukan Tuhan atau malaikat yang bisa setiap saat mengubah nasib orang dengan jarimu.

Namun aku tak mampu membiarkan hal yang tak layak terjadi di depan mataku. Aku tak mungkin diam pada saat aku sebenarnya bisa membuatnya tak terjadi.

Tapi Tiara, terlalu banyak orang susah di negeri ini yang tak mungkin dapat kaubantu seluruhnya.

Aku tak berniat membantu seluruh manusia di negeri ini, hanya segelintir saja yang kebetulan kutemui. Karena aku ingin kehadiranku membawa perubahan bagi orang lain.

Ide bagus. Jika ayah tiri Nadia menginginkan gadis itu bekerja dengan alasan uang, aku mungkin akan mempekerjakannya. Di perpustakaan ini.

"Tolong temui mereka, Yen. Katakan kita akan pekerjakan Nadia," ucapku memohon.

"Aku tak berani, Ti. Kejadian ini bukan yang pertama. Hampir setahun yang lalu ibu Nadia juga sakit parah dan Nadia dipaksa bekerja di rumah bordil, tapi tidak sebagai pelacur. Dia membantu salah satu pengelolanya mengatur daftar tamu dan pembayarannya, menggantikan seorang pegawai yang cuti melahirkan."

Yeni menambahkan, ia pernah mendatangi rumah Nadia setelah lebih dari seminggu gadis itu tak datang ke perpustakaan. Ia diusir oleh ayah tiri Nadia dan diancam akan menghajarnya jika berani mengganggu anaknya yang harus bekerja.

Untunglah, atau entah keuntungan yang ironis, ibu Nadia sembuh dari sakitnya dan dapat bekerja kembali, sehingga Nadia dapat kembali ke sekolah dan perpustakaan.

"Nadia adalah gadis yang cerdas. Ia membantuku menangani administrasi di perpustakaan ini," ucap Yeni mengakhiri ceritanya.

Aku merenung sesaat. Apakah aku yang harus maju menemui mereka, pikirku. Aku tak merasa takut sedikit pun dengan preman lokalisasi itu, dan niatku baik. Aku tak perlu takut padanya.

Kukumpulkan kekuatan dan keyakinan agar aku benar-benar siap melangkah menghadapi ayah tiri Nadia. Kuminta alamat rumah gadis itu pada Yeni yang tak ingin menemaniku karena ayah Nadia akan menyalahkannya dan kembali mengancam perempuan itu.

"Dia mengancam akan menghancurkan perpustakaan ini," tukas Yeni, "aku tak mengkhawatirkan diriku, tapi aku tak ingin tempat ini dihancurkan."

Aku mengangguk seraya melangkah pergi. Dengan bantuan secarik kertas dan petunjuk dari orang-orang yang kutanyai, aku mencari rumah Nadia.

Rumah itu berada di ujung barisan rumah yang membatasi permukiman dan lokasi prostitusi. Pantas saja ayahnya mendapat posisi pengaman lokalisasi.

Pintu rumah berdinding setengah bata dan setengah kayu itu tertutup rapat. Jendela yang terbuat dari kawat kasa tertutup tirai kain berwarna merah lusuh dan kotor. Aku mengucapkan salam memanggil penghuni rumah itu.

Seorang anak lelaki berusia sekitar delapan tahun keluar membukakan pintu. Kutanyakan padanya apakah Nadia ada di dalam rumah, ia menjawab gadis itu sedang tidur. Aku meminta izin untuk masuk sedikit ke dalam rumah.

"Ibu kamu masih sakit?" tanyaku pada anak lelaki itu.

"Masih. Ada di dalam."

"Apa kamu bisa bangunkan Nadia?"

Anak itu mengangguk. Ia melangkah ke dalam ruangan yang hanya dibatasi sekat kayu dengan tempat di manaku berdiri. Aku memandangi dinding ruangan itu yang ditempeli kalender dan poster-poster huruf dan angka yang sudah penuh coretan. Aku yakin poster ini dibeli lima tahun lalu saat Nadia mengajarkan adiknya membaca dan berhitung.

