Perempuan muda itu menggeleng keras. Ia mengatakan bahwa ia tak berani masuk ke ruangan tante Diesye tanpa dipanggil, apalagi menyela pembicarannya dengan seseorang.
"Saya mohon, Mba," kataku mengiba.
"Tidak bisa, Mba. Maaf. Mba tunggu saja di sini. Memangnya ada apa?"
Kukatakan aku tak dapat mengatakan padanya permasalahan yang kami hadapi, namun aku tak dapat menunggu.
Aku berbisik di telinga Yeni dan menanyakan apa yang dapat kami lakukan. Ia mengusulkan mungkin salah satu dari kami dapat mengecoh pegawai administrasi, sementara yang lain menyusup ke dalam dan mencari Nadia dan ayahnya. Aku mengangguk setuju. Kuminta Yeni mengajak perempuan muda itu mengobrol agar aku dapat leluasa masuk.
Saat kurasa waktunya tepat, aku menggerakkan tubuhku dengan cepat dan menyusuri lorong di mana kamar-kamar di mana transaksi seks terjadi berjejer rapi. Kurasa aku telah melewati lebih dari sepuluh kamar.
Di ujung lorong kudengar sayup-sayup suara beberapa orang bicara. Saat aku sampai mendekati suara-suara itu, kulihat sebuah ruangan dengan pintu setengah terbuka.
Aku tak mengenali pemilik suara itu. Dua orang bicara, seorang wanita bersuara lembut namun genit dan seorang lelaki bersuara berat. Aku mempertajam pendengaranku agar dapat menangkap apa yang mereka bicarakan.
Kudengar nama Nadia disebut-sebut, namun suara gadis itu tak terdengar. Ayah tiri Nadia membicarakan tentang gadis itu dengan tawa terbahak-bahak. Dari nada suaranya, lelaki itu merendahkan anak perempuannya itu.
"Aku yakin anakku akan menjadi primadona di rumah bordil ini, Diesye. Anaknya si Mahmud tidak ada apa-apanya dibandingkan Nadia. Anakku lebih cantik dan seksi, lebih mulus. Tamu-tamu dijamin puas dan akan datang lagi," ucap ayah Nadia dengan bangga.
Aku merasa jijik mendengarnya. Aku menahan kegeramanku agar aku dapat menunggu hingga Nadia dan ayahnya keluar dari ruangan itu.