Oleh karena itu, seorang nadzir juga tidak memiliki hak milik atas benda wakaf yang dikelonya. Namun pada dasarnya nadzir memiliki hak jual jika sudah mendapat ijin dari hakim sebagaimana hal ini dinyatakan oleh ulama madzhab Hambali[79], yang dalam hukum yang berlaku di Indonesia hal itu diqiyaskan pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia. Di mana nadzir sebagai pengelola benda wakaf dapat menjual benda wakaf jika mendapat ijin dari Menteri dan BWI itu sendiri.[80]
Namun untuk dapat menjual benda wakaf itu sendiri, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi benda wakaf yangdapat diperjual belikan. Namun pada kenyataannya, praktik jual beli benda wakaf di masjid Istiqlal Desa Palengaan Daja belum memenuhi syarat tersebut sehingga masih memiliki hukum yang sama dengan hukum asalnya, yakni dilarang untuk dijual dalam pandangan ulama madzhab Syafi'i, Maliki dan Hambali.
Oleh karena itu, pihak yang menjual benda wakaf di masjid Istiqlal Desa Palengaan Daja merupakan pihak yang tidak memiliki hak jual atas benda yang diperjual belikan. Sedangkan dalam hukum muamalahnya, salah satu syarat jual beli adalah penjual merupakan pemilik atau orang yang memiliki hak jual atas benda yang dijualnya. [81]
Dalam hukum Islam, menjual sesuatu yang bukan miliknya atau tidak memiliki hak atas benda yang akan dijual merupakan transaksi yang dilarang. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i dan Ibnu Majah dari Hakim bin Hizam bahwa ia bertanya pada Rasulullah:
"Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mendatangiku seraya meminta kepadaku agar aku menjual kepadanya barang yang belum aku miliki dengan cara terlebih dahulu aku membelinya untuknya dari pasar?. Maka Rasulullah menjawab : Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu". (H.R. Abu Daud).[82]
Hadits di atas menjelaskan bahwa pada dasarnya dalam hukum Islam seseorang dilarang menjual benda yang bukan miliknya atau tidak meiliki hak jual atas bendanya, dikarenakan jual beli merupakan transaksi yang mengakibatkan perpindahan hak milik yang tentunya harus dilakukan oleh pemiliknya atau oleh seseorang yang sudah mendapatkan kuasa dari pemiliknya.Â
Di sisi lain dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, dikenal sebuah asas hukum yang menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat mengalihkan lebih banyak haknya dari pada yang ia miliki (nemo plus juris tranfere protest quam ipse habet).[83]
Asas hukum di atas memberikan pengertian bahwa pada dasarnya seseorang yang tidak memiliki hak atas suatu barang tertentu, maka orang tersebut tidak dapat mengalihkan benda yang bukan haknya dalam bentuk apapun.
 Hal ini dikarenakan setiap pengalihan hak perlu dilakukan oleh orang yang berhak atas objek pengalihan tersebut atau orang yang diberikan kuasa atasnya. Termasuk dalam hal ini adalah melakukan transaksi jual beli, di mana transaksi tersebut merupakan salah satu transaksi yang mengakibatkan pengalihan hak atas suatu benda tertentu.Â
Oleh karena itu dalam pandangan ulama madzhab Syafi'i, Hambali dan Maliki, praktik jual beli yang terjadi di masjid Istiqlal Desa Palengaan Daja merupakan jual beli bathil, yakni jual beli yang dilarang oleh syariat karena tidak memenuhi satu atau lebih rukun dan syarat jual beli. [84] Di mana dalam praktik yang ada di lapangan tidak memenuhi satu salah satu syarat jual beli, yakni penjual bukanlah orang yang memiliki hak atas benda yang diperjual belikan.
Di sisi lain, praktik tersebut juga mengandung kefashid-an di dalamnya. Di mana di dalam praktik yang dilakukan, benda yang diperjual belikan merupakan benda yang dilarang untuk dijual dalam hukum Islam.