Kudengar suara batuk dari dalam dan suara Nadia bicara dengan adiknya. Beberapa saat kemudian Nadia muncul dengan mata bengkak. Saat kuperhatikan, bukan hanya mata, tetapi wajahnya juga memar.

"Ayah kamu memukuli kamu?" tanyaku menyimpulkan.

Nadia mengangguk. "Lebih baik Kakak jangan lama-lama di sini. Bapak bisa marah dan menghajar Kakak dan aku."

"Aku ingin bertemu dengan bapak kamu."

"Untuk apa?"

"Aku akan beri pekerjaan yang lebih baik untuk kamu. Kamu tak perlu melacur."

Nadia tertunduk malu. "Tak ada pekerjaan lain selain melacur di sana. "

"Kamu tak perlu bekerja di sana. Aku akan membayar kamu untuk bekerja membantu Yeni di perpustakaan."

"Bapak tidak akan mengizinkan, Kak."

"Mengapa?"
"Dia tidak mau aku ke perpustakaan. Dia bahkan menyuruhku

berhenti sekolah. Aku harus meneruskan pekerjaan Mak."

Kuminta ia biarkan aku bicara dengan ayah tirinya. Nadia mengatakan ayahnya sedang pergi ke luar dengan sepeda motor, mungkin ke kampung seberang atau mengarah ke Tanjung Priok. Ia memintaku datang nanti malam di rumah bordil Deisye di mana ayahnya akan mengantarnya bekerja.

Aku menghela napas panjang. Aku takut terlambat datang malam nanti dan melihat Nadia sudah bekerja di lokasi prostitusi itu.

Aku meninggalkan rumah Nadia dan kembali ke perpustakaan. Beberapa anak berada di dalamnya sibuk membaca dan berdiskusi mengenai buku yang ada dalam genggaman mereka.

Aku memutuskan untuk menunggu ayah Nadia pulang di sini. Sebelum pukul tujuh aku sudah berada di rumah bordil yang gadis itu sebutkan. Aku tak yakin berani datang sendirian ke tempat itu, seharusnya ada laki-laki yang menemaniku atau perempuan gagah yang siap membelaku bila ada lelaki hidung belang menggangguku.

Mendadak wajah Jessica tebersit dalam pikiranku. Di saat seperti ini aku sangat mengharapkan kehadirannya. Apakah ia mungkin akan tiba-tiba hadir di depanku, seperti ia selalu datang di saat aku benar-benar membutuhkan pertolongan.

Aku mengenyahkan pikiran konyol itu. Jessica bukan malaikat pelindungku. Aku memiliki malaikat pelindung sejati dan Tuhan yang selalu setia menemaniku, bahkan di saat orang-orang yang kusayangi tak berada di sisiku lagi.

"Aku akan menemanimu," ucap Yeni tiba-tiba, "aku tidak ingin menyesal tidak melakukannya jika semuanya sudah terlambat. Aku bersedia menggantikan Nadia melacur asalkan dia bisa melanjutkan sekolah."

Aku terkesiap. "Tidak perlu seekstrim itu, Yen. Masih ada cara lain."

"Itu karena kamu punya uang, dan kamu bisa gunakan uangmu untuk membayar apa pun yang kamu inginkan. Sementara bagiku yang miskin, mungkin hanya pengorbanan seperti itu yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan Nadia."

"Baiklah, tapi biar aku yang berkorban untuknya kali ini. Jangan ikut-ikutan bodoh dengan menjual tubuh untuk perjuangan hidup. Itu berarti kita mendukung perbuatan itu."

Yeni menyerah dan tak mengeluarkan ide bodohnya lagi. Namun kuakui perkataannya benar, aku lebih beruntung darinya yang mampu menggunakan uangku, tepatnya uang mamaku untuk mewujudkan apa yang kuinginkan, termasuk menyelamatkan orang lain. Jika aku berada di posisinya, aku tak tahu apa yang dapat kulakukan.

