"Saya punya tawaran untuk keluarga Bapak dan Nadia. Saya jamin ini tidak akan merugikan kalian."
Sambil menahan amarah, ayah Nadia mengajakku keluar rumah bordil. Sebelum melangkah keluar kuminta Yeni untuk menjaga Nadia agar tidak ada lelaki hidung belang yang menyentuh gadis itu barang sedikit pun. Kuminta ia lakukan apa pun untuk mencegah itu terjadi.
Bang Rambo membawaku ke sebuah warung minuman keras yang masih sepi di ujung gang. Ia memesan bir dan mulai menyalakan rokonya.
"Sekarang katakan apa yang kamu tawarkan. Kalian ini memang orang-orang aneh. Hidup ini sudah susah, kalian menambah susah diri kalian dengan menyampuri urusan orang lain," ucapnya, "aku sendiri saja tidak peduli pada Nadia. Jangankan pada dia, pada ibunya aku juga tidak peduli."
"Tapi saya peduli pada Nadia. Sebagai seorang perempuan, sebagai seorang kakak dan sebagai teman. Saya tidak bisa tinggal diam melihat gadis cerdas seperti Nadia dipaksa bekerja dan meninggalkan haknya untuk sekolah dan membaca buku di perpustakaan."
"Aku tidak memintanya berhenti sekolah. Aku hanya minta dia kerja menggantikan ibunya."
"Tapi dia tidak akan punya lagi waktu untuk sekolah dan belajar, bila dia melacur hingga pagi. Belum lagi rasa malu yang harus dia tanggung di hadapan teman-teman sekolahnya karena dia seorang pelacur."
"Kukatakan padamu sekali lagi, aku tidak peduli sama sekali."
Aku menyerah karena tak mampu mengubah jalan pikiran dan hati lelaki itu. Maka aku menawarkan pekerjaan sebagai seketaris perpustakaan untuk Nadia dengan gaji tetap setiap bulan. Aku juga akan membiayai pengobatan penyakit ibu Nadia sehingga uang yang diperoleh gadis itu dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Aku juga akan menanggung seluruh biaya apa pun menyangkut sekolah Nadia dan adik lelakinya di luar iuran sekolah yang sudah tertanggung beasiswa yang dikelola Fatia.
"Berapa kamu bayar Nadia untuk pekerjaan itu?" tanya bang Rambo.
Aku terdiam sesaat. "Di kisaran tujuh ratus lima puluh ribu."