Adapun jika tidak ada harapan lagi untuk bisa diambil manfaatnya dikemudian hari, maka dalam hal ini ada yang membolehkan jika berada di luar kota, karena memiliki kesulitan dalam perbaikannya. Kebolehan tersebut dengan mengqiyaskan pada pakaian yang telah usang. Namun jika berada di dalam kota maka benda wakaf itu tidak boleh dijual, karena ada kemungkinan untuk diperbaiki.[22]
Madzhab Hambali
 Dalam pendapat madzhab Hambali mengatakan bahwa hukum asal menjual benda wakaf adalah haram, tetapi hal itu diperbolehkan dalam kondisi darurat demi menjaga tujuan wakaf, yakni agar benda wakaf dapat dimanfaatkan oleh umat. [23] Seperti benda wakaf rusak dan tidak menghasilkan apa-apa serta tidak dapat memberikan manfaat lagi bagi penerima wakaf, maka diperbolehkan untuk dijual dengan hasil penjualannya dibelikan benda lain sebagai gantinya.[24]
Termasuk dalam hal ini masjid yang rusak atau berada di daerah yang menyebabkan terhalangnya jamaah untuk menggunakannya, juga dapat diperjual belikan menurut pandangan ulama madzhab Hambali.[25]Â
Ibnu Qudamah menyatakan pendapatnya dengan didasarkan pada kemaslahatan yang ada di dalamnya, dimana sangatlah tidak baik jika benda wakaf yang telah rusak dan tidak bisa memberikan manfaat lagi dibiarkan begitu saja tanpa ada tindakan positif terhadapnya. Sehingga benda wakaf yang sudah rusak dan tidak dapat difungsikan lagi dapat diperjual belikan.[26].
Dalam hal penjualan masjid, dalam madzhab Hambali ada yang membolehkannya sebagaimana pendapat Ibnu Taymiyah yang menyatakan bahwa jika masjid rusak dan tidak mungkin lagi difungsikan, maka boleh dijual dan hasilnya untuk membeli apa yang dapat menggantikannya. Karena jika yang asal tidak dapat mencapai tujuannya, maka diganti dengan benda lainnya. Misal membangun masjid baru yang lebih layak bagi masyarakat setempat, maka masjid yang lama dapat dijual.
 Selain itu, ada pendapat dalam madzhab Hambali yang melarang penjualan masjid. Hal ini merujuk pada adanya riwayat yang melarang penjualan masjid, seperti perkataan  Abu Bakar yang diriwayatkan oleh Ali bin Abu Said bahwa masjid tidak boleh dijual, yang dibolehkan hanya pemindahan perlengkapan yang terdapat di dalamnya.[27]
Dalam madzhab Hambali juga diterangkan bahwa yang berhak melakukan penjualan atau penukaran benda wakaf adalah hakim, jika wakaf tersebut ditujukan untuk umum. Namun jika wakaf tersebut ditujukan untuk orang-orang tertentu, maka yang berhak adalah Nadzir dengan memperoleh izin sebelumnya dari hakim.[28]
Â
Madzhab Hanafi
 Dalam madzhab Hanafi, Ibdal dan Istibdal boleh dilakukan oleh siapa saja, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Pendapat mereka menitikberatkan pada kemaslahatan dan aspek kemanfaatan yang ada pada benda wakaf. [29]
Kebolehan tersebut dapat dilakukan dalam tiga kategori yang berbeda tentang keduanya yaitu: 1) ibdal atau istibdal disyaratkan oleh waqif. 2) ibdal/istibdal tidak disyaratkan oleh waqif, baik ia memang tidak menyinggung sama sekali atau jelas-jelas melarangnya. Sedangkan di sisi lain, kondisi mauqf (benda wakaf) sudah tidak dapat difungsikan dan dimanfaatkan lagi. 3) ibdal/istibdal tidak disyaratkan oleh waqif, sedangkan mauqf masih dalam keadaan terurus dan berfungsi, tetapi ada barang pengganti yang dalam kondisi menjanjikan.[30]