Aku teringat kembali bagaimana aku berkorban untuk Arya dengan menghabiskan waktuku di dalam penjara agar anakku itu dapat bebas meskipun aku tak bertemu dengannya selama empat tahun. Meskipun dunia di luar penjara sama berbahayanya, namun setidaknya ia masih dapat berlari jika ada orang yang mengganggunya.

Langit mulai gelap. Aku dan Yeni menanti malam. Tepat pukul sembilan belas kami telah berada di depan rumah bordil Diesye.

Aku mengucapkan doa sebelum memasuki tempat itu. Dentuman house music menggema di dalam ruangan yang berhiaskan lampu kerlap-kerlip, menyusup keluar berlomba dengan musik dari rumah bordil lainnya.

Belum terlalu banyak lelaki hidung belang yang datang. Hanya beberapa perempuan tengah duduk di sofa, siap menjajakan kemolekan dan keseksian tubuhnya. Waktu teramai adalah pukul sembilan hingga sebelas malam.

"Mba mau bertemu siapa?" tanya seorang perempuan muda dari balik meja kecil yang diatas terdapat tumpukan buku dan kartu-kartu. Kurasa ia adalah pegawai administrasi rumah bordil ini.

Aku berkata terbata-bata, "sebenarnya... sebenarnya saya ingin bertemu dengan Nadia dan bapaknya. Tapi...."

"Oh Bang Rambo, bapaknya Nadia?"

"Mba kenal?" tanyaku.

"Mereka ada di dalam, sedang mengobrol dengan tante Diesye."

Aku mengalihkan pandangan pada Yeni.

"Boleh kami bertemu dengan mereka? Maksud kami, Nadia dan bapaknya saja. Tolong katakan pada mereka, ada yang ingin bertemu," ucap Yeni.

Perempuan muda itu menggeleng keras. Ia mengatakan bahwa ia tak berani masuk ke ruangan tante Diesye tanpa dipanggil, apalagi menyela pembicarannya dengan seseorang.

"Saya mohon, Mba," kataku mengiba.

"Tidak bisa, Mba. Maaf. Mba tunggu saja di sini. Memangnya ada apa?"

Kukatakan aku tak dapat mengatakan padanya permasalahan yang kami hadapi, namun aku tak dapat menunggu.

Aku berbisik di telinga Yeni dan menanyakan apa yang dapat kami lakukan. Ia mengusulkan mungkin salah satu dari kami dapat mengecoh pegawai administrasi, sementara yang lain menyusup ke dalam dan mencari Nadia dan ayahnya. Aku mengangguk setuju. Kuminta Yeni mengajak perempuan muda itu mengobrol agar aku dapat leluasa masuk.

Saat kurasa waktunya tepat, aku menggerakkan tubuhku dengan cepat dan menyusuri lorong di mana kamar-kamar di mana transaksi seks terjadi berjejer rapi. Kurasa aku telah melewati lebih dari sepuluh kamar.

Di ujung lorong kudengar sayup-sayup suara beberapa orang bicara. Saat aku sampai mendekati suara-suara itu, kulihat sebuah ruangan dengan pintu setengah terbuka.

Aku tak mengenali pemilik suara itu. Dua orang bicara, seorang wanita bersuara lembut namun genit dan seorang lelaki bersuara berat. Aku mempertajam pendengaranku agar dapat menangkap apa yang mereka bicarakan.

Kudengar nama Nadia disebut-sebut, namun suara gadis itu tak terdengar. Ayah tiri Nadia membicarakan tentang gadis itu dengan tawa terbahak-bahak. Dari nada suaranya, lelaki itu merendahkan anak perempuannya itu.

"Aku yakin anakku akan menjadi primadona di rumah bordil ini, Diesye. Anaknya si Mahmud tidak ada apa-apanya dibandingkan Nadia. Anakku lebih cantik dan seksi, lebih mulus. Tamu-tamu dijamin puas dan akan datang lagi," ucap ayah Nadia dengan bangga.

Aku merasa jijik mendengarnya. Aku menahan kegeramanku agar aku dapat menunggu hingga Nadia dan ayahnya keluar dari ruangan itu.

"Mulai kapan Nadia bisa bekerja?" tanya wanita bernama tante Diesye itu.

"Malam ini dia sudah siap bekerja," jawab ayah Nadia.

"Tapi Bapak, Nadia belum siap malam ini," ucap Nadia. Suaranya yang pertama kali kudengar sejak tadi.

"Tunggu apa lagi?" tanya ayah Nadia dengan suara keras, "kamu hanya mengulur waktu. Dasar anak pemalas! Kamu pikir biaya makan kalian selama ini gratis. Sekarang kamu harus gantikan ibu kamu. Dia sudah tua dan sakit-sakitan. Kamu tidak kasihan padanya?"

Nadia tak bicara lagi. Ia tak punya daya lagi untuk membantah ayahnya.

"Baik kalau begitu. Jika Nadia sudah siap, dia bisa menyambut tamu di depan sekarang. Nanti Selly akan bantu Nadia untuk urusan jadwal kerja dan pembayaran," kata tante Diesye, "sekarang aku hanya bermain dari balik layar saja, mengecek laporan keuangan dan promosi ke calon-calon pelanggan melalui internet. Sekarang sudah zaman canggih, Bang. Yang datang ke rumah bordilku bukan orang sembarangan, banyak bos dan pejabat. Aku pilih lokasi di sini karena lebih bebas dan tidak banyak aparat yang minta jatah. Aku tidak mengeluarkan terlalu banyak uang untuk suap."

Aku masih mematung dan tak tahu apa yang harus kulakukan. Hanya menunggu Nadia dan ayahnya benar-benar keluar tanpa tante Diesye.

Tubuh besar bang Rambo terdengar bangkit dari duduknya. Ia mengucapkan terima kasih pada tante Diesye dan akan segera keluar, dan membiarkan anaknya tetap tinggal di ruang tamu rumah bordil itu.

Aku segera berjalan cepat meninggalkan lorong itu. Aku tak peduli tatapan pegawai administrasi yang masih mengobrol dengan Yeni yang seakan bertanya, dari mana saja aku.

"Terima kasih, tadi saya menumpang buang air kecil," ucapku.

Perempuan muda itu mengangguk.

Aku melihat dua orang berjalan di sepanjang lorong, aku sudah bersiap menyambut kedatangan mereka.

"Pak, boleh saya bicara sebentar dengan Bapak dan Nadia," ucapku dengan suara pelan kepada ayah Nadia.

Nadia yang berada di samping ayahnya terkejut melihat kami, meskipun ia yang meminta kami datang ke tempat ini.

Ayah Nadia menatap wajahku dengan tanda tanya. Namun ia tampak kesal saat melihat Yeni.

"Kamu lagi," katanya geram kepada Yeni, "kamu mau cari mati ya?"

"Saya mohon Bapak tahan amarah Bapak dulu. Bukankah semua bisa dibicarakan dan diselesaikan baik-baik?" kataku.

"Kalian sebenarnya mau apa? Mengapa kalian mencampuri urusan keluarga kami?"

Aku mengatakan bahwa aku dan Yeni sangat peduli dan sayang pada Nadia dan ingin gadis itu tetap bersekolah dan belajar agar mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada melacur.

Ayah Nadia bertukas bahwa mereka tidak dapat menunggu lebih lama karena Nadia harus menggantikan ibunya yang sedang sakit, sedangkan penghasilannya sebagai petugas keamanan lokasi prostitusi tidak besar dan bahkan terkadang habis untuk bermain judi dan minum-minum. Lelaki itu mengucapkan kalimat terakhirnya dengan bangga dan seakan hal itu bukan hal yang menyakitkan untuk didengar, terutama oleh Nadia.

"Boleh kita bicara di luar, empat mata saja. Saya dan Bapak," pintaku.

Lelaki itu kelihatan gusar.

"Saya punya tawaran untuk keluarga Bapak dan Nadia. Saya jamin ini tidak akan merugikan kalian."

Sambil menahan amarah, ayah Nadia mengajakku keluar rumah bordil. Sebelum melangkah keluar kuminta Yeni untuk menjaga Nadia agar tidak ada lelaki hidung belang yang menyentuh gadis itu barang sedikit pun. Kuminta ia lakukan apa pun untuk mencegah itu terjadi.

Bang Rambo membawaku ke sebuah warung minuman keras yang masih sepi di ujung gang. Ia memesan bir dan mulai menyalakan rokonya.

"Sekarang katakan apa yang kamu tawarkan. Kalian ini memang orang-orang aneh. Hidup ini sudah susah, kalian menambah susah diri kalian dengan menyampuri urusan orang lain," ucapnya, "aku sendiri saja tidak peduli pada Nadia. Jangankan pada dia, pada ibunya aku juga tidak peduli."

"Tapi saya peduli pada Nadia. Sebagai seorang perempuan, sebagai seorang kakak dan sebagai teman. Saya tidak bisa tinggal diam melihat gadis cerdas seperti Nadia dipaksa bekerja dan meninggalkan haknya untuk sekolah dan membaca buku di perpustakaan."

"Aku tidak memintanya berhenti sekolah. Aku hanya minta dia kerja menggantikan ibunya."

"Tapi dia tidak akan punya lagi waktu untuk sekolah dan belajar, bila dia melacur hingga pagi. Belum lagi rasa malu yang harus dia tanggung di hadapan teman-teman sekolahnya karena dia seorang pelacur."

"Kukatakan padamu sekali lagi, aku tidak peduli sama sekali."

Aku menyerah karena tak mampu mengubah jalan pikiran dan hati lelaki itu. Maka aku menawarkan pekerjaan sebagai seketaris perpustakaan untuk Nadia dengan gaji tetap setiap bulan. Aku juga akan membiayai pengobatan penyakit ibu Nadia sehingga uang yang diperoleh gadis itu dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Aku juga akan menanggung seluruh biaya apa pun menyangkut sekolah Nadia dan adik lelakinya di luar iuran sekolah yang sudah tertanggung beasiswa yang dikelola Fatia.

"Berapa kamu bayar Nadia untuk pekerjaan itu?" tanya bang Rambo.

Aku terdiam sesaat. "Di kisaran tujuh ratus lima puluh ribu."

Ayah Nadia tertawa terbahak-bahak. "Hanya tujuh ratus? Nadia bisa lebih sepuluh kali lipat dengan bekerja di Diesye. Aku yakin dia akan dapat langganan bos-bos dan pejabat. Penghasilannya bisa lebih dari satu juta sehari, dan kamu hanya akan bayar dia dengan tujuh ratus ribu."

Kukatakan bahwa untuk pelajar sepertinya dengan pekerjaan yang tidak terlalu berat di perpustakaan, gaji sejumlah itu sangat besar. Kuyakinkan ia bahwa pekerjaan di perpustakaan lebih mulia dan lebih menaikkan harga diri Nadia.

"Peduli setan dengan harga diri. Di sini semua orang berlomba menjual harga dirinya. Masih untung jika ada yang beli. Kami cuma butuh makan untuk hidup."

"Dan mabuk-mabukan," sindirku.

"Kamu pikir bisa membeli pendirianku?"

"Jika harus, karena kata-kata sudah tidak mempan lagi."

"Berikan sepuluh kali lipat dari itu, aku akan lepas Nadia. Serahkan pembayarannya langsung setiap bulan kepadaku."

"Ini pemerasan. Dua kali lipat. Saya pikir itu lebih dari cukup untuk makan Bapak sekeluarga. Bukankah Bapak juga punya penghasilan?"

"Aku tidak punya urusan dengan harga diri Nadia dan aku bisa dapat jauh lebih banyak dengan mempekerjakannya di Diesye."

"Mengapa Bapak tega sekali pada Nadia? Berikan sedikit belas kasihan padanya, jika bukan sebagai anak, setidaknya sebagai manusia. Perbuatan Bapak itu sangat kejam dan melanggar hukum segala hukum."

Tangan besar bang Rambo merengkuh bagian bawah wajahku dan menekannya. Aku menahan sakitku. "Bicara apa kamu? Jangan bicara omong kosong di tempat ini. Di sini tidak ada hukum Bahkan di negara ini tidak ada hukum."

Aku menepis tangannya yang tercium aroma minuman keras.

"Baik. Lima kali lipat. Ini penawaran terakhir. Jika uang halal saja tidak dapat membeli hati Bapak yang jahat, mungkin Tuhan juga enggan mendekat. Berarti ini di luar kekuasaan saya dan saya tak boleh menyalahkan diri saya karena tak mampu menolong Nadia.

Aku sudah hendak beranjak dari hadapan lelaki menyebalkan itu, saat ia mengatakan setuju untuk menerima lima kali lipat pembayaran dari yang kutawarkan semula. Aku akan memberinya hampir empat juta rupiah setiap bulan untuk menyelamatkan keperawanan seorang anak perempuan.

"Saya berikan setengahnya besok," kataku seperti permintaannya, "sisanya akhir bulan ini. Tapi pastikan tidak ada lelaki yang menyentuh Nadia. Termasuk Bapak."

Lelaki itu tertawa terbahak-bahak.

"Saya serius. Sedikit saja Bapak menyentuh kulitnya, saya tidak segan-segan membalas perbuatan Bapak."

"Baiklah, Malaikat Cantik," katanya sambil menyentuh pipiku dengan ujung telunjuknya.

Aku menghempaskannya dan menatap matanya tajam menampakkan kemarahanku.

"Satu lagi. Setelah sembuh dari sakit, ibu Nadia tidak boleh bekerja melacur lagi. Jadi uang empat juta sudah termasuk menyelamatkan ibunya."

"Ya, ya. Rasanya empat juta cukup untuk makan keluarga kami sebulan."

"Agar uang itu tidak habis untuk mabuk-mabukan, dua juta saya berikan pada Bapak, sedangkan dua juta lagi saya berikan pada ibu Nadia. Bagaimana? Saya harap ibu Nadia dapat menyimpannya untuk kebutuhan kalian nanti setelah Nadia lulus sekolah dan saya tak perlu menggajinya."

Ayah Nadia setuju. Aku segera berjalan ke arah rumah bordil Diesye, menarik tangan Nadia dan mengajak Yeni keluar.

"Kamu tidak boleh ke tempat ini lagi, Nadia," ucapku, "mulai besok kamu bekerja di perpustakaan sepulang sekolah. Kamu tak perlu takut pada bapak kamu. Pengobatan ibu kamu juga akan kutanggung. Kamu harus tetap sekolah dan aku yang akan bertanggung jawab pada semua biayanya."

"Terima kasih, Kak. Tapi bagaimana Kakak..."

"Jangan pikirkan apa pun. Yang harus kamu lakukan adalah mempertahankan harga diri kamu. Jangan pernah berpikir melacur adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa kamu lakukan. Tingkatkan keterampilan kamu. Belajar bahasa Inggris dan cari pengetahuan lain. Dua tahun lagi kamu keluar dari Rawamalang, bekerja dan tinggal tanpa bapak kamu yang brengsek itu."

"Aku tidak mungkin meninggalkan ibu saya."

"Itulah yang kamu harus lakukan. Membebaskan ibu kamu dari kebiadaban bapak kamu. Kalian tidak perlu menggantung diri padanya. Dia jelas-jelas tidak menyayangi kalian."

"Kakak beri bapak uang?"

"Aku berikan setengah dari gaji kamu bekerja di perpustakaan. Setengahnya akan kuberikan pada ibumu. Gunakan sebaik-baiknya. Bila perlu, sebelum kamu lulus, kamu sudah pindah dari sini. Lebih baik aku cari orang lain untuk bekerja di perpustakaan menggantikanmu. Aku sangat khawatir dengan keselamatan kalian."

Kami terus berjalan menyusuri gang. Musik dari berbagai sumber terdengar saling menghantam dan ingin didengar. Tawa keras dari para lelaki hidung belang dan tawa genit para penjaja seks mengiringi langkah kami. Aku muak dengan tempat ini.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun